"𝑴𝒆𝒏𝒊𝒍𝒂𝒊 𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒍𝒂𝒊𝒏 𝒊𝒕𝒖 𝒎𝒖𝒅𝒂𝒉 𝒌𝒂𝒓𝒆𝒏𝒂 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒂𝒍𝒊𝒉𝒌𝒂𝒏 𝒌𝒊𝒕𝒂 𝒅𝒂𝒓𝒊 𝒕𝒂𝒏𝒈𝒈𝒖𝒏𝒈 𝒋𝒂𝒘𝒂𝒃 𝒎𝒆𝒏𝒊𝒍𝒂𝒊 𝒅𝒊𝒓𝒊 𝒔𝒆𝒏𝒅𝒊𝒓𝒊."
(Charles F.Glassman)
"Jangan menilai buku dari sampulnya"
Rasanya sering kali ucapan itu dilontarkan untuk tidak menghakimi pada kesan pertama. Memang, ada buku yang sampulnya menarik dengan ilustrasi yang indah, tetapi isinya tidak bagus. Demikian juga sebaliknya...
Namanya Arep Sinlae. Posturnya cukup tinggi, berbadan langsing, dahi lebar dan berkulit gelap.
Anak itu tinggal di dusun Lolopain, setengah jam jalan kaki SDN Daepapan, Rote Ndao NTT. Pendiam, tertutup dan mahal senyum.
Kali pertama saya menyalami, dia tidak berani melihat mata saya, seperti pada umumnya anak-anak disini.
Slogan "di ujung rotan ada emas" rupanya berlaku disini yang mengisyaratkan guru harus ditakuti.
Tak seperti temannya, Arep terlalu pendiam, terlalu pemalu. Suara yang keluar dari mulutnya seperti mendengar lirihan. Ketidakpercayaan dirinya mempengaruhi linguistiknya dan pergaulan dengan teman sebayanya. la sering bermain sendirian saat istirahat, mengejar kupu-kupu di halaman sekolah.
Arep adalah salah satu dari 28 muridku di kelas V, kelas yang kuajar.
”Apakah anak seperti ini memiliki salah satu dari kecerdasan majemuk Howard Gardner ? saya bertanya dalam hati.
Saat saya tanyakan ke guru yang mengajar pada kelas sebelumnya, dia malah mengatakan, "Waduh Pak Rian, si Arep itu talalu lamban sekali Pak"
Kubilang, " Apa betul, lbu?”
Dia bilang, ”Betul, Pak!” dia mengatakan ini dengan ekspresi yang sangat menyakinkan. Saya jadi tertantang mengangkat seorang Arep dari ketidaktahuan menjadi tahu. Dari tidak percaya diri menjadi yakin.
Arep mulai ada perubahan setelah saya panggil secara pribadi sepulang sekolah dan saya ajak bicara.
"Kamu jangan pernah merasa rendah diri dengan cibiran banyak orang. Pak Rian yakin, kamu pintar!"
"Mari kita buktikan ke semua orang yang mencibir kamu, bahwa mereka semua salah!" lanjut saya
Arep tidak mengucapkan kata balasan, tetapi dari tatapan matanya, saya tahu bahwa dia mengerti maksud saya. Melihat matanya, saya tahu bahwa dia mau berusaha bersama saya.
Saya amati, tampaknya anak ini telah dihakimi oleh teman dan gurunya, karena ya itu tadi: dia tidak menonjol dalam seluruh bidang pelajaran. Bahkan untuk berbicara atas nama dirinya sendiri saja sulit sekali. Setiap kali dia berbicara di depan kelas, saya selalu meneriakkan kata "HARD!" Itu adalah sinyal yang kuberikan kepada anak yang lemah volume suaranya, agar diperkuat sehingga terjangkau sampai ke belakang kelas.
Pendiamnya di banyak pelajaran akan berubah saat pelajaran matematika, matanya terlihat bercahaya sekali. Dia sangat senang berhitung. Matanya lebih bercahaya Iagi apabila sedang mengerjakan soal. Senyum mahalnya akan terkembang, disertai sedikit lidah menjulur keluar, seperti mencoba mengatakan, "Saya pasti bisa mengerjakan ini!"
