Yasuhiro Yamashita sudah meraih sabuk hitam Judo pada saat SMP, dan menjadi juara Jepang pada usia 19 tahun, saat ia kuliah di Universitas Tokai. Ia pernah menjadi juara Jepang sembilan tahun berturut-turut, juara dunia tiga kali yang kemudian membawanya ke Olimpiade.
Los Angeles, Amerika serikat 1984
Pada perempat final Yasuhiro Yamashita berhadapan dengan Arthur Schnabel dari Jerman. Kemenangannya itu harus ditebus dengan cideranya otot betis. Namun dia tidak mau membuat malu negaranya sehingga memutuskan untuk maju ke semifinal.
Laurent del Colombo sudah menunggu Yamashita di babak tersebut. Dan tigapuluh detik kemudian Yamashita terbanting di matras. Tak lama kemudian ia berhasil mengimbangi sehingga skornya seri. Dan dengan susah payah akhirnya Yamashita memenangkan pertandingan tersebut. Namun ia harus menebusnya dengan sobekan otot betisnya semakin melebar. Kembali dia maju ke babak final.
Mohammed Ali Rashwan dari Mesir sudah menunggunya di babak final. Dengan berjalan sambil menyeret kakinya Yamashita berdiri didepan Ali Rashwan.
Pertarungan kedua Judoka tangguh itu rupanya dalam posisi bergumul diatas matras (ne waza). Pada detik ke limapuluh wasit menghentikan pertandingan setelah Yamashita melakukan kuncian yang membuat Ali Rashwan tak berkutik. Yamashita memenangkan babak final dengan nilai mutlak.
Olimpiade telah usai, namun di Alexandria, Mesir Ali Rashwan masih merasakan peristiwa itu.
Setiap kali melihat rekaman pertandingan final antara dirinya dan Yamashita, matanya berkaca-kaca. Sebuah rasa haru yang memang sudah pada tempatnya sebagaimana ungkapannya, "𝑷𝒂𝒅𝒂 𝒕𝒂𝒉𝒖𝒏𝟏𝟗𝟖𝟒, 𝒔𝒂𝒚𝒂 𝒕𝒆𝒓𝒑𝒊𝒍𝒊𝒉 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒎𝒆𝒘𝒂𝒌𝒊𝒍𝒊 𝒏𝒆𝒈𝒂𝒓𝒂 𝒔𝒂𝒚𝒂 𝒅𝒊 𝒐𝒍𝒊𝒎𝒑𝒊𝒂𝒅𝒆 𝒅𝒊 𝑳𝒐𝒔 𝑨𝒏𝒈𝒆𝒍𝒆𝒔. 𝑺𝒂𝒚𝒂 𝒕𝒂𝒉𝒖 𝒃𝒂𝒉𝒘𝒂 𝒅𝒂𝒍𝒂𝒎 𝒌𝒂𝒕𝒆𝒈𝒐𝒓𝒊 𝒔𝒂𝒚𝒂, 𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒉𝒂𝒓𝒖𝒔 𝒅𝒊𝒌𝒂𝒍𝒂𝒉𝒌𝒂𝒏 𝒂𝒅𝒂𝒍𝒂𝒉 𝒀𝒂𝒔𝒖𝒉𝒊𝒓𝒐 𝒀𝒂𝒎𝒂𝒔𝒉𝒊𝒕𝒂, 𝒅𝒂𝒏 𝒔𝒂𝒚𝒂 𝒔𝒆𝒅𝒂𝒏𝒈 𝒃𝒆𝒓𝒎𝒊𝒎𝒑𝒊 𝒌𝒆𝒕𝒊𝒌𝒂 𝒃𝒆𝒓𝒕𝒆𝒎𝒖 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏𝒏𝒚𝒂 𝒅𝒊 𝒇𝒊𝒏𝒂𝒍 𝒐𝒍𝒊𝒎𝒑𝒊𝒂𝒅𝒆. 𝑺𝒆𝒕𝒊𝒂𝒑 𝒖𝒔𝒂𝒉𝒂 𝒉𝒂𝒏𝒚𝒂𝒍𝒂𝒉 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒎𝒆𝒏𝒖𝒓𝒖𝒏𝒌𝒂𝒏 𝒅𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒂𝒍𝒂𝒉𝒌𝒂𝒏𝒏𝒚𝒂. 𝒍𝒂 𝒂𝒅𝒂𝒍𝒂𝒉 𝒊𝒌𝒐𝒏 𝒔𝒆𝒋𝒂𝒕𝒊 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒔𝒆𝒎𝒖𝒂 𝒋𝒖𝒅𝒐𝒌𝒂 𝒑𝒂𝒅𝒂 𝒔𝒂𝒂𝒕 𝒊𝒕𝒖."
Para wartawan bertanya apakah Rashwan tidak tahu bahwa Yamashita sudah cedera parah pada kaki kanannya? Jadi, Rashwan secara taktis bisa memusatkan serangan pada kaki terlemah dan memenangi perlombaan, serta merenggut medali kebanggaan setiap atlet dari seluruh negara, yakni medali emas olimpiade.
Rashwan menjawab,
"𝑺𝒆𝒃𝒆𝒏𝒂𝒓𝒏𝒚𝒂, 𝒔𝒂𝒚𝒂 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒊𝒏𝒈𝒊𝒏𝒌𝒂𝒏 𝒌𝒆𝒎𝒆𝒏𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒔𝒆𝒑𝒆𝒓𝒕𝒊 𝒊𝒕𝒖. 𝑺𝒂𝒚𝒂 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒊𝒏𝒈𝒊𝒏 𝒔𝒖𝒂𝒕𝒖 𝒉𝒂𝒓𝒊, 𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈-𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒂𝒕𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒃𝒂𝒉𝒘𝒂 𝒔𝒂𝒚𝒂 𝒎𝒆𝒏𝒂𝒏𝒈 𝒌𝒂𝒓𝒆𝒏𝒂 𝒀𝒂𝒎𝒂𝒔𝒉𝒊𝒕𝒂 𝒕𝒆𝒓𝒍𝒖𝒌𝒂. 𝑺𝒂𝒚𝒂 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒃𝒊𝒔𝒂 𝒎𝒆𝒏𝒆𝒓𝒊𝒎𝒂 𝒉𝒂𝒍 𝒕𝒆𝒓𝒔𝒆𝒃𝒖𝒕 𝒅𝒆𝒎𝒊 𝒅𝒊𝒓𝒊 𝒔𝒂𝒚𝒂 𝒔𝒆𝒏𝒅𝒊𝒓𝒊."
Jiwa sportivitas Rashwan menolak untuk menyerang kaki Yamashita yang pasti akan memperburuk koyakan lukanya. Rashwan memilih bertanding dengan cara ne waza, yaitu bergumul di bawah sebab dengan cara tersebut maka kaki Yamashita akan berkurang bebannya. Sebaliknya, cengkeraman, pitingan, dan kuncian tangan akan lebih dimaksimalkan. Namun, pilihan yang diambilnya salah.
Mata Rashwan berkaca-kaca, tetapi bukan karena penyesalan akibat pilihan "salah" yang diambilnya saat final. Sekalipun ia pulang dengan merelakan medali emas kepada Yamashita, Rashwan membawa pulang sebuah medali lain yang dikeluarkan oleh International Fair Committee, yakni medali emas fair play atas jiwa sportivitas Rashwan pada babak final olimpiade. Medali puncak kebanggaan setiap atlet yang mengetahui persis arti dari kejujuran dan keadilan dalam setiap pertandingan.
Ali Rashwan hanya seorang laki-laki sederhana yang dikenal ramah-tamah kepada siapa pun. Akan tetapi, keteladanan yang dimilikinya telah membuat Rashwan menjadi figur yang sangat dihormati, bahkan secara rutin dia diundang ke Jepang sebagai tamu kehormatan oleh Federasi Judo Jepang.[]
Dari buku
"Dari Kuntum Menjadi Bunga" Jilid 2.
Seri Kumpulan Kisah Inspiratif