Warung itu terletak tidak jauh dari kompleks perhotelan yang mewah.
kedatangan saya diwarungnya disambut dengan senyum ramah sambil menyodorkan pisang goreng dan menanyakan minuman yang saya pesan.
Pemilik warung itu bernama Sudiro, tapi akrab dipanggil dengan Wak Diro. Dari obrolan dengannya saya mengetahui ia adalah perantau asal Kudus yang sudah 16 tahun menjual gorengan pisang.
Dalam satu hari ia bisa menghabiskan satu tandan besar dan hasil penjualannya bisa menyekolahkan keempat anaknya hingga menjadi sarjana. Wak Diro rupanya pernah kuliah di fakultas teknik universitas negeri di Yogyakarta, walau ia hanya bisa sampai semester 5. Kenapa tidak bisnis yang lain Wak? Atau menjadi pegawai negeri? Tanya seseorang menyelidik. Belum sempat ia menjawab, ia minta permisi karena datang satu mobil Kijang Inova baru yang mendekat. Ternyata mobil itu dikemudikan oleh istrinya yang mengantarkan sesuatu. Pikiran saya berputar tak tentu, "𝑺𝒆𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒑𝒆𝒏𝒋𝒖𝒂𝒍 𝒑𝒊𝒔𝒂𝒏𝒈 𝒈𝒐𝒓𝒆𝒏𝒈 𝒎𝒂𝒎𝒑𝒖 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒖𝒍𝒊𝒂𝒉𝒌𝒂𝒏 𝒌𝒆𝒆𝒎𝒑𝒂𝒕 𝒂𝒏𝒂𝒌𝒏𝒚𝒂 𝒉𝒊𝒏𝒈𝒈𝒂 𝒔𝒂𝒓𝒋𝒂𝒏𝒂 𝒅𝒂𝒏 𝒌𝒊𝒏𝒊 𝒅𝒊𝒅𝒆𝒑𝒂𝒏 𝒎𝒂𝒕𝒂 𝒔𝒂𝒚𝒂, 𝒔𝒊 𝑰𝒔𝒕𝒓𝒊 𝒅𝒂𝒕𝒂𝒏𝒈 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒎𝒐𝒃𝒊𝒍 𝒃𝒂𝒓𝒖 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒎𝒖𝒓𝒂𝒉 𝒉𝒂𝒓𝒈𝒂𝒏𝒚𝒂".
Penasaran, saya mencoba untuk mengamati semua sudut warung kecil itu. Penataan dagangan lumayan menarik, tetapi tidak istimewa. Kualitas produknya berupa gorengan juga terasa sama seperti pisang goreng ditempat lain. Atmosfir warung juga sama seperti warung-warung lain, walau yang ini terlihat lebih bersih dan terjaga. Sarana promosi sangat sederhana, hanya tulisan Pisang Goreng Panas yang ditulis tangan dengan kuas biasa. Daftar harga tercetak di selembar kertas terlaminasi yang ditempel didinding sebelah kiri. Ada dua orang pegawai yang membantu menggoreng, membuat minuman dan melayani pelanggan sekaligus. Tetapi jumlah pembelinya tiada henti seperti air mengalir. Tak lama kemudian istri Wak Diro pergi, kata Wak Diro, istrinya harus mengantar beberapa kertas tisue ke lima cabangnya yang lain. Rahasia bisnisnya yang ajaib itu makin membuat saya penasaran