Angka 10, dari skala 10...
Adalah sebuah nilai yang diidamkan setiap guru untuk dimiliki siswanya. Pada saat masuk kelas, kita harus bayangkan ada angka 10 di dahi tiap anak-anak di sekolah. Dan ini diterapkan di setiap sesi mengajar. Bayangkan bahwa si anak adalah anak sempurna. Bahwa setiap anak adalah angka 10 sempurna. Hal ini sangat penting karena anak-anak adalah psikologotodidak terhebat yang sangat perasa dengan setiap ekspresi dan segala ucapan kita. Mata adalah organ yang dapat menceritakan segalanya. Mata kita tidak pernah bohong. Dan anak-anak akan bisa membaca arti tatapan kita. Bila Anda sudah dekat dengan anak-anak, Anda mungkin akan dapat mempraktekkan "tatapan percaya dan yakin", "tatapan marah" "tatapan kecewa", "tatapan jangan-ulangi-lagi", "tatapan ayo semangat". Pelajarilah tatapan ini, dan niscaya pita suara Anda akan terawat selama Anda menjadi guru.
Anak-anak butuh diberi apresiasi dan perhatian. Inilah celah yang harus diisi oleh pengajar, Jadi mari kita bayangkan bahwa ada angka 10 di dahi tiap anak yang kita ajar. Setiap anak tanpa terkecuali. Imajinasikan secara mendalam dan konsisten. Niscaya, binar mata guru akan berbeda. Mata guru akan memancarkan kepercayaan dan keyakinan kepada tiap anak. Mereka akan tahu bahwa guru tidak benci kepada kegagalan mereka. Mereka akan berani mencoba dan mencoba lagi. Mereka tahu bahwa guru selalu memberikan mereka kesempatan kedua. Mata kita seolah menyampaikan, "Nak, jangan takut untuk jatuh! Setelah jatuh, kamu akan mencapai tujuanmu!"
Saya coba pancing mereka dengan perumpaan sebagai berikut:
"Siapa yang sudah bisa mengendarai sepeda?"
"Sayaaa!!! Hampir seluruh kelas mengacungkan tangan.
"Siapa yang waktu belajar mengendarai sepeda pernah jatuh?"
"Sayaaa!!! Kali ini kembali hampir semua mengaku serupa.
"Akhirnya bisa naik sepeda tidak? Siapa yang akhirnya bisa naik sepeda?"
Sayaaa!!! Seisi kelas serempak.
"Nah, namanya belajar juga begitu. Pasti kalian pernah salah. Tetapi akhirnya kalian akan bisa menguasai pelajaran!"
Kembali ke Arep Sinlae. Dia memberi saya salah satu momen terindah datam hidup saya. Setelah saya menanamkan 'keyakinan' kepada dia, Arep mendapatkan nilai 10 pada ulangan matematika pertamanya. Ya, 10! Mengalahkan si juara kelas selama empat tahun berturut-turut! Sepanjang minggu tak henti-hentinya saya ceritakan hal ini kepada tiap guru di sekolah![]
"𝐊𝐞𝐭𝐢𝐤𝐚 𝐀𝐧𝐝𝐚 𝐦𝐞𝐧𝐢𝐥𝐚𝐢 𝐨𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐥𝐚𝐢𝐧, 𝐀𝐧𝐝𝐚 𝐭𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐦𝐞𝐧𝐝𝐞𝐟𝐢𝐧𝐢𝐬𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐦𝐞𝐫𝐞𝐤𝐚, 𝐀𝐧𝐝𝐚 𝐦𝐞𝐧𝐝𝐞𝐟𝐢𝐧𝐢𝐬𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐝𝐢𝐫𝐢 𝐀𝐧𝐝𝐚 𝐬𝐞𝐧𝐝𝐢𝐫𝐢."
(Earl Nightingale)
(Dikisahkan oleh Rian Ernest Tanudjaja, Pengajar Muda dari SDN Daepapan, Kab Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur dalam buku "Panggilan Hati untuk Berbagi. Kisah Nyata 46 Pengajar Muda di Beranda Depan Indonesia")
Keterangan foto: Murid-murid SDN Daepapan sedang bermain di halaman sekolah