Thich Quang Do, mengenakan pakaian cokelat pertapa Buddha Vietnam, menyambut hangat tamunya. Rezim komunis Vietnam beberapa kali memenjarakannya. la hanya dapat menerima telpon masuk.
"Engkau bahagia sekali," komentar jurnalis yang mewawancarainya.
"Mereka tidak dapat memenjarakan pikiranku. Aku mengatupkan mataku dan pikiranku terbang kemana pun aku menghendakinya."
"Mengapa engkau sedemikian peduli dengan rakyat?"
Thich Quang Do hening sejenak untuk merangkai pikirannya.
"Aku seorang pertapa Buddha. Aku peduli dengan kebahagiaan rakyat Vietnam."
"Banyak pertapa bungkam. Engkau bersuara," tanggap jurnalis.
"Perbedaannya pada hati yang berbela rasa.Kebanyakan berpikir tentang kebahagiaan tubuhnya sendiri. Mereka jarang berpikir tentang kebahagiaan dan penderitaan sesamanya."
"Agama Buddha memiliki tradisi bela rasa, hormat akan hak asasi manusia, dan kebebasan. Rezim komunis melucuti perasaan relijius dari pikiran rakyat. Mereka merampas Pagoda dan menjadikannya gudang beras dan pupuk, bahkan kandang ayam."
"Namun mereka gagal menghancurkannya," ujar jurnalis.
"Rezim tidak dapat melakukan segala yang disukainya, meskipun mengira dapat melakukannya."[]
"𝐌𝐞𝐧𝐠𝐚𝐩𝐚 𝐬𝐚𝐲𝐚 𝐡𝐚𝐫𝐮𝐬 𝐩𝐞𝐝𝐮𝐥𝐢 𝐤𝐞𝐭𝐢𝐤𝐚 𝐭𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐚𝐝𝐚 𝐨𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐥𝐚𝐢𝐧 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐩𝐞𝐝𝐮𝐥𝐢? 𝐔𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐚𝐥𝐚𝐬𝐚𝐧 𝐬𝐞𝐝𝐞𝐫𝐡𝐚𝐧𝐚 𝐛𝐚𝐡𝐰𝐚 𝐰𝐚𝐤𝐭𝐮 𝐩𝐚𝐥𝐢𝐧𝐠 𝐤𝐫𝐢𝐭𝐢𝐬 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐩𝐞𝐝𝐮𝐥𝐢 𝐚𝐝𝐚𝐥𝐚𝐡 𝐤𝐞𝐭𝐢𝐤𝐚 𝐭𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐚𝐝𝐚 𝐨𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐥𝐚𝐢𝐧 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐦𝐞𝐥𝐚𝐤𝐮𝐤𝐚𝐧𝐧𝐲𝐚."
(Craig D. Lounsbrough)
Dari buku
"JUST FOR YOU "
Tidak ada komentar:
Posting Komentar