𝗞𝗲𝗯𝗲𝗿𝗮𝗻𝗶𝗮𝗻 𝗮𝗱𝗮𝗹𝗮𝗵 𝗮𝗱𝗮𝗹𝗮𝗵 𝗸𝗲𝘁𝗮𝗸𝘂𝘁𝗮𝗻 𝘀𝗲𝘁𝗲𝗻𝗴𝗮𝗵 𝗺𝗮𝘁𝗶 -- 𝘁𝗲𝘁𝗮𝗽𝗶 𝘁𝗲𝘁𝗮𝗽 𝘀𝗶𝗮𝗽 𝗯𝗲𝗿𝘁𝗮𝗿𝘂𝗻𝗴
(𝗝𝗼𝗵𝗻 𝗪𝗮𝘆𝗻𝗲)
Luba dibesarkan dalam komunitas Yahudi di Polandia yang kemudian menikah dengan Hersch Gercak dan dikaruniai seorang anak bernama Isaac.
Kehidupan keluarga yang nyaman itu porak-poranda dengan pecahnya perang. Tentara Nazi memburu orang-orang Yahudi untuk dimasukkan ke kamp Konsentrasi Auschwitz-Birkenau yang terkenal dengan kekejamannya.
Saat memasuki gerbang kamp, tentara SS merenggut Isaac dari pelukannya dan melemparkan anak berusia 3 tahun itu kedalam truk bersama anak-anak lain dan orang-orang tua untuk dibawa ke kamar gas. Tak lama kemudian datang truk menyeret suaminya yang sudah tak bernyawa. Sejak saat itu, Luba tidak punya gairah hidup lagi.
Namun, kekerasan hatinya mendorong ia untuk tidak menyerah. Sepertinya Tuhan memiliki tujuan untuk itu. Dengan kulit kepala yang dicukur plontos dan nomor tatto 32967 di lengannya, dia dipekerjakan di Rumah Sakit Auschwitz, sebuah bangunan dimana orang-orang dibiarkan meninggal.
Perlahan Luba berhasil mengatasi ketakutannya, belajar sedikit demi sedikit bahasa Jerman.
Desember 1944, Luba dikirim ke Kamp Bergen-Belsen. Tak ada kamar gas disitu, tapi angka kematian tetap banyak sehingga menjadi tempat pemusnahan yang praktis.
Keadaan semakin memburuk menjelang kedatangan tentara sekutu. Kendaraan pembawa orang kelaparan dan sakit makin berdatangan ke kamp.
Terdengar suara tangisan anak. Luba melihat ada sekelompok anak menggigil ketakutan. Dia memberikan isyarat agar tidak takut dan mendekati mereka.
"Apa yang terjadi? Kenapa kalian ada disini?" tanya Luba.
Dengan bahasa Jerman yang patah-patah, seorang anak yang terlihat lebih besar bernama Jack Rodri menceritakan tiba-tiba saja tentara SS membawa mereka tanpa tahu tujuannya. Hetty Werkendam, bocah perempuan berumur 14 tahun adalah anak tertua dari kelima puluh empat anak itu. Dia sedang menggendong Stella Degen yang berusia dua setengah tahun. Ada lagi beberapa anak yang lebih muda lagi.
Beberapa penghuni kamp mencegahnya membawa anak-anak itu kedalam barak, namun Luba tidak mengindahkan. "Kalau ini anak-anak kalian, apakah kalian akan menyuruhku mengusir mereka? Mereka ini anak manusia" jawaban itu membuat mereka terdiam.
Dari Jack diperoleh cerita mereka selamat dari kekejaman tentara Nazi, karena orang tua mereka yang ahli memotong berlian diperlukan Jerman. Mereka lalu dipisahkan dengan anak-anaknya di kamp Bergen-Belsen.
Hati Luba membumbung tinggi, bersyukur kepada Tuhan akan datangnya anak-anak ini. Tuhan telah mengembalikan makna hidupnya dengan jalan menyelamatkan anak-anak ini agar tidak seperti anaknya.
Karena tidak bisa disembunyikan, Luba memberitahu perwira SS dan berjanji mereka tidak akan membuat keributan.
"Apa yang akan kamu lakukan terhadap sampah Yahudi ini?" tanya perwira itu.
"Karena aku adalah seorang ibu" kata Luba "Karena aku kehilangan anakku di Auschwitz"
Sadar tangannya masih dipegang oleh Luba yang seorang tawanan, perwira itu meninju wajah Luba hingga terjengkang ke lantai.
Luba bangun, bibirnya berdarah. "Mengapa Anda ingin menyakiti anak-anak yang tidak berdosa? Mereka akan mati kalau tidak ada yang mengurus"
"Urus mereka!" kata perwira itu akhirnya.
"Mereka perlu makan. Izinkan aku minta roti"
Perwira itu menulis catatan yang oleh Luba lalu digunakan untuk mengambil roti.
Sejak itu Luba berkeliling ke gudang, dapur, tempat pemanggangan roti, melakukan barter, sesekali mencuri untuk anak-anak itu.
Anak-anak akan bersorak didepan pintu barak saat melihat Luba di kejauhan. "Dia datang! Dan membawa makanan untuk kita".
Mereka mencintai Luba seperti ibunya sendiri, karena Luba mencarikan makanan, memenuhi kebutuhan mereka, merawat yang sakit, dan menghibur. Tidak ada halangan bahasa Belanda mereka yang tidak dipahami Luba, karena adanya bahasa cinta.
