Hari ini adalah hari terakhir saya di desa yang amat saya cintai. Berat perasaan saya meninggalkan semua keluarga disana. Bagaimana mungkin hari ini menjadi hari terbaik sekaligus terburuk dalam hidup saya. Di satu sisi saya harus kembali ke keluarga saya di Jawa. Pada sisi lain, ini adalah hari terakhir saya di desa Bibinoi.
Pendeta Oskar mengundang saya untuk mengucap salam perpisahan dengan jemaah gereja sekaligus seluruh warga Nasrani. Dengan berat hati, saya berangkat ke pertemuan terakhir dengan warga yang saya kasihi.
Di rumah pendeta, saya dipersilahkan masuk. Kami berbicara dengan hangat dan akrab diselingi minum teh dan makan kue-kue.
Saya ingat sebuah peristiwa dirumah ini beberapa saat lalu. Untuk menjamu makan saya, ibu pendeta bersusah-susah meminjam peralatan makan tetangganya yang muslim untuk menjamin saya tidak termakan sesuatu yang dilarang agama.
Jemaah sudah banyak berkumpul didepan rumah pendeta, demikian juga anak-anak. Pendeta Oskar mengajak saya untuk masuk gereja. Sepertinya saya adalah satu-satunya muslim yang ada didalam gereja dan duduk di bangku terdepan. Saya mengenakan baju koko, karena hari itu masih dalam suasana Idul Adha.
Pendeta Oskar membuka pertemuan dengan memberitahukan bahwa hari ini adalah hari terakhir saya di Bibinoi. Saya berusaha untuk tidak menangis menghadapi perpisahan ini. Hal yang sama nampaknya dialami oleh warga dan anak-anak.
"Bapak deng (dan) ibu boleh jadi petani, boleh jadi nelayan. Tapi ngoni pe anak (anak kalian) harus jadi dokter, harus jadi insinyur, atau jadi guru. Anak-anak harus pergi ke sekolah. Dengan pendidikan, moga-moga hidup kitorang (kita semua) akan jadi lebih baik" demikian saya memberikan sambutan.
Giliran beberapa orang tua murid menyampaikan pesan dan kesan:
"Selama 30 tahun saya hidup di Bibinoi, saya tak pernah melihat guru seperti Pak Bayu. Yang mau berkotor-kotor dengan anak-anak, mandi di kali dengan anak-anak. Pak Bayu sudah banyak mengubah anak-anak kami" demikian seorang bapak memberikan kesan.
Bapak lain berkata "Saya melihat sendiri perubahan yang terjadi pada anak saya. Saya sangat berterimakasih. Kami tidak bisa memberi apa-apa selain doa agar pak Bayu selalu dirahmati oleh Tuhan"
"Jika pak Bayu nanti jadi calon presiden, pasti kami semua warga Bibinoi akan memilih pak Bayu" ujar seorang bapak terakhir.
Beberapa jemaah terlihat mulai menitikkan air mata, sebagian anak juga terlihat matanya berkaca-kaca.
Setahun lalu kami orang asing dan tidak saling mengenal. Hari ini, saya adalah keluarga mereka dan mereka juga keluarga terbaik saya.
Teringat saya pada saat Idul Fitri, semua siswa mengunjungi guru mereka tanpa kecuali. Saat mereka datang, saya siapkan kue-kue kecil untuk dibagi. Mereka mencium tangan, mengucapkan selamat dan meminta maaf. Saya pun tak lupa meminta maaf kepada anak-anak. Demikian pula saat Natal tiba. Bersama orang tuanya, murid-murid dari kampung Nasrani berkunjung ke rumah saya sekedar untuk bersilaturahmi.
Sebelum pulang, pendeta meminta saya untuk mampir ke rumahnya sekali lagi. Ada hal penting yang ingin disampaikan. Saat saya berpamitan, tiba-tiba pendeta memasukkan satu plastik keresek ke kantong baju koko saya.
Rupanya amplop yang saya tolak saat jamaah berpamitan tadi lalu dikumpulkan dan dimasukkan keresek hitam dan meminta pendeta agar menyampaikan ke saya.
Kembali saya tolak. "Pak Os, gunakan saja untuk renovasi gereja" ujar saya memohon.
"Tidak pak Bayu. Ini adalah amanat untuk pak Bayu. Saya tak berhak menerimanya"
"Pak Os, tolonglah. Gunakan uang ini untuk acara Natal sebentar lagi"
"Pak Bayu gunakan ini untuk ongkos kembali ke rumah. Biarpun sedikit, semoga bermanfaat"
Akhirnya keresek plastik itu saya terima. Sebelum pulang, saya minta izin sebentar ke kamar kecil dibelakang rumah. Dalam kamar kecil beratapkan langit itu, saya membuka amplop satu persatu. Sungguh perih hati saya melihat uang seribu, dua ribu, lima ribu yang mereka berikan kepada saya. Ada satu amplop berisi dua puluh ribu yang sangat mungkin uang sebanyak itu adalah hasil kerja keras melaut satu hari.
Pada amplop tertulis "Untuk ongkos Pak Bayu pulang". Hati saya sangat tersentuh, terharu dan akhirnya saya hanya bisa menangis.
---- o0o ----
Perahu mulai menjauh dari bibir pantai. Saya masih melihat semuanya. Semua warga menunggu perahu saya menghilang di kejauhan. Mereka setia, melambaikan tangan. Ketika perahu melewati tanjung, pulau itu tinggal bayangan samar-samar. Namun saya telah menemukan pelangi di ujung negeri.[]
(dikisahkan Bayu Adi Persada, Pengajar Muda di Desa Bibinoi, Halmahera Selatan dalam buku "Mengabdi di Negeri Pelangi")
Keterangan foto: Bayu Adi Persada (berkaca mata) bersama beberapa muridnya di Desa Bibinoi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar