πΆππππ πππ πππππ πππππππ πππππ πππππ π πππ ππππ ππππππ ππππππ ππππππππ πππππππ π ππππ πππ ππ π ππππ πππππππ ππππππ ππππ πππππ πππππ πππππππππππππππ."
(π¨ππππ π·ππππ)
Pemandangan itu mungkin hanya berlangsung lima menit, bahkan bisa kurang. Anak-anak kelas 1berbaris dengan tertib lalu masuk kelas untuk memulai belajar.
Namun mewujudkan keteraturan itu tidak bisa dihasilkan dalam tempo lima menit. Ada sebuah perjalanan panjang yang harus dilalui. Dan wali kelas 1 yang bernama Ibu indah itu telah memulainya sejak lulus SMA...
Sebuah pigura tergantung di sebuah rumah panggung. Terdapat sebuah foto seorang perempuan mengenakan baju putih-putih yang merupakan seragam Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibra). Meski kini sudah menjadi ibu dari seorang anak, tetapi wajah itu tidak banyak berubah.
Kebanggaan itu tidak bisa dia ceritakan ke orang-orang sekitarnya dan itu bukan sebuah momen yang istimewa. "Ibu saya pun tidak paham apa itu Paskibra, jadi ya biasa saja" kata Ibu Indah sambil tersenyum kepada saya.
Setamat SMA ia harus memupus cita-citanya untuk kuliah di sebuah universitas di Samarinda. Kondisi finansial memaksa ia meninggalkan mimpinya dan harus membantu orang tuanya sebagai petani.
Dia terima tawaran ibunya yang hanya sanggup membiayai untuk kursus menjahit dan menjalaninya dengan gembira. Tapi cita-citanya untuk menjadi guru tidak pernah padam.
Saat Pemerintah Kabupaten setempat membuka kesempatan beasiswa bagi putra-putra daerah untuk berkuliah pendidikan guru di Jawa, Ibu Indah merasa bahwa kesempatan ini adalah jawaban atas mimpi-mimpinya. Ia pun menyiapkan segala berkas administrasi yang merupakan syarat pendaftaran. Ketika selesai menyerahkan berkas pendaftaran di kantor dinas, ia tak lupa membaca doa berharap bahwa aplikasi tersebut diterima. Masa penantian ia jalani dengan sabar, sehingga tibalah hari pengumuman. Ia jalan ke kantor tempat pendaftaran dan langsung melihat ke papan pengumuman. Ditelusurinya nama di papan tersebut satu persatu. Sampai di akhir barisan, ia tak menemukan namanya.
Sampai di rumah, Ibu Indah tak sanggup menatap wajah Mamak (ibu) nya. Mamak pun tak mengeluarkan sepatah kata. Ia tahu bahwa apa pun yang dikatakannya tak akan terlalu bisa mengobati kekecewaan putrinya. Dalam hatinya, ia berdoa bahwa suatu hari Tuhan mampu memberikan jalan untuk cita-cita putrinya.
Tidak menyerah, kembali Ibu Indah mendaftar lagi saat kesempatan itu dibuka beberapa bulan kemudian. Kegagalannya pada program terdahulu ia lupakan. Ia pun bangkit kembali dan memulai proses yang sama. Dan, kali ini, ia harus menelan pil pahit kembali. Namanya tak ada di papan pengumuman. la pun mendengar suara-suara miring bahwa hanya mereka yang punya relasi dengan pejabat setempat yang akan diterima untuk mengikuti program ini. Ibu Indah menyadari ia tak punya koneksi pejabat. Ia hanya bisa pasrah dengan kondisi yang ia alami. Tetapi, Mamak dengan tegar mengatakan ,"Itu kan cuma kata orang. Kalau memang rezeki juga pasti dapat."
Doa Ibu Indah akhirnya terkabul. Ibu Indah mendapat kesempatan mengambil Program D2 Pendidikan Guru di Universitas Sebelas Maret, Solo. Baginya program ini merupakan sebuah jalan mewujudkan cita-citanya semasa kecil, menjadi guru.
