"𝐌𝐮𝐝𝐚𝐡 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐦𝐞𝐧𝐠𝐡𝐢𝐧𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐭𝐚𝐧𝐠𝐠𝐮𝐧𝐠 𝐣𝐚𝐰𝐚𝐛 𝐤𝐢𝐭𝐚, 𝐭𝐞𝐭𝐚𝐩𝐢 𝐤𝐢𝐭𝐚 𝐭𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐛𝐢𝐬𝐚 𝐦𝐞𝐧𝐠𝐡𝐢𝐧𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐤𝐨𝐧𝐬𝐞𝐤𝐮𝐞𝐧𝐬𝐢 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐦𝐞𝐧𝐠𝐡𝐢𝐧𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐭𝐚𝐧𝐠𝐠𝐮𝐧𝐠 𝐣𝐚𝐰𝐚𝐛 𝐤𝐢𝐭𝐚."
(Josiah Charles Stamp)
Bersama tiga orang temannya, Saifuddin Zuhri berkeliling Jawa Tengah, berjalan kaki guna mengumpulkan uang biaya NTR (Nikah, Talak, Rujuk) untuk disetorkan kepada kantor pusat Kementerian Agama yang pada saat itu berada di Yogyakarta. Karena sudah lama tidak diambil, uang setoran itu menumpuk sampai tiga karung besar banyaknya. Mereka memanggul sendiri karung beras berisi uang tunai tersebut naik turun gunung dan keluar masuk hutan.
Ketika bertemu dengan atasannya di Desa Brosot, pinggiran Yogya, Saifuddin menyerahkan uang tersebut. Setelah dihitung-hitung, ternyata jumlahnya sama persis dengan catatan NTR. "Kenapa sampeyan tak mengambil sedikit untuk biaya makan di perjalanan? Sebagai pejabat berwenang, sampeyan berhak, asal ada catatannya," kata atasannya. Saifuddin menjawab, "Wah, saya enggak berani. Ini uang negara, saya bisa kualat kalau memakannya."
Pada 17 Februari 1962 dalam usia 43 tahun Saifuddin diminta menjadi menteri agama oleh Bung Karno. Awalnya sempat menolak, tapi akhirnya Saifuddin terbujuk dan menerima.
Saat itu ada ketentuan yang membolehkan Departemen Agama membiayai tokoh masyarakat yang memang tidak mampu untuk naik haji, apalagi kalau ia pernah menjadi pejuang kemerdekaan. Untuk itu adik iparnya, Mohammad Zainuddin Dahlan, menghadap dan memohon untuk dihajikan dengan fasilitas tersebut
Saifuddin justru menolak. "Sebagai orang yang berjasa dan mengingat kondisi perekonomianmu belum memungkinkan, sudah layak jika Departemen Agama menghajikan. Apalagi kamu pernah berjuang dalam perang kemerdekaan. Tapi ada satu hal yang menyebabkan aku tidak mungkin membantu melalui haji departemen. Itu karena kamu adikku. Coba kamu orang lain, sudah lama aku hajikan," ujar Saifuddin. Sang adik meskipun kecewa bisa menghargai kejujuran abang iparnya, sehingga menerima keputusan itu dengan ikhlas.
Catatan kerja Saifuddin Zuhri sebagai menteri agama sangat bersih. Ketika mendapat anggaran renovasi, kantor Kementerian Agama di Jalan MH Thamrin no 6 (samping Bank Indonesia) menjadi yang termegah di banding kantor-kantor lembaga pemerintahan lainnya. Saifuddin memastikan tidak ada kebocoran anggaran sedikit pun sehingga ketika diresmikan olehnya di tahun 1963 kompleks perkantorannya lebih indah ketimbang instansi lain yang mendapat anggaran renovasi lebih banyak.
Setelah pensiun dari berbagai jabatan tahun 1980 (kiprah politik terakhirnya adalah sebagai ketua DPP Partai Persatuan Pembangunan), Saifuddin memutuskan berdagang beras kecil-kecilan di Jakarta. Kegiatan lain adalah tetap menulis. Setiap pagi lepas shalat Dhuha, ia meninggalkan rumahnya dan baru kembali setiap usai Dzuhur. Salah satu anaknya curiga, menguntit ayahnya. la kaget ketika menyaksikan ayahnya bercucur keringat melayani sendiri pembeli beras di kiosnya.
Saifuddin tidak kenal gengsi. la melayani pembeli dengan ramah, termasuk dengan sesekali membawakan bungkusan beras yang berat itu. Di usianya yang kian lanjut Saifuddin tetap berusaha mencari nafkah halal. Ia tidak mau merepotkan apalagi meminta-minta anak-anaknya yang sudah berkecukupan untuk membantunya menyekolahkan adik-adiknya. Saifuddin menganggap itu tetap menjadi tanggung jawabnya. Tidak hanya itu, Saifuddin ternyata juga tidak pernah mau mengambil uang pensiun. la berprinsip selama ia masih bisa mencari uang sendiri, ia takkan membebani negara.[]
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَخُوْنُوا اللّٰهَ وَالرَّسُوْلَ وَتَخُوْنُوْٓا اَمٰنٰتِكُمْ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
"𝑾𝒂𝒉𝒂𝒊 𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈-𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒃𝒆𝒓𝒊𝒎𝒂𝒏! 𝑱𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏𝒍𝒂𝒉 𝒌𝒂𝒎𝒖 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒌𝒉𝒊𝒂𝒏𝒂𝒕𝒊 𝑨𝒍𝒍𝒂𝒉 𝒅𝒂𝒏 𝑹𝒂𝒔𝒖𝒍 𝒅𝒂𝒏 (𝒋𝒖𝒈𝒂) 𝒋𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏𝒍𝒂𝒉 𝒌𝒂𝒎𝒖 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒌𝒉𝒊𝒂𝒏𝒂𝒕𝒊 𝒂𝒎𝒂𝒏𝒂𝒕 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒅𝒊𝒑𝒆𝒓𝒄𝒂𝒚𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒌𝒆𝒑𝒂𝒅𝒂𝒎𝒖, 𝒔𝒆𝒅𝒂𝒏𝒈 𝒌𝒂𝒎𝒖 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒆𝒕𝒂𝒉𝒖𝒊."
(QS. Al-Anfal [8]:27)
Dari buku
"UNTUK REPUBLIK" Kisah-kisah Teladan Kesederhanaan Tokoh Bangsa