"𝑨𝒌𝒖 𝒕𝒂𝒌 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏𝒈𝒈𝒂𝒑 𝒔𝒆𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒑𝒓𝒊𝒂 𝒔𝒆𝒃𝒂𝒈𝒂𝒊 𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒊𝒔𝒌𝒊𝒏 𝒋𝒊𝒌𝒂 𝒊𝒂 𝒑𝒖𝒏𝒚𝒂 𝒊𝒃𝒖 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒉𝒆𝒃𝒂𝒕".
(Abraham Lincoln)
Beberapa waktu lalu istri saya usul agar saya berkencan dengan seorang wanita lain, besok malam.
"Kamu akan mencintainya," kata istri saya.
"Apa-apaan sih," protes saya. "Mengapa kamu tidak ikut?
"Itu acaramu berdua dengan dia," jawab istri saya.
Perempuan yang dimaksudnya adalah ibu saya yang telah menjanda dan kini tinggal dengan seorang anak asuh. Meski tinggal satu kota, saya jarang menemuinya karena kesibukan kerja dan keluarga .
Malam itu saya telepon ibu, mengajaknya makan malam dan nonton film. Berdua saja.
"Istrimu?" tanya ibu dari ujung telepon. Ibu saya adalah tipe orang yang selalu curiga kalau menerima telpon tengah malam.
"Tak ada salahnya kita sekali-sekali ke luar berdua saja," jawab saya.
"Ibu mau sekali," jawabnya setelah terdiam beberapa lama.
Rupanya, dia masih curiga.
Besoknya, sepulang kantor saya ke rumah ibu.
Beliau terlihat agak canggung, tapi berdandan resmi sekali. Mengenakan gaunnya yang terbaik. Gaun yang dipakai pada pesta ulang tahun perkawinan terakhir ketika ayah masih ada. Ibu menyambut saya dengan senyum lebar.
"Ibu bilang ke kawan-kawan tentang rencana kita ini. Mereka semua kaget dan merasa ikut senang seperti ibu sekarang," kata ibu seraya masuk mobil. "Mereka bilang besok pagi ingin tahu ceritanya."
Kami pergi ke restoran yang agak mahal. Suasananya elegan dan menyenangkan. Ibu menggandeng lengan saya ketika masuk ruangan, persis seperti First Lady. Jalannya anggun. Saya harus membacakan daftar menu karena ibu tak bisa lagi membacanya, walau dengan kacamata tebal. Ketika sedang membaca daftar itu, saya berhenti sejenak menengok ibu. Dia sedang memandangi saya dengan senyum kasih.
"Dulu, ibu yang membacakan kamu daftar menu ketika kau masih kecil," katanya.
"Sekarang Ibu santai saja, giliran saya melayani Ibu," jawab saya.
Sambil makan, kami membicarakan banyak hal sehari- hari. Tidak ada topik yang istimewa, tapi obrolan mengalir saja sampai-sampai kami terlambat untuk menonton film.
Saat mengantarnya pulang, di muka pintu ibu berkata, "Ibu mau pergi lagi dengan kamu, tapi lain kali ibu yang bayar."
Saya setuju.
"Bagaimana kencanmu?" tanya istri saya di rumah. "Sangat menyenangkan. Lebih dari yang saya duga. Tadinya tidak tahu mau ngomong apa?"
Beberapa hari kemudian, ibu meninggal karena serangan jantung. Begitu tiba-tiba kejadiannya, saya tidak sempat berbuat apa-apa untuk menolongnya. Satu minggu berlalu, sepucuk surat tiba dari restoran tempat ibu dan saya makan malam. Surat itu dilampiri kopi tanda lunas. Ada selembar kertas diselipkan di situ, bertuliskan:
"Ibu sudah bayar makan malam kita karena rasanya tak mungkin kita makan bersama lagi. Walaupun begitu, ibu sudah bayarkan untuk dua orang, barangkali untuk kau dan istrimu. Anakku, besar sekali arti undanganmu malam itu."
Pada detik itulah saya mengerti apa arti pentingnya kita mengatakan kepada orang-orang yang kita sayangi mengenai perasaan kita itu. Tidak ada hal yang lebih penting dalam hidup daripada Tuhan dan keluarga. Berikan waktu Anda untuk mereka, jangan sampai terlambat karena mengatakan 'nanti'.[]
"𝙼𝚎𝚗𝚓𝚊𝚍𝚒 𝚒𝚋𝚞 𝚙𝚎𝚗𝚞𝚑 𝚠𝚊𝚔𝚝𝚞 𝚊𝚍𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚜𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚜𝚊𝚝𝚞 𝚙𝚎𝚔𝚎𝚛𝚓𝚊𝚊𝚗 𝚋𝚎𝚛𝚐𝚊𝚓𝚒 𝚝𝚎𝚛𝚝𝚒𝚗𝚐𝚐𝚒 𝚔𝚊𝚛𝚎𝚗𝚊 𝚋𝚊𝚢𝚊𝚛𝚊𝚗𝚗𝚢𝚊 𝚊𝚍𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚌𝚒𝚗𝚝𝚊 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚖𝚞𝚛𝚗𝚒."
(Mildred B. Vermont)
Dari buku "Bukan untuk Dibaca" The Most Inspiring Story