Apa boleh buat, demi mengejar cita-citanya Ibu Indah harus rela meninggalkan ibu dan ayahnya yang sakit-sakitan selama dua tahun. Dalam kurun waktu tersebut, Ibu Indah sadar bahwa pada waktu Lebaran maupun liburan semester, ia tidak mungkin pulang ke kampung halaman untuk sekadar menjenguk orangtuanya. Pemerintah hanya menyediakan tiket pesawat untuk berangkat dan pulang usai menempuh pendidikan, tak lebih. Sempat ragu, tapi orang tuanya mendorongnya untuk terus maju dan berangkatlah Ibu Indah dengan iringan derai airmata.
Solo...
Adalah kota yang bersahabat datang menyambut kehadiran Ibu Indah. Keramahan itu terpancar dari orang-orang yang tinggal di sekitar asrama, tempat mahasiswa Paser tinggal. "Pernah ada kakek-kakek yang kita nggak kenal, tapi setiap pagi kalau ketemu kita senyum. Kok bisa ya mereka ramah sekali," ujar Ibu Indah mengenang masa-masa itu. Tetapi, keramahan kota itu ternyata tetap tak mampu mengobati kerinduan Ibu Indah pada orangtuanya. Di minggu-minggu awal tinggal di asrama, ia masih sering menangis jika mengingat orangtuanya.
Rasa kangen tak hanya dirasakan Ibu Indah seorang. Mamak pun sangat mengerti kondisi Indah. "Dulu kalau telepon pasti nangis. Tetapi, ya, mau gimana lagi. Nggak ada uang juga buat pulang," ujar mamaknya mengenang.
Hiburan Ibu Indah di asrama, saat teman-temannya pulang mudik adalah menyulam.
Terlepas akan kerinduan rumah dan orang tuanya, Ibu Indah mendapat ilmu baru tentang pendidikan: pengelolaan kelas, persiapan mengajar, kerja praktik mengajar di sekolah negeri. Dia juga dapatkan kebiasaan berbaris sebelum masuk kelas, menyanyi dan kebiasaan yang menarik dalam dunia mengajar.
Tanpa terasa, perkuliahan yang dia ikuti dengan sabar, praktik mengajar ujian akhir membawa ke langkah akhir Ibu Indah: menyelesaikan perkuliahan.
Ibu Indah berhak mendapat gelar ahli madya di belakang namanya. Di hari itu, segala kekecewaan dan kegagalan yang ia rasakan ketika melamar beasiswa sudah nyaris ia lupakan. Air mata kesedihan ketika harus meninggalkan kampung halamannya berganti dengan air mata kebahagiaan karena ia telah mampu membuktikan kepada orang tuanya bahwa ia mampu menyelesaikan pendidikannya selama dua tahun. Ia kini telah menaiki satu anak tangga, dan tinggal beberapa langkah lagi untuk mampu mewujudkan cita-citanya sebagai seorang guru.
Dengan mengenakan kebaya yang ia jahit sendiri dan toga, ia resmi diwisuda. Di halaman kampus, ia melihat sebagian teman-temannya sibuk berfotoria dengan diapit oleh orangtua mereka masing-masing. la pun mulai membayangkan betapa hari ini akan menjadi lebih sempurna jika Mamak dan Bapak juga turut hadir di tempat itu.
Paser, Kalimantan Timur,
Ibu Indah dengan bangga mengenakan seragam berwarna coklat. Dengan seragam itu ia akan mengajar di SDN 015 Tanah Grogot. Jarak yang sekitar 1 km itu ia tempuh dengan sepeda tuanya. Namun jika hari hujan jarak itu harus ditempuh dengan berjalan kaki dengan merelakan seragamnya terkena lumpur.
Di hari pertama sekolah, ia mendapat amanah tugas yang uniknya justru tak pernah diajarkan selama ia berkuliah. Ia diminta mencuci piring atau gelas yang bekas digunakan oleh para guru. Dengan sabar, ia laksanakan tugas tersebut. Walaupun ada sedikit perasaan kecewa, ia tetap menerima pekerjaan tersebut karena ia merasa bisa jadi tugas-tugas kecil adalah ajang pembuktian bagi dirinya sebelum nantinya mendapat pekerjaan yang lebih besar.
Upayanya untuk selalu berpikir positif berbuah manis. Di hari-hari berikutnya, ia mulai mendapatkan kepercayaan untuk menggantikan wali kelas atau guru mata pelajaran yang tiba-tiba saja berhalangan hadir. Di saat tersebut, ia mulai menerapkan ilmu pendidikan yang didapatkannya selama kuliah. Selama beberapa bulan, pekerjaan yang ia tekuni selalu sama. Datang pagi, menggantikan tugas guru yang tidak masuk, dan kemudian apabila ada piring atau gelas yang kotor, tugasnya beralih menjadi tukang cuci piring. Meskipun bukan wali kelas, di sela-sela waktu istirahatnya Ibu Indah tetap membuat keterampilan yang bisa membantunya dalam menyampaikan pelajaran ke murid.
Ketekunan dan kesabaran Ibu Indah rupanya membuat Pak Ismail, kepala sekolah kagum. Pria ini melihat Ibu Indah menyimpan energi yang besar sehingga perlu diberi kesempatan.
Untuk memperbaiki kualitas murid harus dimulai dari awal, yaitu kelas 1 dan guru yang pantas untuk mengajar adalah Ibu Indah.
Dengan antusias Ibu Indah segera "tancap gas"
Segera dia biasakan murid untuk berbaris sebelum masuk kelas. Dinding kelas yang tidak ada gambar bersifat edukatif dia padang dengan menggambar buah berikut namanya, alfabet.
Ibu Indah mencari buku-buku lama di rak yang masih layak dibaca, dikumpulkan dan disusun pada meja disamping kelas. Dengan adanya "Perpustakaan mini" itu Ibu Indah berharap murid dapat membaca buku diluar buku pelajaran.
"Mumpung masih kelas 1, jadi lebih gampang mendidiknya" demikian alasan Ibu Indah.
Pada pojok kelas disediakan dua buah rautan pensil dan kaleng susu. Murid akan tahu yang harus dilakukan dengan dua benda tersebut. Sebuah perilaku kemandirian yang ditanamkan sejak dini.
Salah satu hal yang membuat beberapa guru senang terhadap Ibu Indah adalah kemampuannya dalam menanamkan perilaku kesopanan terhadap anak didiknya. Hampir semua anak Kelas I jika berpapasan dengan guru selalu memberi salam dan mengucapkan "Permisi, Bu."
Terhadap perilaku guru lain yang berperilaku tidak pantas Ibu Indah tidak perlu menegur atau menyindir. Di dalam diamnya, Ibu Indah justru bersuara melalui aktivitas mendidik yang ia lakukan pada murid Kelas I.
"Teng....teng....teng" Lempengan besi itu dibunyikan dengan nyaring. Mengingatkan akan hari pertama saya mengajar di sekolah ini. Semua anak lari terbirit-birit, beberapa masih memegang makananmakanan yang mereka beli dari warung. Tepat di depan pintu kelas, Ibu Indah menghentikan langkah murid-muridnya. Wajah anak-anak yang baru saja merasakan bangku sekolah dasar itu tampak kebingungan karena tidak diperbolehkan masuk ke kelas. Dengan sabar, Ibu Indah ajarkan kebiasaan berbaris sebelum memasuki kelas. Ia contohkan posisi siap, posisi lencang depan, dan berbagai instruksi lainnya. Meskipun beberapa anak tampak tak mempedulikan, ia tetap mengulang instruksi itu, sampai semua anak mengikuti. Akhirnya setelah lebih dari lima belas menit berjuang, anak-anak tersebut mampu memasuki kelas satu persatu.[]
"π°πππ-ππππ ππππππ ππππ πππππ ππππ. π°ππππ ππππππ ππππππ ππππ πππ πππππππ ππππππ ππππππππ. πππππππππ ππππ ππππππ πππππ πππππππππ π’πππ ππππππ ππππππ ππ πππππ."
(πππππππ’ π·ππππππ)
(Dikisahkan oleh Mutia Hapsari, Pengajar Muda dari Paser, Kalimantan Timur)
Dari buku
"Mengabdi di Negeri Pelangi"
Keterangan foto: SDN 015 Tanah Grogot, Paser Kaltim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar