Aku lahir sebagai anak sulung dari tiga bersaudara di sebuah desa di kabupaten Boyolali.
Orang tua kami bekerja sebagai guru SD dengan penghasilan yang kecil. Begitu kekurangannya, sehingga untuk mendirikan rumah tinggal yang layak, mereka memerlukan waktu selama 13 tahun. Sepeda onthel adalah satu-satunya kendaraan yang digunakan untuk mengajar ke Sukoharjo yang jaraknya cukup jauh dari kampung kami.
Sebuah pukulan datang saat aku kelas 3 MI/SD ketika ibu berpulang setelah dirawat lima belas hari di Rumah Sakit Kasih Ibu, Solo.
Sepeninggal Ibu kami harus tetap berjuang, bapak menjadi seorang Single Parent dan kami mulai berbagi tugas.
Sebelum berangkat bertugas bapak masak untuk kami semua buat sarapan dan makan siang.
Pukul 13.00 sepulang sekolah aku mulai membereskan bekas makan sebelum berangkat belajar kelompok di rumah teman. Dari mereka yang buku-bukunya lebih lengkap aku bisa membuat catatan dan menyelesaikan tugas.
Walaupun kami hidup dengan satu sayap, kami masih merasa bahagia. Bapak sungguh sangat mengerti kami. Minggu adalah hari yang kami nanti-nantikan karena hari itu Bapak mengajak kami dengan sepeda motor bekasnya ke Bandara Adi Soemarmo, Solo, untuk melihat pesawat. Kami sangat senang. Senang bahwa kami melihat pesawat yang besar dengan sayapnya yang gagah. Dan, saat itu, Bapak bilang bahwa suatu saat kami bisa naik pesawat itu, entah nanti jalannya bagaimana. Bapak menekankan bahwa dengan belajar yang tekun, cita-cita kami akan tercapai, termasuk untuk bisa naik pesawat. Rasanya mustahil bagi kami untuk bisa merasakan naik pesawat, terlebih mengingat keadaan kami pada saat itu. Biasanya sepulang dari jalan-jalan kami diajak makan soto kampung di warung pinggir jalan.
Sejak kecil aku dilatih untuk berdisiplin, terutama shalat lima waktu dan belajar. Alhamdulillah, selama enam tahun di MI aku selalu menduduki peringkat 1 atau 2, dan sering mewakili sekolah untuk mengikuti pelbagai macam lomba.
Ada suatu episode yang begitu membekas di hatiku. Saat itu, entah mengapa pukul satu dini hari aku terbangun. Aku langsung menuju ruang tamu karena lampu masih menyala. Aku melihat Bapak sedang menyetrika baju kami. Memang, menjadi kebiasaannya setiap malam Minggu lembur menyetrika baju kami. Tidak hanya baju sekolah saja yang disetrika, tapi baju yang kami pakai sehari-hari.
"Bapak kok belum tidur?"
"Nduk, meski ibu sudah tidak ada, Bapak ingin kalian tetap tampil rapih dengan baju kalian" begitu jawaban Bapak.
Aku ingat janjiku di depan jenazah Ibu bahwa aku akan menjadi anak yang terbaik baginya. Aku juga akan menjadi kakak yang terbaik bagi adik-adikku, yang membanggakan mereka dan tidak ingin mengecewakan Bapakku dengan perjuangannya yang besar
Lulus dari MI dengan peringkat ketiga peraih NEM se kecamatan, aku melanjutkan ke SMP Negeri I Sawit,sekolah negeri favorit yang lokasinya tidak jauh dari rumahku. Hanya sekitar empat kilometer. Setiap hari aku berangkat naik sepeda ke sana. Teman-teman baruku di SMP karena banyak yang pintar membuat aku banyak ketinggalan dan harus menyusulnya
Aku mulai meningkatkan disiplin. Pulang sekolah, aku makan, kemudian beristirahat sebentar. Setelah itu, aku terbiasa mengulang pelajaran yang telah diajarkan di sekolah. Malamnya setelah shalat Isya dan membaca Al-Quran aku melanjutkan belajar sampai pukul 23.00. Dengan begitu, alhamdulillah aku bisa mengejar ketertinggalan. Dan, hasil dari disiplin yang ketat, belajar, dan berdoa yang tiada henti, selama tiga tahun belajar di SMP aku berhasil menduduki peringkat 1. Hal yang sama terjadi pula saat aku melanjutkan sekolahku di SMA I Boyolali yang jaraknya 15 km dari rumahku. Di SMA ini aku tambah bersemangat untuk maju.
Alhamdulillah, berkat usaha yang terus-menerus sampai lulus SMA aku selalu menduduki peringkat lima besar di kelas.
Jurusan Kimia Unnes (dahulu IKIP Semarang) adalah tempatku kuliah usai menamatkan SMA.
Sebuah lingkungan baru yang berbeda dibandingkan dengan jenjang sekolah yang kulalui sebelumnya. Jadwal perkuliahan, organisasi mahasiswa, ekstra kurikuler Rohis (Rohani Islam) telah membuka wawasanku tentang dunia.
Dengan uang kiriman dari bapak yang terbatas akhirnya aku ikut angkatan 69 (berangkat jam 6 pagi, pulang jam 9 malam). Semua usaha kecil-kecilan kulakukan mulai berjualan sari jahe, telor asin, kerupuk.
Di kampus juga aku mengenal lomba karya tulis mahasiswa. Dan aku mencoba ikut lomba tersebut. Tidak jarang aku gagal seleksi, mencoba lagi, gagal lagi sampai akhirnya aku bisa membuat karya yang baik, dengan meminjam komputer laboratorium dan memenangkan tingkat provinsi dan harapan tingkat Nasional.
Lulus kuliah aku diterima kerja, tapi bapak melarang dan menyuruh untuk melanjutkan kuliahku ke S2 di Teknik Kimia UGM. Datang pertolongan Allah saat aku membutuhkan biaya. Seorang kawan menawarkan aku untuk mengurus kontrakan saudaranya di Kaliurang dengan imbalan gratis tinggal di tempat tersebut. Sebuah bimbingan belajar juga memanggilku untuk direkrut sebagai tenaga pengajar. Dengan demikian Bapak sudah tidak perlu membiayai aku lagi.
Datang lagi program Dual Degree dari program S2 UGM, yaitu kuliah master UGM setahun dilanjutkan dengan 1,5 tahun lagi di Technical University Braunschweig, Jerman. Para peserta yang lolos seleksi dual degree itu nantinya akan mendapatkan ijazah dua buah, yaitu dari UGM dan Technical University Braunschweig. Lintasan impian masa kecil itu tergambar lagi, saat melihat pesawat terbang di Bandara Adi Soemarmo. Maka aku mendaftar program tersebut. Waktu itu yang lolos wawancara lima orang, dan aku adalah salah satunya. Kami diwawancarai langsung oleh Vice President TU Braunschweig. Dari lima orang peserta, yang akan diberangkatkan dua orang. Dan, alhamdulillah, aku beruntung mendapatkan beasiswa itu.
Kini, sudah 1,5 tahun aku berada di Jerman. Aku membaca bait-bait yang selalu menyemangatiku.
π©πππππππ πππππππππ ππππ ππππππππ
π©πππππππ πππππππππ ππππ πππππ ππ π πππππππππππ
πΊπππππ ππππ ππππππ πππ ππππ ππππππ ππ ππππππππππ
πππ?
π©πππππππ π¨ππππ πππ ππ ππππππππ
π«ππ ππππ ππππππππππ ππππ ππππ ππππ ππππππππ
π©ππππππππππ π ππππ ππππππ πππππ ππππ
π°πππππππ πππ ππππ ππππ-ππππ ππππ πππ ππ
π©πππππππ π ππ ππππ π ππππ ππππ ππππππππππππ
π°πππππππ πππ ππππ πΊπππ π―ππππ
π²ππππππππ π ππ πππ ππ ππππ πππππ π π πππ πππ πππππππ
π²ππππππ πππ πππππ ππππππ πΊπππ π―ππππ?
π©πππππππ πππ πππππ πππππππ
π¨πππ πππππ π π πππππ πππ
π΄ππππππππππ πππππ ππππππππππ
π²πππππ ππππππππ ππππππππ πππ?
π·ππ ππππ, πππππππ ππππππππ ππππππ ππππ ππππ ππππ πππ ππππππ
π°πππππππ πππ?
π©ππππ πππππ πππ ππππππππ π πππππ πππππππ π ππ ππππ ππππππ
π²ππππππ πππππ ππππππππππ πππππ?
π΄πππ ... ππππ ... ππππ
π±πππππ πππ ππππππππ ππππ ππππ πππ
π¨πππ πππ ππππ πππππππ ππ ππππ πππππ.
(Dikisahkan oleh Shohifah Annur dalam buku "Berjalan Menembus Batas)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar