Selasa, 16 Mei 2023

EMPAT ORANG PRIA ASING

 

"𝐇𝐚𝐫𝐦𝐨𝐧𝐢 𝐚𝐝𝐚𝐥𝐚𝐡 𝐤𝐞𝐬𝐞𝐢𝐦𝐛𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐢𝐧𝐝𝐚𝐡 𝐚𝐧𝐭𝐚𝐫𝐚 𝐩𝐢𝐤𝐢𝐫𝐚𝐧, 𝐭𝐮𝐛𝐮𝐡, 𝐝𝐚𝐧 𝐣𝐢𝐰𝐚 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐝𝐢𝐮𝐤𝐮𝐫 𝐝𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐬𝐚𝐚𝐭-𝐬𝐚𝐚𝐭 𝐝𝐚𝐦𝐚𝐢 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐥𝐞𝐦𝐛𝐮𝐭."

(Melanie Koulouris)

Suatu saat ada empat orang pria asing berteduh di sebuah rumah petani. 

Melihat empat pria kedinginan, anak perempuan petani itu mengundang masuk mereka.

"Terimakasih" jawab seorang dari mereka, "Tapi kami akan masuk setelah keluarga kalian memutuskan siapa diantara kami yang diundang. Kalau kalian mengundang seorang yang tepat dari kami, maka kami akan masuk semuanya. Namun kalau kalian mengundang orang yang tidak tepat, hanya satu orang yang bisa masuk ke rumah kalian"

Tak lama kemudian petani itu tiba di rumah, dan anak perempuannya menyampaikan pesan empat orang misterius yang masing-masing bernama: Kekayaan, Kesuksesan, Kedamaian dan Keharmonisan.

"Baiklah" kata petani kemudian, "Selama ini aku bekerja dengan keras, mengumpulkan harta siang malam semua itu agar kita memperoleh kekayaan. Sekarang itu sudah ada didepan kita. Persilakan Kekayaan untuk masuk ke rumah"

"Tunggu!", kata isteri petani, "apa artinya kekayaan tanpa ada kesuksesan. Aku lebih memilih kesuksesan. Panggil dia masuk!"

"Bapak dan Ibu" kembali anak perempuan berkata, "Rupanya kekayaan dan kesuksesan telah menimbulkan perselisihan didalam rumah. Tidak ada kedamaian dengan kekayaan dan kesuksesan. Aku lebih suka mengundang kedamaian untuk masuk ke rumah"

Kembali tiga orang berselisih untuk menentukan siapa yang berhak masuk kedalam rumah.

Akhirnya anak laki-laki mereka berkata, "Dari semua hal yang kuinginkan dirumah kita adalah adanya keharmonisan".

Mereka terdiam dan berpikir...

"Kamu benar Nak, keharmonisan adalah yang utama"

Jadi mereka mengundang Keharmonisan lebih dahulu ke dalam rumah. Ketika Keharmonisan masuk, ia mengatakan kepada mereka bahwa mereka telah membuat pilihan yang benar. Sebab saat Keharmonisan memasuki rumah, maka yang mengikuti berikutnya adalah Kedamaian, dan dengan Kedamaian Anda akan menemukan Kesuksesan, dan dengan Kesuksesan Anda juga akan menemukan Kekayaan.

Jadi prioritas utama dalam kehidupan dan hubungan adalah keharmonisan. Jika tidak, tiga lainnya tidak akan masuk.[]

"𝑲𝒆𝒃𝒂𝒉𝒂𝒈𝒊𝒂𝒂𝒏 𝒃𝒖𝒌𝒂𝒏𝒍𝒂𝒉 𝒎𝒂𝒔𝒂𝒍𝒂𝒉 𝒊𝒏𝒕𝒆𝒏𝒔𝒊𝒕𝒂𝒔, 𝒕𝒆𝒕𝒂𝒑𝒊 𝒕𝒆𝒏𝒕𝒂𝒏𝒈 𝒌𝒆𝒔𝒆𝒊𝒎𝒃𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏, 𝒌𝒆𝒕𝒆𝒓𝒂𝒕𝒖𝒓𝒂𝒏, 𝒓𝒊𝒕𝒎𝒆, 𝒅𝒂𝒏 𝒉𝒂𝒓𝒎𝒐𝒏𝒊."

(Thomas Merton)


Dari buku

"SI CACING DAN KOTORAN KESAYANGANNYA 3!"

Minggu, 14 Mei 2023

MOMENTUM YEN JINGCHANG

"𝗠𝗮𝘀𝗮 𝗱𝗲𝗽𝗮𝗻 𝘁𝗲𝗿𝗴𝗮𝗻𝘁𝘂𝗻𝗴 𝗽𝗮𝗱𝗮 𝗮𝗽𝗮 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗸𝗮𝗺𝘂 𝗹𝗮𝗸𝘂𝗸𝗮𝗻 𝗵𝗮𝗿𝗶 𝗶𝗻𝗶"

(Mahatma Gandhi)

Program 'Yuejin' (lompatan jauh ke depan) yang dicanangkan Mao Zedong pada tahun 1950 an ternyata tidak membawa hasil. 

Dengan mengesampingkan sektor pertanian China mengejar ketinggalannya dengan memacu sektor industri.

Dan akibatnya adalah lahan pertanian terbengkalai, kebutuhan pangan tersendat yang lalu berbuntut dengan Revolusi Budaya.

Sampai tahun 1978, tak banyak orang yang mengenal Yen Jingchang, karena dia memang hanya seorang petani ingusan berusia 18 tahun dari dusun Xiao Gang, provinsi Anhui Timur. Hanya ada 20 rumah reyot di dusun yang miskin itu, dengan mayoritas penduduknya menjadi pengemis yang terancam mati kelaparan pula. Tak sedikit yang harus menjual bayinya untuk menyambung hidup keluarga.

Pertanian kolektif yang tidak mengakui kepemilikan lahan pribadi dan kesejahteraan yang diatur negara menjadikan rakyat hanya tahu bekerja dan bekerja sambil memberi setoran atas jerih payahnya pada negara.

Dalam kondisi seperti itu, Yen Jingchang lalu mengkoordinir para petani untuk mengakali sistem tersebut. Dia memperkenalkan sistem 'Da Bao Gan' kepada 18 orang tetangganya.Dengan 'Da Bao Gan' mereka sepakat membagi-bagi lahan kolektif tersebut pada masing-masing keluarga. Hasilnya sebagian diserahkan pada negara dan sebagian lagi mereka makan sendiri. Tentu saja hal tersebut dilakukan secara rahasia, hingga mereka sampai membuat perjanjian bahwa bila ada salah seorang mereka yang dihukum mati, maka anaknya menjadi tanggung jawab bersama hingga berusia 18 tahun. Surat perjanjian itu mereka tandatangani dan disembunyikan di atas loteng rumah Yen Jingchang.


Namun faktanya, bekerja dengan rasa memiliki sangat berbeda dengan bekerja hanya sekadar menjalankan tugas saja. Dengan adanya rasa memiliki itulah, maka Yen Jingchang dan petani dikampungnya bekerja dengan penuh semangat.

Sistem 'Da Bao Gan' yang diterapkan oleh Yen Jingchang ternyata diadopsi oleh Deng Xiaoping, yang menggantikan Mao Zedong, menjadi kebijakan resmi negara. Dan momentum ini menjadi China menjadi Negara Agraris yang besar dan maju.


Momentum.....

Pada mekanika Newton dikenal besaran yang berbanding lurus dengan massa dan kecepatan. Besaran itu dikenal dengan nama Momentum yang dirumuskan dengan:

𝑷 = 𝒎.𝒗

𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏: 𝑷= 𝒎𝒐𝒎𝒆𝒏𝒕𝒖𝒎

             𝒎= 𝒎𝒂𝒔𝒔𝒂

              𝒗= 𝒌𝒆𝒄𝒆𝒑𝒂𝒕𝒂𝒏


Itulah yang terjadi pada Yen Jingchang dan sistem "Da Bao Gan" nya.

Deng Xiaoping dengan programnya 'Gaige Kaifang' (reformasi dan keterbukaan) yang melibatkan massa yang besar (m), dengan kecepatan ekonomi yang tinggi (v) membuat China mempunyai momentum yang besar (P) dalam percaturan ekonomi dunia.[]

"𝐏𝐫𝐨𝐝𝐮𝐤𝐭𝐢𝐯𝐢𝐭𝐚𝐬 𝐚𝐝𝐚𝐥𝐚𝐡 𝐦𝐚𝐦𝐩𝐮 𝐦𝐞𝐥𝐚𝐤𝐮𝐤𝐚𝐧 𝐡𝐚𝐥-𝐡𝐚𝐥 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐬𝐞𝐛𝐞𝐥𝐮𝐦𝐧𝐲𝐚 𝐭𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐝𝐚𝐩𝐚𝐭 𝐤𝐚𝐦𝐮 𝐥𝐚𝐤𝐮𝐤𝐚𝐧"

(Franz Kafka)


Dari buku

"SAINSPIRASI. Inspirasi Kehidupan Berdasarkan Fenomena Sains"



Senin, 08 Mei 2023

SALAH ITU TIDAK APA-APA



“𝘗𝘦𝘯𝘥𝘪𝘥𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘬𝘦𝘮𝘢𝘮𝘱𝘶𝘢𝘯 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘮𝘦𝘯𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘳𝘬𝘢𝘯 𝘩𝘢𝘮𝘱𝘪𝘳 𝘴𝘦𝘮𝘶𝘢 𝘩𝘢𝘭 𝘵𝘢𝘯𝘱𝘢 𝘬𝘦𝘩𝘪𝘭𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘴𝘢𝘣𝘢𝘳𝘢𝘯 𝘢𝘵𝘢𝘶 𝘬𝘦𝘱𝘦𝘳𝘤𝘢𝘺𝘢𝘢𝘯 𝘥𝘪𝘳𝘪.”

(Robert Frost)


Garis bilangan yang kugambar di papan tulis sudah mulai terhapus di sana sini setelah tadi kami asyik bermain lompat angka untuk praktek penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat. Anak-anak kelas 6 begitu antusias ketika kupandu mengerjakan operasi hitung bilangan negatif pada pertemuan pertama ini.

Semula kelas menjadi riuh saat menghitung lompatan dan arah pada garis bilangan untuk mencari hasil 3 dikurangi 7.

"Jadi, kalau katong lompat 7 kali ke arah kiri, berhenti di angka berapa?"

"Nebfatif empat, Ibuu!" (nampaknya saya perlu waktu untuk mengajarkan kata "negati")

Sayangnya keriuhan itu mendadak surut ketika aku menantang anak-anak untuk mengerjakan soal di depan kelas.

Satu, dua, tiga, ..., sembilan. Aku berhitung dalam hati. Hmmm .... Semakin banyak kepala yang tertunduk rupanya. Kupandangi angka yang berderet di bawah garis bilangan.

4-6 = ....

Rasanya soal tersebut tak terlalu sulit. Toh, sebelum ini kami sudah mengerjakan beberapa contoh soal bersama-sama.

"Ayo, katong (kita) coba jawab sama-sama, ya, ..., " kembali kurayu mereka.

"Salah itu seng (tidak) apa-apa. Ibu seng akan pukul katong. Kalau seng tau, nanti Ibu bantu."

Ah! Tiba-tiba mereka mengangkat wajah dan menatapku! Sebagian tampak mengernyitkan dahinya. Sebagian lagi saling berpandangan dengan teman sebangkunya.

Lima detik, sepuluh detik. Nihil. Tetap saja tidak ada yang mengangkat tangannya.

Aku sedang menghela napas kecewa. Namun, seketika kulihat sebuah jari mungil teracung dari barisan tengah.

"Ya?"tanyaku.

"Ibu, beta mau coba kerjakan soal," ucapnya lirih.

Aku terkesiap. Kusorongkan spidol hitam ke tangannya yang agak gemetar. Dengan ragu ia menggoreskan spidolnya di bawah angka 4, membuat garis lengkung ke kiri. "Satu, dua, tiga, empat, lima, enam." la menghitung dengan lirih. Enam garis lengkung dan berhenti di angka -3.

4-6 =- 3

Ia menatapku penuh harap.

Di belakang, anak-anak sudah riuh. Rupanya mereka menyadari garis lengkungnya kurang tepat sehingga berhenti di angka yang salah.

"Ha, jawabannya salah! Mati ose! Dapat pukul itu!"

Bisikan provokatif mulai muncul dari belakang, satu demi satu, sampai-sampai raut muka si anak pemberani ini mulai kecut. la pun tertunduk.

"Salah itu seng apa-apa. Katong belajar sama-sama supaya bisa to," ujarku sambil tersenyum dan menepuk pundaknya pelan, memberikan suntikan kepercayaan diri kepadanya.


Kupegang tangannya, lalu kutuntun perlahan-lahan, membuat lengkungan dari 1 angka ke angka yang lain. Satu demi satu, sampai angka -2. Senyum mulai mengembang di bibir mungilnya.

"Bet su tau, Ibu!" (saya sudah tahu, Ibu) serunya riang.

