"𝐌𝐞𝐫𝐞𝐤𝐚 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐩𝐚𝐥𝐢𝐧𝐠 𝐛𝐚𝐡𝐚𝐠𝐢𝐚 𝐚𝐝𝐚𝐥𝐚𝐡 𝐦𝐞𝐫𝐞𝐤𝐚 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐩𝐚𝐥𝐢𝐧𝐠 𝐛𝐚𝐧𝐲𝐚𝐤 𝐛𝐞𝐫𝐛𝐮𝐚𝐭 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐨𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐥𝐚𝐢𝐧."
(Booker T Washington)
Ada seorang dokter sepuh di kota Solo, Jawa Tengah bernama dokter Lo Siaw Ging. Pada usianya yang menjelang 75 tahun, beliau tetap berpraktik untuk memeriksa pasien.
Ditengah meningginya biaya perawatan dokter dan rumah sakit, dia masih memberikan tarif periksa yang sangat rendah. Bahkan banyak pasien yang tidak mampu, tidak dimintai bayaran. Karena itulah pasien dokter Lo tidak hanya dari Solo, tetapi juga dari Sukoharjo, Karangnyar, Sragen, Klaten, Boyolali, dan Wonogiri.
Setiap pagi dan sore, dokter Lo melayani pasiennya di tempatnya praktik sekaligus rumah tinggalnya di sebuah rumah tua di Jl. Jagalan 27, Kelurahan Jebres, Kota Solo.
Mayoritas pasien Lo adalah keluarga tak mampu secara ekonomi. Mereka itu, jangankan membayar ongkos periksa, untuk menebus resep dokter Lo pun sering kali tak sanggup.
Bagi dokter Lo, apa yang dilakukannya bukanlah sesuatu yang istimewa. Dia dapat memahami kondisi sebagian pasiennya itu.
Ada seorang pasiennya, karena terlalu sering berobat ke dokter Lo dan tak membayar, ia merasa tidak enak hati. Dia lalu bertanya berapa biaya pemeriksaan dan resep obatnya.
''Memangnya uangmu sudah banyak?", demikian jawab dokter Lo.
Kardiman, seorang penjual bakso di samping rumah dokter Lo, mengatakan para tetangga tidak dimintai bayaran ketika periksa, cukup ucapan terima kasih saja.
Tentu saja, dokter Lo yang membayar semua biaya-biaya pasiennya itu. Bagaimana lagi, banyak pasien yang benar-benar tidak memiliki apa-apa sehingga tidak mampu menebus obat. Akhirnya, dokter Lo menulis resep dan memintanya mengambil di apotek langganannya. Resep itu sudah ditandatangani dokter Lo. Petugas akan memberi obat yang diinginkan. Setiap akhir bulan, pihak apotek yang kemudian menagih harga Obat tersebut kepada dokter Lo.
Tagihan obat itu perbulan besarnya antara ratusan ribu sampai Rp. 10juta.
Tak jarang pula, untuk pasien yang cukup parah dokter Lo memberikan rekomendasi gratis berobat ke RS Kasih Ibu, Solo.
Saat kerusuhan Mei 1998 di mana terjadi aksi sentimen rasial, dokter Lo tetap membuka prakteknya, meski tetangganya melarang.
Tetangganya malah dimarahi, karena kasihan orang yang sudah jauh-jauh datang mau berobat. Para tentara juga datang untuk mengevakuasinya, tetapi dokter Lo menolaknya.
"Saya ini orang Solo, jadi tak perlu ke mana-mana. Buat apa?" katanya.
Akhirnya wargalah yang kemudian berjaga-jaga di sekitar kediaman dokter Lo, agar tidak menjadi sasaran kerusuhan.
Dokter Lo selalu teringat pesan ayahnya, "Ayah saya berkali-kali mengatakan, kalau mau jadi dokter jangan dagang. Kalau mau dagang, jangan jadi dokter. Makanya, siapa pun yang datang ke sini, miskin atau kaya, saya harus terbuka."
Selain itu, dia juga terinspirasi oleh Dr Oen. "Dokter Oen itu jiwa sosialnya tinggi dan kehidupan sehari-harinya begitu sederhana."
"Ini bukan berarti saya tak menerima bayaran sama sekali dari pasien. Tetapi kepuasan bisa membantu sesama yang tidak bisa dibayar dengan uang," katanya sambil bercerita bahwa ada sebagian pasien yang membawakannya pisang.
Keseharian dokter Lo dan keluarga juga sangat sederhana. Sehingga pendapatannya sebagai dokter cukup untuk hidup berdua dengan istrinya. "Kebutuhan kami hanya makan. Lagi pula orang seumur saya, seberapa banyak Sih makannya?" ujar dokter Lo.
Sebenarnya, mantan Direktur RS Kasih lbu ini justru tidak suka pada publikasi. Beberapa kali dia menolak permintaan wawancara dari media. "Enggak usahlah diberita-beritakan. Saya bukan siapa-siapa," ujarnya.
Bagi Lo, apa yang dia lakukan selama ini sekadar membantu mereka yang tak mampu dan membutuhkan pertolongan dokter. "Apa yang saya lakukan itu biasa dilakukan orang Iain juga. Jadi, tak ada yang istimewa," ujarnya.[]
"𝑴𝒆𝒎𝒃𝒂𝒏𝒕𝒖 𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒍𝒂𝒊𝒏, 𝒕𝒂𝒏𝒑𝒂 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒉𝒂𝒓𝒂𝒑𝒌𝒂𝒏 𝒊𝒎𝒃𝒂𝒍𝒂𝒏 𝒂𝒑𝒂 𝒑𝒖𝒏 𝒂𝒅𝒂𝒍𝒂𝒉 𝒂𝒓𝒕𝒊 𝒅𝒂𝒓𝒊 𝒉𝒂𝒓𝒈𝒂 𝒅𝒊𝒓𝒊 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒔𝒆𝒃𝒆𝒏𝒂𝒓𝒏𝒚𝒂."
(Gavin Bird)
Dari buku
"BUKU UNTUK DIBACA" All About Love, Live, and Hope
(𝑷𝒂𝒅𝒂 𝒕𝒂𝒏𝒈𝒈𝒂𝒍 𝟗 𝑱𝒂𝒏𝒖𝒂𝒓𝒊 𝟐𝟎𝟐𝟒 𝒅𝒐𝒌𝒕𝒆𝒓 𝑳𝒐 𝒘𝒂𝒇𝒂𝒕 𝒑𝒂𝒅𝒂 𝒖𝒔𝒊𝒂 𝟗𝟎 𝒕𝒂𝒉𝒖𝒏 𝒔𝒆𝒕𝒆𝒍𝒂𝒉 𝒃𝒆𝒃𝒆𝒓𝒂𝒑𝒂 𝒔𝒂𝒂𝒕 𝒅𝒊𝒓𝒂𝒘𝒂𝒕 𝒅𝒊 𝑹𝑺 𝑲𝒂𝒔𝒊𝒉 𝑰𝒃𝒖 𝑺𝒐𝒍𝒐)