Dengan modal Rp. 10 juta dari tabungan ditambah modal immaterial yang lebih besar yaitu doa disetiap shalat tahajud dan dhuha, Zul bersama isterinya menyambangi pemilik rumah yang bertuliskan "DIJUAL"
Setelah mengucap salam yang dijawab pemiliknya, Zul mencoba bertanya
"Boleh tahu dijual berapa Bu?"
"Mintanya Rp 400 juta Dik. Berminat ya?"
"Insya Allah, Bu," jawab Zul dengan nada ngambang, demi mendengar harga yang baginya hampir tak terjangkau.
"Baik Bu, nanti kami kabari lagi setelah musyawarah. Doakan saya ya Bu, kami permisi dulu," kata Zul.
"Oya baik kalau begitu, segera kabari ya," ujar empunya rumah.
Melenggang dari rumah yang dibidik, Zul dan istri saling berpandangan. Pasangan ini merasa nelangsa, mengingat betapa jauh modal Rp 10 juta untuk dapat membeli rumah idaman. Masya Allah, Rp 400 juta! Duit semua itu, nggak campur daun.
Namun, dengan dzikir, Zul kembali percaya diri. "Rp 400 juta itu tidak ada apa-apanya dibanding kebesaran Allah SWT. Dan kalau Allah sudah berkehendak, Rp 10 juta pun bukan mustahil dapat menebus Rp 400 juta," batin Zul yakin.
Dengan keyakinan itu, Zul mengajak istrinya untuk lebih getol mendekatkan diri kepada Allah SWT. Doa dan wirid khusus untuk dapat memiliki rumah itu pun dikencangkan.
Suatu hari, usai sholat dhuha, Zul dan istri sedang bercengkerama di kontrakannya. Ini hari libur, jadi pagi-pagi Zul bisa berada di rumah menemani sang istri.
Tiba-tiba, muncul uwak Zul yang sudah lama tak bersua.
"Assalamualaikum. Eh, Zul, kamu punya uang Rp 10 juta nggak? Penting nih!" kata uwak to the point.
"Emang kenapa Pak Dhe?"
"Sudahlah, ceritanya nanti aja. Kamu ada nggak Rp 10 juta buat saya pakai dulu?" ujar Pak Dhe dengan panik.
"Ada, ada Pak Dhe," jawab Zul dan istri kompak.
Zul bergegas ke kamarnya dan membongkar uang simpanan sebesar Rp 10 juta tunai di lemari.
"Ini Pak Dhe," kata Zul sambil mengangsurkan uang tersebut, yang segera diterima dan langsung pamit
Sepeninggal Pak Dhe, Zul dan istri saling berpandangan memelas. Seperti mimpi, mereka melepas begitu saja Rp 10 juta yang sedianya buat uang muka rumah.
"Ya sudahlah, mungkin Allah punya kehendak lain.Takdirnya uang itu memang untuk membantu Pak Dhe, bukan untuk membeli rumah kita. Serahkan saja ke Allah gimana soal rumah kita nanti," Zul menghibur diri dan istri tercintanya
Subhanallah, keikhlasan Zul dan istrinya tentang uang 10 juta tadi seolah justru menjadi energi baru buat keluarga ini agar semakin dekat dengan Allah, agar semakin mengharap hanya kepada Allah. Keinginan untuk bisa membeli rumah tetap menjadi doa agar Allah yang menyempurnakan keinginannya.
Setelah beberapa minggu, datang lagi uwaknya dengan wajah yang sudah tidak segelisah kemarin.
"Pripun Pak Dhe, sudah cerah nih?"
"Iya, alhamdulillah. Makasih ya kemarin sudah dibantu.
Kalau nggak, wah, bisa-bisa Pak Dhe masuk penjara."
"Emang kenapa Pak Dhe?"
Uwaknya lalu bercerita bahwa saat itu ia dikejar-kejar utang, sampai mau dilaporkan ke polisi.
"Alhamdulillah sekarang sudah beres. Terima kasih ya Zul udah bantu Pak Dhe," ungkap uwak Zul.
"Sama-sama Pak Dhe, kan memang kita hidup untuk saling menolong."
Sejurus kemudian, tanpa ditagih Pak Dhe berkata, "Zul, Pak Dhe belum punya uang untuk ngembaliin yang kemarin. Tapi Pak Dhe punya rumah tua dan cukup besar, tolong rumah itu jualin ya, kali aja ada teman yang mau beli. Kalau laku nanti langsung saya kembalikan uangmu," tutur Pak Dhe.
"O gitu, nggih Pak Dhe, siap, nanti kalau ada yang berminat saya bantu jual," jawab Zul sigap.
Namun dalam hati, Zul agak pesimis rumah tua akan cepat terjual. Karena itu, ia belum merasa perlu bertanya berapa harganya, berapa ukuran luas tanah dan bangunan. Yang penting, Zul tahu dulu lokasinya di mana. Kalau ada yang minat, barulah ia pertemukan dengan uwaknya.
Beberapa hari kemudian, sahabat Zul yang sudah lama nggak ketemu, menelponnya dari Jakarta.
"Zul, apa kabar?" serunya di ujung sambungan ponsel. "Alhamdulillah, baik. Antum gitu juga kan?" balas Zul. "Iya, alhamdulillah, udah lama kita nggak ketemu nih"
Rupanya teman Zul ini sudah bosan tinggal di Jakarta dan berniat pindah ke Solo. Untuk itu ia minta tolong Zul mencarikan rumah untuk dibeli
"Boleh kalau gitu, nanti saya carikan. Kapan ke Solo?"
"Minggu depan jadi"
"Oke, saya tunggu ya."
Pekan berikutnya, sesuai janji, sahabat lama itu datang ke Solo untuk berburu rumah. Sebelumnya, Zul sudah punya beberapa tawaran, termasuk coba menunjukkan rumah tua milik uwaknya.
"Sudah dapat rumah yang mau dijual Zul?" tanya sahabat dari Jakarta dengan bersemangat.
"Ada dua-tiga pilihan, nanti kita survey aja," sahut Zul.
Kawan Zul yang pengusaha itu girang. la kelahiran Solo, namun katanya keluarganya sudah hijrah semua. Makanya minta bantuan Zul mencari rumah.
Mereka lalu melihat-lihat rumah yang akan dijual tersebut, dengan kriteria sesuai pesanan. Zul mengantarkan ke tiga rumah bercorak minimalis yang berlainan lokasinya. Namun, ia sengaja tidak menunjukkan rumah tua uwaknya. Zul pikir, sahabatnya nggak bakalan suka rumah tua alias rumah kuno.
Rupanya kawan Zul ini mencari rumah yang natural bangunan tradisional
"O gitu. Coba kita lihat nanti, ada rumah seperti itu yang mau dijual. Tapi, saya nggak yakin kamu mau."
"Boleh, coba kita sekalian."
Selesai melepas kangen menikmati jajanan khas Solo, sahabat Zul mengajak jalan. Rumah tua uwak Zul mereka sambangi.
"Ini rumahnya," ujar Zul ragu-ragu begitu tiba di halaman rumah tua tersebut. Rumah itu model kuno, sudah tua,kurang terawat. Kesannya angker.
Di luar dugaan Zul, sahabatnya itu seperti terpesona melihatnya. Tampak ia memperhatikan betul setiap sudut hunian tersebut.
Sejurus kemudian, setelah melihat seputar rumah, ia berkata, "Zul, ini dia rumah yang saya cari. Yang begini ini yang saya suka. Oke, saya cocok yang ini."
Zul terkejut. "Yakin? Malah yang begini yang kamu mau. Terus terang, saya tadinya nggak mau nawarin ini karena takut kamunya nggak mau. Eee, malah mau yang ini ya?"
"Tapi ya begitu kondisinya. Kalau minat, saya pertemukan dengan yang punya rumah ini," kata Zul. "Kebetulan yang punya Pak Dhe saya," imbuhnya.
"Soal harga nanti langsung rembugan saja dengan beliau. Saya cuma membantu menjualkan"
"Di mana rumah beliau?"
"Ya, sejam perjalanan dari sinilah. Nanti malam bisa ketemu beliau."
"Wah, saya harus segera balik ke Jakarta Zul. Biasa, ada urusan bisnis sedikit," jawab kawannya sambil melihat jam tangan.
"Atau begini saja," kata Zul. "Kira-kira berapa harga taksiranmu untuk rumah ini, nanti saya kontak ke Pak Dhe."
"Mmmm, budget saya sampai Rp 750 juta, Zul. Bersih ya, sudah termasuk biaya balik nama sertifikat dan lain-lain," kata sahabat Zul.
"Ok, sebentar, saya kontak beliau," kata Zul, lalu menelepon Pak Dhe.
"Pak Dhe, rumahnya dijual berapa? Teman saya ada yang mau nih, boleh nggak Rp 750 juta bersih katanya?" kata Zul setelah tersambung dengan uwaknya
"Wis Zul, Pak Dhe perlu Rp 500 juta aja termasuk biaya surat-menyuratnya, kalau ada lebihnya silahkan buat Zul," jawab Pak Dhe di ujung sinyal.
"Alhamdulillah, jadi boleh ya Pak Dhe?" Zul girang.
"Iyo, iyo," jawab Pak Dhe.
Zul lalu menyampaikan apa adanya hasil pembicaraan mereka ke sahabatnya.
"Ok Zul, sahabatku, Saya akan tetap membayar rumah ini Rp 750 juta. Silakan yang Rp 500 juta buat Pak Dhe mu. Sisanya memang sudah rezekimu," kata dia kepada Zul.
Zul terpana. Seperti mimpi, memperoleh rezeki yang tak disangka-sangka. Ini to yang disebut ar rizqu minhaitsu laa yah tasib (Rizqi yang datang tak disangka-sangka)
Dengan modal 250 juta rupiah, Zul mengajak istrinya untuk menanyakan lagi rumah yang dijual Rp 400 juta tempo hari. Alhamdulillah, rumah dimaksud masih ada tulisan "DIJUAL". Masih ada harapan untuk mendapatkannya, kalau memang rezeki.
"Bu, rumah masih dijual kan?" kata Zul setelah bertemu pemilik rumah.
"Ya, masih. Ini malah pengennya buru-buru dijual, soalnya mau dibagi ke anak-anak," tutur ibu itu.
"Oh begitu ya. Bu, saya sekarang punya uang Rp 250 juta. Tapi yang 50 juta mau buat beli perabotan. Boleh nggak rumah ini saya beli Rp 200 juta?" tawar Zul.
Setelah saling bercerita kondisi, kebutuhan, dan kemampuan masing-masing, akhirnya si ibu menyerah juga.
"Ya sudahlah, karena saya butuh buru-buru, Pak Zul juga butuh rumah, yo wis nggak apa-apa saya lepas Rp 200 juta. Tapi cash bersih ya, sebab saya mau segera pindah rumah," katanya.
"Alhamdulillah, ya Bu, langsung cash nih, uangnya saya bawa kok. Saya sudah optimis rumah ini jadi rezeki kami," sambut Zul dengan gembira.
"O begitu, ya syukurlah. Nanti administrasi diurus sendiri ya, saya siapkan dokumennya," kata si ibu.
Masya Allah, hari itu terjadilah transaksi jual-beli rumah yang tadinya bernilai Rp 400 juta, namun akhirnya disepakati pada harga Rp 200 juta saja.
Subhanallah. Allah yang Maha Mengatur semua urusan. Dunia ini ada dalam genggaman Allah sehingga apapun yang menjadi doa, yang menjadi cita-cita hamba-Nya yang percaya, maka Allah begitu mudah mengabulkannya. Allah begitu mudah mengaturnya, mengondisikannya, sehingga kalau sudah rezeki hendak kemana.
Sepertinya kebetulan, ketika Zul mendapat "komisi" Rp 250 juta dari penjualan rumah seharga Rp 500 juta, lalu mendapat diskon Rp 200 juta dari pembelian rumah seharga Rp 400 juta.
Tapi dalam kehidupan ini, tidak ada yang namanya kebetulan. Meskipun jalan ceritanya seolah tidak masuk akal, seperti pengalaman Zul. Semua peristiwa dalam kehidupan ini dalam kuasa dan kehendak-Nya. Kalau Allah sudah bilang Kun Fayakuun, maka jadilah apa yang menurut manusia tidak mungkin terjadi.
Tentu saja, syarat dan ketentuan berlaku. Tanpa amalan yang menggetarkan perasaan, tanpa riyadhoh yang kencang, mana mungkin Zul mendapat keajaiban tersebut.[]
Dari buku
CATATAN SEJUTA KEAJAIBAN