“𝘗𝘦𝘯𝘥𝘪𝘥𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘬𝘦𝘮𝘢𝘮𝘱𝘶𝘢𝘯 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘮𝘦𝘯𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘳𝘬𝘢𝘯 𝘩𝘢𝘮𝘱𝘪𝘳 𝘴𝘦𝘮𝘶𝘢 𝘩𝘢𝘭 𝘵𝘢𝘯𝘱𝘢 𝘬𝘦𝘩𝘪𝘭𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘴𝘢𝘣𝘢𝘳𝘢𝘯 𝘢𝘵𝘢𝘶 𝘬𝘦𝘱𝘦𝘳𝘤𝘢𝘺𝘢𝘢𝘯 𝘥𝘪𝘳𝘪.”
(Robert Frost)
Garis bilangan yang kugambar di papan tulis sudah mulai terhapus di sana sini setelah tadi kami asyik bermain lompat angka untuk praktek penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat. Anak-anak kelas 6 begitu antusias ketika kupandu mengerjakan operasi hitung bilangan negatif pada pertemuan pertama ini.
Semula kelas menjadi riuh saat menghitung lompatan dan arah pada garis bilangan untuk mencari hasil 3 dikurangi 7.
"Jadi, kalau katong lompat 7 kali ke arah kiri, berhenti di angka berapa?"
"Nebfatif empat, Ibuu!" (nampaknya saya perlu waktu untuk mengajarkan kata "negati")
Sayangnya keriuhan itu mendadak surut ketika aku menantang anak-anak untuk mengerjakan soal di depan kelas.
Satu, dua, tiga, ..., sembilan. Aku berhitung dalam hati. Hmmm .... Semakin banyak kepala yang tertunduk rupanya. Kupandangi angka yang berderet di bawah garis bilangan.
4-6 = ....
Rasanya soal tersebut tak terlalu sulit. Toh, sebelum ini kami sudah mengerjakan beberapa contoh soal bersama-sama.
"Ayo, katong (kita) coba jawab sama-sama, ya, ..., " kembali kurayu mereka.
"Salah itu seng (tidak) apa-apa. Ibu seng akan pukul katong. Kalau seng tau, nanti Ibu bantu."
Ah! Tiba-tiba mereka mengangkat wajah dan menatapku! Sebagian tampak mengernyitkan dahinya. Sebagian lagi saling berpandangan dengan teman sebangkunya.
Lima detik, sepuluh detik. Nihil. Tetap saja tidak ada yang mengangkat tangannya.
Aku sedang menghela napas kecewa. Namun, seketika kulihat sebuah jari mungil teracung dari barisan tengah.
"Ya?"tanyaku.
"Ibu, beta mau coba kerjakan soal," ucapnya lirih.
Aku terkesiap. Kusorongkan spidol hitam ke tangannya yang agak gemetar. Dengan ragu ia menggoreskan spidolnya di bawah angka 4, membuat garis lengkung ke kiri. "Satu, dua, tiga, empat, lima, enam." la menghitung dengan lirih. Enam garis lengkung dan berhenti di angka -3.
4-6 =- 3
Ia menatapku penuh harap.
Di belakang, anak-anak sudah riuh. Rupanya mereka menyadari garis lengkungnya kurang tepat sehingga berhenti di angka yang salah.
"Ha, jawabannya salah! Mati ose! Dapat pukul itu!"
Bisikan provokatif mulai muncul dari belakang, satu demi satu, sampai-sampai raut muka si anak pemberani ini mulai kecut. la pun tertunduk.
"Salah itu seng apa-apa. Katong belajar sama-sama supaya bisa to," ujarku sambil tersenyum dan menepuk pundaknya pelan, memberikan suntikan kepercayaan diri kepadanya.
Kupegang tangannya, lalu kutuntun perlahan-lahan, membuat lengkungan dari 1 angka ke angka yang lain. Satu demi satu, sampai angka -2. Senyum mulai mengembang di bibir mungilnya.
"Bet su tau, Ibu!" (saya sudah tahu, Ibu) serunya riang.
Kutantang ia mengerjakan satu soal lagi.
7-8= ....
Hanya beberapa detik yang ia butuhkan untuk membuat lengkungan dan menggoreskan angka -1 di sebelah tanda "sama dengan".
"Bisa?" tanyaku sambil tersenyum.
"Bisa, Ibu!" ucapnya sambil tertawa lebar dan kembali ke tempat duduknya. Kepalanya tidak lagi tertunduk. Tepuk tangan riuh dari seisi kelas jadi bonus untuknya yang berani maju ke depan dan mengerjakan soal.[]
(Dikisahkan oleh Matilda Narulita, Pengajar Muda Maluku Tenggara Barat dalam buku "Indonesia Mengajar 2. Kisah Para Penyala Harapan Bangsa Mengajar di Pelosok Tanah Air)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar