"𝘗𝘦𝘯𝘥𝘪𝘥𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘫𝘢𝘵𝘪 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘱𝘦𝘯𝘥𝘪𝘥𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘫𝘢𝘳𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘪𝘵𝘢 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘩𝘪𝘥𝘶𝘱 𝘣𝘦𝘳𝘴𝘢𝘮𝘢, 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘴𝘢𝘭𝘪𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘩𝘢𝘳𝘨𝘢𝘪, 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘴𝘢𝘭𝘪𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘢𝘯𝘵𝘶, 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘴𝘢𝘭𝘪𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘤𝘪𝘯𝘵𝘢𝘪."
(Ki Hadjar Dewantara)
Barangkali sudah membudaya di Maluku, kekerasan berbanding lurus dengan pengajaran. Jarang sekali ada yang percaya dengan kekuatan pengajaran tanpa kekerasan. Setiap aku pergi ke rumah siswa, bertemu dengan orang tua mereka, banyak yang menitipkanku sebuah amanah. Aku diberi pesan yang mereka anggap paling mujarab untuk mengatasi kenakalan anaknya.
Orang tua berpesan, "Ibu, pukul dia saja."
Aku hanya bisa tersenyum kepada mereka, sambil berkata sehalus mungkin dan hati-hati: "Maaf Ibu dan bapak, saya tidak tega. Saya akan membimbing mereka, sampai mereka mau belajar."
Setelah aku pamit pulang, rasanya langkah kaki ini berjalan lebih cepat. Aku selalu pulang dengan semangat yang besar. Pesan itu selalu jadi bensin yang menyulut kobaran semangatku untuk terus berproses.
Aku akan tunjukkan anaknya akan lebih pintar tanpa kekerasan. Aku memilih untuk tidak berhenti, lalu balik badan. Mari berproses!
Sabtu, 4 Maret 2012.
SD Kristen Werain menggelar pertemuan orang tua untuk menjalin komunikasi orang tua dan guru
Tak disangka, di pertemuan ini namaku disebut-sebut oleh orang tua murid yang menyampaikan pendapatnya mengenai cara mengajarku yang menurut istilahnya 'kejawa-jawaan'.
Pria yang rupanya seorang guru SMP itu berbicara panjang lebar soal karakter. "Karakter orang Jawa itu bisa kita kasih tahu sedikit, dia sudah menurut. Tetapi karakter orang Maluku ini, dia harus pake rotan kalau mau menurut. Kalau Ibu tetap pertahankan cara mengajar Ibu yang seperti ini, pendidikan di desa ini tidak akan maju. Kita semua harus sepakat di dalam ruangan ini - bahwa anak kita harus diberikan hukuman jika bersalah. Tidak bisa dibiarkan" ucapnya dengan lantang.
Rupanya tanggapan para hadirin mengisyaratkan persetujuan. Banyak dari mereka yang mengangguk-angguk.
Rupanya Bapak kepala sekolahku sependapat denganku. Beliau memberikan tanggapan atas pernyataan dan pertanyaan dari orang tua murid. Beliau menegaskan bahwa yang terpenting bukan memukul atau tidak, tetapi bagaimana cara guru dalam mengajar dan juga cara guru dalam memberikan peringatan.
Dari beliaulah datang bukti bahwa orang Maluku tidak semuanya memiliki sikap keras dan mengerasi orang lain. Beliau adalah sosok yang sangat menghormati orang lain dan mampu bersikap tegas meski tetap menghargai orang tersebut.
Dalam rapat-rapat guru, tidak jarang beliau mengingatkan kami, para guru, untuk mengajari anak dengan kasih sayang, bukan dengan kekerasan. Jarang ada yang percaya pendidikan tanpa kekerasan itu bisa berhasil. Tetapi yang perlu diingat, ketidakpercayaan ini tidak berlaku di sekolahku.
Pelan-pelan sekolahku menjadi tempat yang damai. Hasilnya sudah mulai terlihat. Para guru menjadi semakin percaya. Sambil guru-guru berproses dalam kelas, kepala sekolah berperan sebagai pengawas dan motivator untuk tetap istiqomah. Tidak ada yang tidak mungkin menurut kami.
Lalu apakah pendidikan tanpa kekerasan itu bisa berhasil?
Kami percaya bisa.[]
"𝙰𝚗𝚊𝚔 𝚊𝚍𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚙𝚎𝚗𝚒𝚛𝚞 𝚝𝚎𝚛𝚋𝚊𝚒𝚔, 𝚓𝚊𝚍𝚒 𝚋𝚎𝚛𝚒𝚔𝚊𝚗𝚕𝚊𝚑 𝚖𝚎𝚛𝚎𝚔𝚊 𝚜𝚎𝚜𝚞𝚊𝚝𝚞 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚑𝚎𝚋𝚊𝚝 𝚞𝚗𝚝𝚞𝚔 𝚍𝚒𝚝𝚒𝚛𝚞."
(𝑫𝒊𝒌𝒊𝒔𝒂𝒉𝒌𝒂𝒏 𝒐𝒍𝒆𝒉 𝑨𝒓𝒖𝒎 𝑷𝒖𝒔𝒑𝒊𝒕𝒂𝒓𝒊𝒏𝒊 𝑫𝒂𝒓𝒎𝒊𝒏𝒕𝒐, 𝑷𝒆𝒏𝒈𝒂𝒋𝒂𝒓 𝑴𝒖𝒅𝒂 𝑺𝑫𝑲 𝑾𝒆𝒓𝒂𝒊𝒏 𝑲𝒂𝒃.𝑴𝒂𝒍𝒖𝒌𝒖 𝑻𝒆𝒏𝒈𝒈𝒂𝒓𝒂 𝑩𝒂𝒓𝒂𝒕, 𝑴𝒂𝒍𝒖𝒌𝒖 𝒅𝒂𝒍𝒂𝒎 𝒃𝒖𝒌𝒖 "𝑷𝒂𝒏𝒈𝒈𝒊𝒍𝒂𝒏 𝑯𝒂𝒕𝒊 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝑩𝒆𝒓𝒃𝒂𝒈𝒊")

Tidak ada komentar:
Posting Komentar