Kutantang ia mengerjakan satu soal lagi.

7-8= ....

Hanya beberapa detik yang ia butuhkan untuk membuat lengkungan dan menggoreskan angka -1 di sebelah tanda "sama dengan".

"Bisa?" tanyaku sambil tersenyum.

"Bisa, Ibu!" ucapnya sambil tertawa lebar dan kembali ke tempat duduknya. Kepalanya tidak lagi tertunduk. Tepuk tangan riuh dari seisi kelas jadi bonus untuknya yang berani maju ke depan dan mengerjakan soal.[]


(Dikisahkan oleh Matilda Narulita, Pengajar Muda Maluku Tenggara Barat dalam buku "Indonesia Mengajar 2. Kisah Para Penyala Harapan Bangsa Mengajar di Pelosok Tanah Air)

AMBIL ATAU TIDAK?


"𝙺𝚎𝚜𝚎𝚖𝚙𝚊𝚝𝚊𝚗 𝚎𝚖𝚊𝚜 𝚋𝚎𝚛𝚜𝚎𝚖𝚋𝚞𝚗𝚢𝚒 𝚍𝚒 𝚜𝚎𝚝𝚒𝚊𝚙 𝚜𝚞𝚍𝚞𝚝, 𝚖𝚎𝚗𝚞𝚗𝚐𝚐𝚞 𝚘𝚛𝚊𝚗𝚐 𝚋𝚎𝚛𝚒𝚗𝚒𝚜𝚒𝚊𝚝𝚒𝚏 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚑𝚊𝚖𝚙𝚒𝚛𝚒 𝚍𝚊𝚗 𝚖𝚎𝚗𝚎𝚖𝚞𝚔𝚊𝚗𝚗𝚢𝚊."

Begitu masuk kelas dan para murid sudah duduk dengan tertib, guru itu mengambil selembar kertas polos kemudian menggunting-guntingnya menjadi beberapa bagian. Ada guntingan besar ada juga yang kecil. Tapi jumlahnya sengaja dibuat buat tak sama dengan jumlah siswa dalam kelas itu, yaitu duapuluh anak.

Kemudian guru itu meminta kepada siswa untuk mengambil masing-masing satu guntingan kertas yang tersedia di meja depan. "Silakan ambil satu!" demikian instruksi yang dia berikan berikan.

Dapat diduga, ada yang antusias maju dengan gerak cepat dan mengambil bagiannya, ada yang berjalan santai, ada juga yang meminta bantuan temannya untuk mengambilkan. Dua tiga orang bahkan terlihat bermalasan untuk mengambil, mereka berpikir toh semuanya kebagian guntingan kertas tersebut.

Hasilnya? 

Empat orang terakhir tak mendapatkan guntingan kertas. Delapan orang pertama ke depan mendapatkan guntingan besar-besar, yang berjalan santai dan yang meminta diambilkan harus rela mendapatkan yang kecil.

Guru itu lalu menyuruh semua untuk duduk. Lalu dia katakan kepada para siswa, "inilah hidup. Akan terdapat pilihan dimana kalian harus mengambil kesempatan yang tersedia atau akan kehilangan kesempatan itu. Jika kalian tak melakukannya, akan banyak orang lain yang melakukannya".[]

"𝐊𝐞𝐛𝐢𝐦𝐛𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐤𝐢𝐭𝐚 𝐚𝐝𝐚𝐥𝐚𝐡 𝐩𝐞𝐧𝐠𝐤𝐡𝐢𝐚𝐧𝐚𝐭 𝐤𝐢𝐭𝐚 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐬𝐞𝐫𝐢𝐧𝐠 𝐤𝐚𝐥𝐢 𝐦𝐞𝐦𝐛𝐮𝐚𝐭 𝐤𝐢𝐭𝐚 𝐤𝐞𝐡𝐢𝐥𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐩𝐞𝐥𝐮𝐚𝐧𝐠 𝐦𝐞𝐧𝐚𝐧𝐠 𝐤𝐚𝐫𝐞𝐧𝐚 𝐭𝐚𝐤𝐮𝐭 𝐦𝐞𝐧𝐜𝐨𝐛𝐚𝐧𝐲𝐚"

(Stephen Cobey)


Dari buku

"BERGURU PADA KEHIDUPAN" Menuntun Anda Hidup Bahagia dan Bermakna

Sabtu, 06 Mei 2023

SANDAL JAPIT AMINA

 

"𝑩𝒆𝒍𝒖𝒎 𝒂𝒅𝒂 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒆𝒏𝒚𝒂𝒅𝒂𝒓𝒊 𝒌𝒆𝒌𝒂𝒚𝒂𝒂𝒏 𝒔𝒊𝒎𝒑𝒂𝒕𝒊, 𝒌𝒆𝒃𝒂𝒊𝒌𝒂𝒏 𝒅𝒂𝒏 𝒌𝒆𝒎𝒖𝒓𝒂𝒉𝒂𝒏 𝒉𝒂𝒕𝒊 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒕𝒆𝒓𝒔𝒆𝒎𝒃𝒖𝒏𝒚𝒊 𝒅𝒂𝒍𝒂𝒎 𝒋𝒊𝒘𝒂 𝒔𝒆𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒂𝒏𝒂𝒌. 𝑼𝒑𝒂𝒚𝒂 𝒅𝒂𝒓𝒊 𝒔𝒆𝒕𝒊𝒂𝒑 𝒑𝒆𝒏𝒅𝒊𝒅𝒊𝒌𝒂𝒏 𝒔𝒆𝒋𝒂𝒕𝒊 𝒉𝒂𝒓𝒖𝒔𝒍𝒂𝒉 𝒎𝒆𝒎𝒃𝒖𝒌𝒂 𝒉𝒂𝒓𝒕𝒂 𝒌𝒂𝒓𝒖𝒏 𝒊𝒕𝒖."

(Emma Goldman)


Adalah gadis kecil bernama Amina. Dia siswa kelas 4 SD di sekolah tempatku mengajar. Amina memiliki rambut yang bergelombang dan berwarna kekuningan karena sering terpapar panas matahari. Rambut panjangnya yang terurai menutup hingga separuh bahunya itu jarang sekali dikucirnya dan selalu terlihat basah, meski sudah siang terik sekalipun. Kiranya dia lumuri dulu dengan minyak kelapa sebelum berangkat ke sekolah. Kulitnya gelap, tapi tak hitam. Wajahnya bulat dengan pipi gembung sehingga terlihat sangat lucu ketika tertawa. Postur Amina tidaklah berbeda dengan teman-teman sebayanya. Tingginya seperutku. Badannya tidak lebih gemuk dibanding anak seusianya.

Suatu siang yang terik, hawa panas mengisi ruangan 4x6 meter dimana aku mengajar. Ada yang berbeda pada siang ini. Ya, Amina tidak terlihat dari tadi pagi. Aku sudah berusaha mencari dan bertanya ke teman-temannya, tidak ada yang tahu. Setelah usai jam sekolah aku sempatkan bertanya kepada Pak Budi, guru agama di sekolahku.

"Entahlah, Pak Gatot, mungkin Amina ikut orangtuanya ke sawah," jawab Pak Budi.

Ini bukan kasus pertama siswa di sekolahku tidak hadir di sekolah. Hampir setiap hari selalu ada siswa yang tidak hadir. Apalagi, di bulan-bulan menanam dan memanen padi. Biasanya mereka dibawa oleh orangtua mereka untuk membantu bekerja di sawah. Ada juga yang dibawa untuk menjaga dan mengajak adiknya bermain sewaktu kedua orangtua bekerja di sawah.


Sepanjang hari aku bertanya-tanya dalam hati, apakah Amina memang dibawa ke sawah oleh orangtuanya?

Hingga dua hari berikutnya ketika Amina tidak juga hadir, maka kuputuskan untuk mengunjungi rumahnya besok. Sekadar mencari tahu apakah benar Amina dibawa ke sawah dan juga sekalian bermaksud mengajaknya kembali masuk sekolah. Namun, ternyata aku tak perlu ke rumah Amina. Sorenya secara tak sengaja aku bertemu dengannya saat dia lewat di depan sekolah ketika aku memberikan les tambahan.

"Ke mana saja Amina tidak datang ke sekolah selama tiga hari ini?" tanyaku seraya melipat halaman penanda batas pelajaran sore itu.


"Saya membantu Ibu jualan sayur, Pak," jawab Amina seraya tersenyum simpul.

"Emangnya membantu Ibu jam berapa saja? Masa seharian dari pagi sampai sore?" tanyaku lagi.

"Kalau pagi saya menjaga Adek, Pak, sorenya membantu jualan sayur."

