(Demokritos)
"Dilema landak" (Hedgehog Dilemma) adalah sebuah analogi yang digunakan Arthur Schopenhauer.
Filsuf yang hidup pada abad XIX itu menulis:
"Sekelompok landak sedang berkumpul pada suatu hari yang dingin dan beku. Agar tak mati kedinginan, mereka saling mendekat. Begitu dekatnya, mereka lalu saling menusuk dengan bulu mereka yang tajam. Untuk menghindari rasa sakit karena tusukan, mereka membuat jarak, kehilangan kehangatan, dan mulai kedinginan lagi. Mereka saling mendekat lagi, terluka lagi, menjauh lagi. Begitu seterusnya, sampai mereka menemukan jarak yang nyaman antara tertusuk duri dan rasa hangat "
Begitu pula manusia. Sebagai makhluk sosial, mereka selalu ingin berinteraksi, saling mendekati. Namun, seringkali (tanpa sengaja), kedekatan itu (meski didasari niat baik) justru menimbulkan aksi saling menyakiti atau saling merugikan.
Melalui analogi landak itu, Schopenhauer ingin mengatakan, ada situasi atau gesekan tertentu yang tidak bisa dihindari manusia saat mereka ingin saling mendekat, menjalin hubungan timbal balik atau intimasi.
Itulah gunanya sopan santun, tata Krama atau dalam terminologi Jawa kerap disebut 'unggah-ungguh'. Andaikata unggah-ungguh ini dipunyai oleh landak, maka situasinya akan berbeda, Schopenhauer tidak akan menggunakan landak sebagai analoginya.
=================================
Seorang pengembang mengeluh kepada Pak Sam akan sulitnya pembebasan tanah yang akan dilakukan untuk membangun kompleks perumahan.
Setelah Pak Sam mendengarkan, tahulah dia, ternyata penyebanya adalah masalah unggah-ungguh ini. Kedatangan pengembang dianggap sebagai "landak pemilik modal" yang akan melukai "landak pemilik tanah"
Maka, setelah mempelajari situasinya, Pak Sam mendatangi mereka.
Yang dilakukan Pak Sam itu persis mencerminkan yang disebutkan Demokritos sebagai "minyak" yang mengurangi gesekan satu pihak dengan lainnya. Sopan santun, tata krama, unggah-ungguh, atau apapun sebutannya, adalah "minyak" yang dipahami betul fungsinya oleh Pak Sam. Tak hanya dalam kehidupan sosial, tetapi juga dalam bisnis.
Dengan menggunakan bahasa Jawa Krama (bahasa halus) pak Sam menanyakan hasil yang diperoleh dari sawahnya tiap hektar.
"Menawi sabin kula tumbas 25 yuta, terus yatranipun dipun tabung teng Bank, panjenengan nrima pinten? 5% kan sampun 1,25 yuta. Kalian setengah yuta eca pundi?" (Kalau sawah saya beli 25 juta, lalu uangnya ditabung di bank kan dapat bunga 1,25 juta. Dengan setengah juta enak mana?)
Komunikasi dengan menggunakan bahasa yang halus menunjukkan penghormatan kepada lawan bicara tentu akan membuat mereka simpati dan gesekan antara pengembang dan pemilik tanah bisa dihindari.Tak hanya itu, Pak Sam juga memberikan penjelasan rasional. Uang 25 juta bisa dibelikan sawah di lokasi lain dan petani tetap bisa mengolah sawah kembali.
Kembali Pak Sam berpesan "Jangan pernah lupakan unggah-ungguh, dalam bergaul dengan orang lain, berhubungan bisnis. Tanpa unggah-ungguh, kita tidak akan punya banyak teman, mitra bisnis, dan akhirnya tidak akan ada ketenangan hidup"
Dari buku
Refleksi Sam Santoso "When I'am Getting Older"
(Sam Santoso pernah menjabat sebagai Direktur PT "Sempulur Adi Mandiri, Kediri)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar