Jakarta 1968
Usiaku saat itu 19 tahun dan bekerja sebagai penjaga alat-alat kantor pada sebuah bank asing terbesar di Indonesia. Meski begitu aku kadang menerima tugas-tugas lain seperti hari itu, aku mendapat tugas dari pimpinan bidang lain. Sebagai pesuruh tentunya tidak boleh menolak tugas dari semua atasan . Kali ini aku disuruh mengantarkan dokumen ke Bank Indonesia. Dari kantor aku harus naik bus dua kali untuk pergi ke sana.
Saat menunggu bus di halte dekat kantor, tiba-tiba terlihat seorang wanita tua yang nampaknya kebingungan. Semula aku tidak peduli, tapi lama-lama aku jadi iba melihatnya. Dari cara berbusananya nampaknya wanita itu datang dari seberang.
"Ibu mau kemana?"
"Saya mau ke kota" jawabnya dengan logat kental daerahnya.
"Ke tempat siapa, Bu?"
"Tempat warung makan anak saya di kota" Tapi dia tidak tahu persis dimana warung makan anaknya tersebut. Karena kebetulan arahnya searah dengan tujuanku ke Bank Indonesia, maka wanita itu aku ajak bersama.
Sampai di kota, aku turun di halte depan Bank Indonesia. Ternyata wanita itu ikut turun denganku.
Segera kutanya "Lho, kedai makannya dimana, Bu?". "Ndak tahu" jawabnya singkat. Tentu saja aku jadi bingung. Seorang wanita tua mencari warung makan anaknya, tapi alamatnya tidak tahu. Sementara tugasku sendiri harus selesai pukul 10.00. Aku ingin meninggalkan wanita itu dan segera menyerahkan dokumen ke Bank Indonesia. Tetapi hatiku tidak tega meninggalkannya begitu saja. Apalagi nampaknya dia baru datang ke Jakarta pertama kali.
Karena aku sendiri harus menyelesaikan tugasku sementara waktu makin mendesak, maka aku temui seorang tukang becak untuk minta tolong mengantarkannya. Kebetulan tukang becak itu kenal betul daerah itu dan saat itu wilayah kota belum luas dan tidak macet.
"Bang, tolong antarkan Ibu ini ke warung makan anaknya. Dia tak tahu alamatnya, tapi nama warungnya tahu. Jadi tolong dia sampai menemukannya. Ini ongkosnya saya lebihkan barangkali harus keliling". Tukang becak itu gembira sekali mendapat uang yang lebih banyak dan menyanggupi membantu.
Tapi, sebelum naik becak wanita itu menghampiriku. Belum sempat aku bertanya, wanita itu langsung mengangkat tangannya keatas dan berdoa dengan khusuk untukku. Doa yang dipanjatkan itu masih kuingat: "Ya Allah,di kala aku tersesat, anak ini memberikan jalan keluar. Dikala aku bersedih, dia memberikan kegembiraan. Dikala aku berputus asa, dia memberikan harapan. Ya Allah, perlakukanlah anak ini dengan apa yang sudah diperlakukan padaku. Jangan beri kesempatan dia bersedih, jangan sampai dia berputus asa. Jangan sampai terhenti apa yang diinginkannya. Karena Engkau adalah yang mewujudkan segala harapan. Beri anak ini keselamatan dan kegembiraan" Semula aku hanya diam dan tersenyum, tapi lama-lama akupun larut dalam keharuan. "Selamat ya Nak" katanya sambil mencium keningku. Tak terasa ada butir air mata yang menetes, aku tak mampu menahan tangis sampai wanita itu pergi dengan naik becak.
Segera aku masuk ke Bank Indonesia lima menit menjelang pukul 10.00. Alhamdulillah, tugas membantu wanita mencari anaknya dan mengantar dokumen telah terselesaikan semua. Kegembiraan itu berubah menjadi perasaan cemas saat tiba di kantor.
Mendadak aku dicari Direktur Operasional. Pikirku pasti ada kesalahan yang kulakukan sehingga akan ada kemungkinan terburuk. "Tidak tahu ya. Mungkin hanya ingin bertemu denganmu" kata atasanku. Dengan perasaan was-was, akhirnya aku pergi menghadap Direktur operasional. Dia adalah Warga Negara Asing asal India. Dengan keterbatasan penguasaan bahasa Inggrisku kusimpulkan bahwa Sang Direktur meminta aku meninggalkan tugas di tempat lama ke tempat yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan.
"Mulai besok, kamu tidak usah di gudang lagi. Kamu dipindah ke sana, tapi kamu harus belajar serius. Kalau kamu berhasil, kamu akan menjadi pilihan disana", kata direktur operasional itu. Ditengah-tengah rasa gembira itu, tiba-tiba aku teringat kembali wajah wanita yang tadi kutolong. Hanya dalam hitungan beberapa jam saja, ternyata doanya dikabulkan...[]
Dari buku
VISA KE SURGA