"Begini saja, paginya Amina datang dulu ke sekolah, setelah pulang, baru Amina membantu menjaga Adek dan jualan. Bilang ke Ibu, pesan dari Pak Gatot kalau Amina harus datang setiap hari ke sekolah biar tidak ketinggalan pelajaran," kataku lagi.

"lya, Pak. Besok saya akan datang lagi ke sekolah," jawab Amina seraya berpamitan, kembali berjalan menuju warung Kak Nur di depan sekolah.


Satu hal lagi tentang Amina adalah dia selalu memakai sandal ke sekolah. Hal ini pula yang membuatnya beberapa kali dimarahi oleh beberapa orang guru yang terkenal sangat killer di sekolahku. Pernah kutanya mengapa dia tidak memakai sepatu. Dia hanya tersenyum, lalu tertawa lepas seperti mengabaikan pertanyaanku. Kemudian, pelan dia menjawab bahwa dia tidak punya sepatu. Aku hanya bisa tersenyum sambil memperhatikan dia yang berlalu meninggalkanku. Biarlah Amina memakai sandal jepitnya. Hal itu tidak akan membedakan dia dengan anak yang memakai sepatu. Toh, yang penting dia bisa tetap menginjak kelas yang sama dengan perlakuan yang sama. Dan tak kalah pentingnya dengan sandal jepit di kaki kecilnya itu, sering membawanya maju ke depan kelas menjawab atau menjelaskan pelajaran, berlari riang di lapangan, dan sandal itu pula yang mungkin dia bawa berkeliling kampung menjual sayuran membantu ibunya. Sandal itu seperti memiliki cerita sendiri yang tak terpisahkan dari Amina.

Pada saat Upacara bendera dimana Amina menjadi petugas pengibar bendera, alas kaki yang digunakan masih tetap sama. Tentu saja hal ini dijadikan contoh nasihat Pembina Upacara- yang kebetulan adalah Kepala Sekolah -kepada peserta upacara yang lain.  Kuperhatikan Amina menunduk diam di pinggir lapangan. Sesekali dia mendongakkan kepala ke atas lalu kembali menunduk. la seperti tersangka suatu kasus berat yang sedang menjalankan persidangan yang akan menentukan apakah dia akan bebas atau menerima hukuman dari kesalahannya-lebih tepatnya dari keterbatasannya.


Namun, itulah Amina. Tidak berapa lama setelah menjadi "tersangka", dia kembali berdiri dengan tatapan lurus dan tersenyum lebar, seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Baginya, dunia laksana cawan bahagia yang berisi penuh dengan air suka. Setiap saat ketika dia haus atau kelelahan, dia hanya tinggal menuangkan air tersebut, lalu meminumnya.[]


(Dikisahkan oleh Gatot Suarman, Pengajar Muda dari Kabupaten Bima dalam buku "Catatan Kecil Pengajar Muda", Setahun Mengajar, Seumur Hidup Menginspirasi)

MELEMPAR KOIN

 

"𝘋𝘪 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘩𝘢𝘵𝘪 𝘵𝘦𝘳𝘥𝘢𝘱𝘢𝘵 𝘨𝘢𝘨𝘢𝘴𝘢𝘯 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘢𝘱𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘢𝘪𝘬 𝘥𝘢𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘶𝘳𝘶𝘬. 𝘑𝘪𝘬𝘢 𝘈𝘯𝘥𝘢 𝘣𝘦𝘯𝘢𝘳-𝘣𝘦𝘯𝘢𝘳 𝘮𝘦𝘮𝘦𝘳𝘤𝘢𝘺𝘢𝘪 𝘢𝘱𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘢𝘥𝘢 𝘥𝘪 𝘩𝘢𝘵𝘪 𝘬𝘦𝘵𝘪𝘮𝘣𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘪 𝘬𝘢𝘵𝘢-𝘬𝘢𝘵𝘢, 𝘧𝘪𝘭𝘰𝘴𝘰𝘧𝘪, 𝘢𝘨𝘢𝘮𝘢, 𝘢𝘵𝘢𝘶 𝘭𝘰𝘨𝘪𝘬𝘢 𝘢𝘱𝘢 𝘱𝘶𝘯, 𝘣𝘪𝘢𝘴𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘩𝘢𝘴𝘪𝘭𝘯𝘺𝘢 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘫𝘢𝘶𝘩 𝘭𝘦𝘣𝘪𝘩 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘥𝘪𝘢𝘯𝘥𝘢𝘭𝘬𝘢𝘯"

Dengan uang yang terbatas, seorang ingin membeli makanan kesukaannya: ayam goreng atau ayam geprek. Ketika tidak bisa memutuskan, apa yang dia lakukan? Lempar koin! Kalau gambar: ayam goreng. Kalau angka: ayam geprek.


Ketika mereka melempar koin, yang keluar ternyata angka. ayam geprek! Emmm ... mengecewakan. Mereka lalu mencoba lagi, dengan beralasan bahwa kini makanan yang akan dipesan adalah yang keluar dua kali dari tiga kali lemparan.


Pernahkah Anda berbuat seperti ini? Nah, apa yang ditunjukkan aksi lempar koin ini adalah bahwa kita tak menginginkan ayam geprek. Kita ingin ayam goreng. Inilah salah satu hal terbaik mengenai lempar koin untuk membuat keputusan.

Dalam banyak kasus, lempar koin bukanlah cara untuk mengambil keputusan, melainkan cara untuk mengetahui apa yang benar-benar Anda inginkan. Cara ini menguak motivasi Anda, mengapa, dan apa yang Anda inginkan.


Jika Anda melempar koin dan keluar gambar, maka, "Yess!" Ini menunjukkan apa yang senantiasa ingin Anda lakukan sejak awal.

Namun jika Anda melempar koin dan jadi kecewa, itu menunjukkan apa yang tidak kita inginkan. Metode ini menunjukkan pengetahuan intuisi Anda mengenai apa yang terjadi dalam batin. 

Seringkali pula, intuisi Anda cukup akurat, jujur dan murni. Ketika Anda mulai masuk dalam pemikiran, pemikiran itu mulai memadamkan intuisi, sehingga apa yang mereka pikir itu logis, padahal sebenarnya belum tentu.[]


Dari buku

"SI CACING DAN KOTORAN KESAYANGANNYA 3!"

Selasa, 02 Mei 2023

SISWA BERNAMA RIJIN

 “𝚃𝚞𝚓𝚞𝚊𝚗 𝚙𝚎𝚗𝚍𝚒𝚍𝚒𝚔𝚊𝚗 𝚒𝚝𝚞 𝚞𝚗𝚝𝚞𝚔 𝚖𝚎𝚖𝚙𝚎𝚛𝚝𝚊𝚓𝚊𝚖 𝚔𝚎𝚌𝚎𝚛𝚍𝚊𝚜𝚊𝚗, 𝚖𝚎𝚖𝚙𝚎𝚛𝚔𝚞𝚔𝚞𝚑 𝚔𝚎𝚖𝚊𝚞𝚊𝚗 𝚜𝚎𝚛𝚝𝚊 𝚖𝚎𝚖𝚙𝚎𝚛𝚑𝚊𝚕𝚞𝚜 𝚙𝚎𝚛𝚊𝚜𝚊𝚊𝚗”

(Tan Malaka)


Pulang dari kantor Dinas Pendidikan pukul 18.00 saya mandi, salat, dan bersiap menjadi teman belajar anak-anak di rumah. Ada yang bertanya tentang materi sekolah, membaca komik Kuark, hingga belajar mengenal huruf. Belum lama kegiatan ini berlangsung, tiba-tiba saya dikagetkan dengan pemandangan dramatis. Rijin (6 tahun), cucu kepala dusun tiba-tiba datang, mendekatiku, kemudian menunjukkan luka di sekujur tubuhnya.tak P3K. Tiba-tiba, naluri saya sebagai "penggila dokumentasi" mulai beraksi. Harapannya agar bisa saya tunjukkan ke teman-teman jika kami berkumpul nantinya. Mereka harus tahu bagaimana kekerasan itu memang merajalela di sekitar kita. 


Tanpa ada perlawanan, ditambah dengan keheranan banyak mata, Rijin saya bawa masuk ke kamar. Saya meminta ia membuka baju sampai batas leher. Waw ... luka yang cukup hebat. Mungkin jika dilaporkan ke KPAI, masalah ini akan panjang buntutnya. Namun, KPAI dari Hongkong? Ini Halmahera, bukan Jakarta.

Saya mengobati lukanya dengan Revanol sebagai pembersih luka dan Betadine untuk obat luka baru yang saya ambil dari kota P3K. Rijin hanya diam dan menurut tiap kali saya membersihkan lukanya, padahal saya tahu ia sedang kesakitan. Luka baru seperti itu akan terasa perih ketika dibersihkan atau ditetesi Betadine. Namun, Rijin tak bereaksi apa-apa. Ekspresinya datar. Sepertinya, ia sudah terbiasa dengan kondisi seperti ini. Ya, Allah, anak sekecil ini diperlakukan sadis seperti ini oleh orang tuanya.


Tak hanya anak-anak yang sedang berkumpul dirumah yang berkomentar. Tiba-tiba mama piaraku (hostfam) mendatangi rumah orangtua Rijin dan memarahinya. 

Selesai mengobati semua luka Rijin, saya duduk dan mengajaknya berbicara. Saya bertanya kenapa ia bisa dipukuli, apa yang ia lakukan, ia dipukul dengan apa, kapan ia dipukuli, dan sebagainya. Ternyata, Rijin dipukuli orangtuanya karena membantah perkataan mereka tadi sore. Ia dipukul dengan batang pohon lemon berduri. Saat dipukuli, Rijin tak memakai baju. Saya tak bisa membayangkan bagaimana jeritan dan teriakan Rijin saat itu.


Malam makin larut, tetapi Rijin sepertinya tak ingin pulang. Ia tetap duduk tenang di sampingku.


Baru pada tengah malamnya, pukul 0.30 WIT, nenek Rijin datang untuk menjemputnya. Itu pun Rijin masih sempat menatap saya cukup lama, seolah-olah tidak mau meninggalkan saya. Saya hanya bisa memberinya senyum dan berpesan padanya untuk segera tidur kalau sudah sampai di rumahnya nanti. Selamat malam, Rijin ....


Esoknya, Sepulang Sekolah .... 

Seperti biasa, saya pulang dari sekolah pukul 13.00. Saya berjalan dengan sedikit tergesa. Selain panas bukan main, juga karena perut sudah meronta minta segera diisi. Sesampai di rumah, saya kaget, ternyata ada senyuman yang menyambut kedatangan saya di pojok teras rumah. Ya, itu adalah senyum Rijin. Berdasarkan informasi yang saya dapat dari orang rumah, Rijin telah menunggu sejak pukul 10.00 tadi. Allahu Rabbi ... benar juga, Rijin kelas 1, jam pelajarannya hanya sampai pukul 10.00.

Begitu melihat kedatangan saya, Rijin mendekat dan berucap, "Ibu .... " Hanya kata itu, satu kata dan tak lebih. Setelah itu, ia berlari ke arah rumahnya. Meskipun hanya satu kata, saya paham apa yang ingin dikatakan Rijin sebenarnya. Saya sempat melihat mata dan sunggingan senyumnya yang mampu menyiratkan banyak hal. Rijin mungkin inginmengucapkan terima kasih atau mungkin ingin agar saya mau berteman dengannya. Paling tidak, untuk sementara, saya anggap saya bisa menjadi pembelanya.


Esoknya, Pagi Hari ....


Apel pagi dimulai pukul 7.15, dan hampir setiap hari pula saya menjadi single fighter. Agar tidak terlambat, saya berangkat sebelum pukul 7.00 dari rumah, dan sampai di sekolah biasanya pukul 7.05. Sesampai di pintu masuk area sekolah, kembali saya dikejutkan dengan senyum yang sama. Senyum tulus anak "nakal nan malang" bernama Rijin. Ia menungguku di tempat itu. Dan, apa yang diucapkannya pun tak berubah. Hanya satu kata. "Ibu .... " Namun, kali ini ia tak langsung berlari seperti kemarin. Rijin menggenggam tanganku dan mengajakku segera masuk ke sekolah. Saya hanya bisa melongo tanpa bisa menolak apa yang dilakukannya padaku.


Setiap Hari di Pintu Masuk Sekolah ....

Rijin tetap menunggu saya untuk sekadar menyapa dan mengajak masuk ke sekolah. Ia memilih untuk menunggu di pintu masuk area sekolah sebelum melihat saya hadir di sana. Dan, itulah yang saya alami setiap harinya di sini. Terima kasih untuk setiap genggaman tanganmu, Rijin.[]


(Diceritakan oleh Aisy Ilfiyah, Pengajar Muda Halmahera Selatan dalam buku "Indonesia Mengajar" Kisah Para Pengajar Muda di Pelosok Negeri)




Edisi Hari Buku Nasional AYAH, AKU, DAN BUKU

Saat sudah bisa membaca, saya mendapat rak khusus berisi buku kanak-kanak dari Ayah.  Beliau tidak mau jika buku-buku saya tercecer. Oleh ka...