Mendekatnya pasukan sekutu pada musim semi 1945, membuat kamp semakin porak-poranda. Mayat-mayat bergelimpangan, orang sekarat, penyakit tifus dan disentri merajalela.
Beberapa anak asuh Luba tak luput dari wabah ini. Dengan sabar ia menjaga, mengobati, menyuapi dan mendoakan mereka.
Minggu, 15 April 1945 pasukan Inggris tiba dan membebaskan mereka. "Kalian bebas...Kalian bebas" diserukan dalam beberapa bahasa.
Tinggal limapuluh dua anak yang diasuh Luba yang bertahan hidup. Saat sudah cukup kuat, mereka diterbangkan dengan pesawat militer untuk pulang didampingi Luba. Seorang pegawai Belanda menulis "Berkat dialah anak-anak itu bisa bertahan hidup. Sebagai orang Belanda, kami sungguh berutang Budi atas pertolongannya"
Luba masih menemani mereka sampai mereka bertemu dengan ibunya, yang hampir semuanya selamat.
Oleh Palang Merah Internasional, Luba ditugaskan pula untuk menemani 40 anak yatim piatu dari beberapa kamp ke Swedia untuk memulai hidup baru.
Di Swedia Luba bertemu dengan Sol Frederick, seorang korban selamat dari Holocaust. Mereka menikah dan dikaruniai dua orang anak, namun Luba tak bisa melupakan anak-anaknya yang lain.
Dimana mereka?
Jack Rodri menjadi pengusaha sukses dan tinggal di Los Angeles. Hetty Werkendam sukses bekerja di bidang properti di Australia. Gerard Lakmaker hidup makmur sebagai pemilik pabrik. Stella Degen tak bisa mengingat peristiwa di Bergen-Belsen, namun ibunya menceritakan tentang wanita hebat bernama Luba Gercak yang menjaganya.
Anak-anak lainnya memutuskan untuk mencari Luba. Jack Rodri berhasil tampil di TV dan menceritakan kisah Luba. "Jika ada yang mengetahui dimana dia berada" kata Jack "tolong hubungi stasiun TV ini".
Seseorang menelepon ke TV dari Washington DC "Dia berada di kota ini"
Sepekan kemudian Jack mendatangi apartemen Luba dan mereka berpelukan sambil menangis tanpa malu-malu.
Tak lama kemudian, Gerard Lakmaker yang tinggal di London mengatur pemberian penghargaan untuk Luba. Beberapa anak asuh Luba yang lain yang saling berhubungan, berusaha mengumpulkan anak-anak lain tanpa lelah.
April 1995, tepat 50 tahun perayaan kebebasan mereka, sekitar tiga puluh orang pria dan wanita yang selama ini belum pernah bertemu sejak anak-anak, berkumpul di Balaikota Amsterdam untuk menghormati Luba.
Dengan suara parau karena terharu, wakil walikota, mewakili Ratu Beatrix memberikan penghargaan kepada Luba Medali Perak Kehormatan Belanda untuk Jasa Kemanusiaan. Luba terharu menerimanya.
Usai upacara, Stella Degen-Fertig menghampiri Luba. "Aku selalu memikirkan ibu selama hidupku" kata Stella"Ibuku sering mengatakan ia telah melahirkanku, tapi kepada Luba aku telah berutang nyawa. Dia mengingatkan agar aku tidak lupa akan hal itu". Sambil memeluk Luba dan menangis ia berbisik "Aku tidak akan pernah lupa"
Luba membalas pelukan itu dengan air mata berlinang. Karena inilah penghargaan sejati baginya: "anak-anaknya", mendapatkan kembali cinta yang menyelamatkan mereka - dan dirinya- dari bayangan Kamp Kematian.
𝑲𝒆𝒃𝒆𝒓𝒂𝒏𝒊𝒂𝒏 𝒃𝒊𝒂𝒔𝒂𝒏𝒚𝒂 𝒎𝒖𝒏𝒄𝒖𝒍 𝒅𝒂𝒍𝒂𝒎 𝒔𝒊𝒕𝒖𝒂𝒔𝒊 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏𝒄𝒂𝒎 𝒋𝒊𝒘𝒂. 𝑵𝒂𝒎𝒖𝒏 𝒅𝒆𝒎𝒊𝒌𝒊𝒂𝒏, 𝒌𝒊𝒕𝒂𝒍𝒂𝒉 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒆𝒏𝒆𝒏𝒕𝒖𝒌𝒂𝒏 𝒂𝒑𝒂𝒌𝒂𝒉 𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒍𝒂𝒓𝒊 𝒅𝒂𝒓𝒊 𝒌𝒆𝒕𝒂𝒌𝒖𝒕𝒂𝒏 𝒌𝒊𝒕𝒂, 𝒂𝒕𝒂𝒖 𝒎𝒆𝒎𝒊𝒍𝒊𝒌𝒊 𝒌𝒆𝒃𝒆𝒓𝒂𝒏𝒊𝒂𝒏 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒎𝒆𝒏𝒄𝒂𝒓𝒊 𝒔𝒆𝒔𝒖𝒂𝒕𝒖 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒍𝒆𝒃𝒊𝒉 𝒃𝒂𝒊𝒌
Dari buku
Everyday Greatness
Inspirasi Untuk Mencapai Kehidupan yang Bermakna
Keterangan foto: Pertemuan Luba Gercak (depan) bersama anak-anak asuhnya setelah limapuluh tahun berpisah