"𝐊𝐞𝐛𝐞𝐧𝐜𝐢𝐚𝐧 𝐚𝐝𝐚𝐥𝐚𝐡 𝐛𝐞𝐛𝐚𝐧 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐭𝐞𝐫𝐥𝐚𝐥𝐮 𝐛𝐞𝐫𝐚𝐭 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐝𝐢𝐭𝐚𝐧𝐠𝐠𝐮𝐧𝐠.𝐈𝐭𝐮 𝐦𝐞𝐥𝐮𝐤𝐚𝐢 𝐬𝐢 𝐩𝐞𝐦𝐛𝐞𝐧𝐜𝐢 𝐥𝐞𝐛𝐢𝐡 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐦𝐞𝐥𝐮𝐤𝐚𝐢 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐝𝐢𝐛𝐞𝐧𝐜𝐢 "
(Coretta Scott King)
Tahun 1960an, saya tinggal bersama ibu dan dua kakak saya di Dinoyo Tangsi, sebuah gang sempit di Surabaya.
Saya mempunyai tetangga seorang bocah laki-laki yang mempunyai kaki lumpuh, sehingga untuk bergerak dia menggunankan tongkat penyangga. Namun pada saat-saat tertentu dia menggunakan alat bantu seperti kereta beroda tiga. Bagi anak kampung kereta itu sering dijadikan mainan dengan cara membonceng dibelakang. Tidak gratis tentunya, tergantung dari 'musim'nya mainan: kelereng, kartu bergambar, layangan atau mainan yang lain.
Saya tidak mengerti, kenapa anak itu sangat membenci saya. Tak jarang badan atau kepala saya kena pukul tongkat penyangga kaki tanpa sebab. Saya tidak berani membalas, karena dia mempunyai kakak laki-laki yang melindunginya, disamping usianya juga lebih tua.
Sejak itu saya benci pada orang-orang yang kakinya cacat. Orang-orang yang menggunakan tongkat penyangga di ketiak. Dalam pikiran saya, mereka adalah orang-orang jahat. "Racun" itu menyebar di otak dan mengendap di hati saya untuk jangka waktu yang lama. Trauma yang saya alami dulu itu tanpa saya sadari ternyata cukup parah.
Setelah dewasa dan memahami bahwa setiap individu berbeda, tingkat kebencian saya berangsur memudar. Tidak semua orang yang kakinya lumpuh itu jahat.
Namun, trauma masa kanak-kanak itu sulit dihapus tuntas. Bayangan wajah dan perlakuan anak bertongkat yang saya terima di masa lalu itu ternyata mengendap di bawah alam sadar dan kadang mencuat ke permukaan.
Kadang saya berpikir kebencian anak itu karena penampilan saya yang 'berbeda'.
Darah belanda yang mengalir dalam tubuh saya menjadikan warna kulit saya lebih terang dan rambut saya berwarna pirang.
Kalau dikota besar, hal tersebut tidak jadi masalah, tapi di lingkungan dalam gang sempit?
Empat puluh tahun kemudian, saat mengundang Sugeng Siswoyudhono pada acara "Kick Andy", saya teringat kembali pada anak bertongkat semasa saya kecil dulu yang begitu saya benci. Anak yang dulu sering menganiaya saya dengan kedua tongkatnya yang mengerikan itu.
Berbeda dengan anak tetangga saya, pemuda berkaki satu dari Mojokerto itu menginspirasi banyak orang.
Bermula dari kaki palsunya yang sudah rusak, pemuda tamatan SMA ini mulai merancang dan membuat sendiri kaki palsu. Ternyata kaki palsu dari fiber ciptaannya tersebut lebih nyaman dan lebih ringan dari kaki palsu yang biasa dipakai.
Maka, pesanan kaki palsu mulai mengalir dari beberapa daerah. Harga yang diberikan juga relatif murah, karena sejak awal tujuannya memang lebih untuk membantu orang-orang yang tidak mampu. Bersama sejumlah anak muda di desanya, Sugeng membuka "bengkel" kaki palsu. Dari seorang yang seharusnya "dikasihani", Sugeng yang sehari-hari bekerja sebagai penjual susu botol ini, justru tampil sebagai penolong orang-orang yang membutuhkan kaki palsu murah.
Dalam keterbatasannya, Sugeng rela berbagi.
Seolah diatur oleh Yang Diatas, pertemuan dengan Sugeng mengikis kebencian yang rupanya masih mengendap di alam bawah sadar saya.
Dengan cara-Nya, Tuhan hendak menghapus prasangka buruk yang masih tersisa di alam bawah sadar saya. Prasangka tentang orang-orang yang kakinya cacat. Kehadiran Sugeng di Kick Andy memang membuat banyak orang terinspirasi dan termotivasi. Bagi saya pribadi, pertemuan dengan Sugeng membersihkan trauma masa kanak yang ternyata masih mengendap di bawah alam sadar. Karena itu, saya mensyukuri pertemuan saya dengan Sugeng. Tuhan, terima kasih. Sejak bertemu pemuda berkaki palsu itu, hati saya jadi plong. Hidup jadi lebih ringan.[]
"𝑺𝒂𝒚𝒂 𝒕𝒆𝒍𝒂𝒉 𝒎𝒆𝒎𝒖𝒕𝒖𝒔𝒌𝒂𝒏 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒃𝒆𝒓𝒕𝒂𝒉𝒂𝒏 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒄𝒊𝒏𝒕𝒂. 𝑲𝒆𝒃𝒆𝒏𝒄𝒊𝒂𝒏 𝒂𝒅𝒂𝒍𝒂𝒉 𝒃𝒆𝒃𝒂𝒏 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒕𝒆𝒓𝒍𝒂𝒍𝒖 𝒃𝒆𝒓𝒂𝒕 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒅𝒊𝒕𝒂𝒏𝒈𝒈𝒖𝒏𝒈."
(Martin Luther King,Jr)
Dari buku
"Andy's Corner" Kumpulan Curahan Hati Andy F Noya
Keterangan foto: Andy F Noya dengan Sugeng Siswoyudhono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar