APRESIASI TERTINGGI
Distrik Kramongmongga, Fakfak, Juni 2012
Ruangan sederhana itu berisi tak lebih dari seratus orang peserta pelatihan guru. Tak hanya guru saja, tetapi ada juga kepala sekolah, mahasiswa STKIP Fakfak yang masih muda belia, dan mungkin belum punya pengalaman mengajar.
Seorang rekan mengajak peserta untuk melakukan refleksi sederhana. Kami membagikan secarik kertas putih kepada setiap peserta, dan seorang kawan memberikan instruksi: "Tuliskan motivasi Anda mau menjadi seorang guru!"
Ruangan berukuran 8x6 meter itu hening setelah mereka menerima kertas tersebut dan sibuk menulis.
Dibandingkan dengan mahasiswa yang nampak santai, guru-guru yang kenyang dengan pengalaman mengajar nampak antusias menulis.
Sepuluh menit kemudian, kami memilih dan membacakan jawaban yang menarik.
Sebuah tulisan miring cukup menarik, dan membuat hatiku bergetar:
"Saya menjadi guru agar anak-anak dikampung saya tak lagi harus mendayung perahu ke seberang pulau demi mendapat pendidikan"
Suasana haru menyelimuti kami-para fasilitator pelatihan- mengundang penulis jawaban itu untuk berbagi didepan peserta.
Seorang ibu paruh baya yang duduk di barisan terdepan berdiri dan maju. Namanya Nun Patiran dengan penampilan sederhana, mengenakan blazer berpadu dengan rok dibawah lutut serta bersepatu pantofel warna gelap.
"Dulu, setiap hari saya harus mendayung ke pulau seberang untuk bersekolah" wanita dengan sanggul sederhana itu membuka kisahnya dengan suara bergetar menunjukkan adanya emosi yang tertahan.
Ibu Nun lalu melanjutkan ceritanya. Saat hendak bersekolah, perahu yang ditumpangi dengan beberapa orang kawannya tiba-tiba terbalik. Untung perahu itu belum jauh berlayar, dan ayahnya ibu Nun yang melihat kejadian itu segera menolong. Dengan baju yang basah kuyup dan kedinginan, ibu Nun membatalkan ke sekolah. Ternyata, hal itu membuat ayahnya berang.
"Kamong harus tetap sekolah. Bodoh itu harus berhenti di beta! Beta pu anak cucu, semua tidak boleh bodoh lai!" Ibu Nun mengulang kembali kata-kata ayahnya yang mengatakan biarlah bodoh itu sampai pada dia, tidak perlu sampai ke anak cucu.
Kami yang hadir terharu, meresapi betul ucapan itu dalam hati. Betapa keinginan untuk melepaskan diri dari kebodohan sudah terpatri begitu lama dalam di ibu Nun Patiran.
Selama kurang lebih 30 tahun, ia mengabdi sebagai guru di kampung tanpa penerangan listrik, sinyal internet dan keterbatasan lain. Beliau juga pernah mendirikan 'sekolah darurat' di sebuah gereja pada awal bertugas. Semua perjuangan itu dilakukannya demi membuat anak cucu dikampung halamannya terbebas dari kebodohan.
Apresiasi tertinggi untuknya justru muncul dari hal yang sederhana "Saya merasa jerih payah saya terbayarkan saat melihat murid saya berhasil, ada yang jadi pejabat, bekerja sebagai guru, sebagai dokter, dan banyak lagi". Makna apresiasi tertinggi baginya adalah saat melihat bahwa tidak ada lagi label bodoh di dahi muridnya.
Secara nyata.
(Dikisahkan oleh Maria Jeanindya, pengajar muda di Fakfak)
Dari buku "Catatan Kecil Pengajar Muda" Setahun Mengajar Seumur Hidup Menginspirasi.
Keterangan foto: Pembelajaran di daerah pedalaman