"𝑴𝒂𝒔, 𝒔𝒂𝒎𝒑𝒆𝒚𝒂𝒏 𝒂𝒑𝒂 𝒑𝒆𝒓𝒄𝒂𝒚𝒂 𝒔𝒂𝒎𝒂 𝑮𝒖𝒔𝒕𝒊 𝑨𝒍𝒍𝒂𝒉?, Wak Diro melontarkan pertanyaan kepada saya. Sebuah pertanyaan yang sulit untuk dijawab, karena saya tidak bisa memperkirakan kemana arah pemikirannya. Lalu tanpa menunggu jawaban saya, Wak Diro menjelaskan bahwa dalam 8 tahun terakhir la tidak lagi mencari uang semata, tapi ia mencari Tuhan. "𝑼𝒂𝒏𝒈 𝒃𝒂𝒈𝒊 𝒔𝒂𝒚𝒂 𝒉𝒂𝒏𝒚𝒂𝒍𝒂𝒉 𝒔𝒆𝒌𝒂𝒅𝒂𝒓 𝒃𝒐𝒏𝒖𝒔 𝒂𝒕𝒂𝒔 𝒑𝒆𝒏𝒄𝒂𝒓𝒊𝒂𝒏 𝒅𝒂𝒏 𝒑𝒆𝒏𝒈𝒂𝒃𝒅𝒊𝒂𝒏 𝒔𝒂𝒚𝒂 𝒌𝒆 𝑮𝒖𝒔𝒕𝒊 𝑨𝒍𝒍𝒂𝒉". Ia meyakini bahwa hanya Tuhan yang sanggup mengarahkan dirinya kepada kondisi apapun. "𝑴𝒂𝒔, 𝒔𝒂𝒚𝒂 𝒃𝒖𝒌𝒂𝒏 𝒋𝒖𝒂𝒍𝒂𝒏 𝒑𝒊𝒔𝒂𝒏𝒈 𝒈𝒐𝒓𝒆𝒏𝒈 𝒍𝒉𝒐" aku Wak Diro, "𝑺𝒂𝒚𝒂 𝒊𝒏𝒊 𝒔𝒆𝒅𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒆𝒎𝒃𝒂𝒏𝒕𝒖 𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈-𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒂𝒈𝒂𝒓 𝒃𝒊𝒔𝒂 𝒃𝒆𝒓𝒊𝒃𝒂𝒅𝒂𝒉 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒃𝒂𝒊𝒌".
"𝑺𝒂𝒚𝒂 𝒊𝒏𝒊 𝒔𝒆𝒏𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒆𝒎𝒃𝒂𝒏𝒕𝒖 𝒃𝒂𝒏𝒚𝒂𝒌 𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒈𝒂𝒏𝒋𝒂𝒍 𝒑𝒆𝒓𝒖𝒕𝒏𝒚𝒂 𝒂𝒈𝒂𝒓 𝒊𝒃𝒂𝒅𝒂𝒉 𝒔𝒉𝒂𝒍𝒂𝒕 𝑨𝒔𝒉𝒂𝒓 𝒅𝒂𝒏 𝑴𝒂𝒈𝒉𝒓𝒊𝒃-𝒏𝒚𝒂 𝒃𝒆𝒓𝒋𝒂𝒍𝒂𝒏 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒃𝒂𝒊𝒌, 𝒌𝒂𝒓𝒆𝒏𝒂 𝒋𝒂𝒎 𝒎𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒎𝒂𝒍𝒂𝒎 𝒃𝒊𝒂𝒔𝒂𝒏𝒚𝒂 𝒔𝒆𝒕𝒆𝒍𝒂𝒉 𝑺𝒉𝒂𝒍𝒂𝒕 𝑰𝒔𝒚𝒂" terang Wak Diro.
Saya mulai memahami apa maksud kalimat Wak Diro sebelumnya, "𝑼𝒂𝒏𝒈 𝒃𝒂𝒈𝒊 𝒔𝒂𝒚𝒂 𝒉𝒂𝒏𝒚𝒂𝒍𝒂𝒉 𝒔𝒆𝒌𝒂𝒅𝒂𝒓 𝒃𝒐𝒏𝒖𝒔 𝒂𝒕𝒂𝒔 𝒑𝒆𝒏𝒄𝒂𝒓𝒊𝒂𝒏 𝒅𝒂𝒏 𝒑𝒆𝒏𝒈𝒂𝒃𝒅𝒊𝒂𝒏 𝒔𝒂𝒚𝒂 𝒌𝒆 𝑮𝒖𝒔𝒕𝒊 𝑨𝒍𝒍𝒂𝒉".
Kini saya paham, mengapa ia begitu ramah menyambut tamu-tamunya, kualitas gorengan tetap terjaga baik ukuran maupun takarannya dan ruangan kedai ini tetap terjaga kebersihannya. Jelas bukan karena sekadar mencari uang, tetapi Wak Diro sedang beribadah. Mencari keridhaan Tuhan.
Wak Diro sudah menemukan kunci dasar sukses bisnis. la tidak sekadar menjual jajanan, ia muncul dengan alasan yang lebih mulia. Pisang goreng hanya media mendapatkan ridha Sang Khalik. semua bentuk kerja dan bisnis dikerjakannya dengan menghadirkan batin, tulus dan ikhlas.[]
Dari buku
"Manusia Pembelajar Adalah Manusia Sukses"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar