SDS (Sekolah Dasar Swasta) Terang Agung, sejak berdiri hingga pertengahan tahun 2014, belum bisa menjadi sekolah negeri karena bangunan sekolahnya masih berdiri di atas lahan HTI (Hutan Tanaman Industri).
Pada tahun ajaran 2013/2014, jumlah siswa di sekolah tersebut mencapai seratus dua puluhan. Sedangkan jumlah guru sebanyak enam orang, kesemuanya perempuan. Ditambah dengan kepala sekolah.
Jumlah ruang kelas hanya ada lima, sehingga kelas satu dan dua sering kali digabung menjadi satu kelas, atau bergantian, dalam proses pembelajaran. Biasanya kelas I masuk lebih dulu, baru setelah mereka selesai belajar, disambung dengan kelas II.
Sekolah yang didirikan pada tahun 2002 ini hampir seluruhnya dikelilingi oleh pohon karet dan singkong, dengan beberapa rumah kecil di sebelah kanannya. Meskipun cukup kokoh bangunannya, pihak sekolah harus siap sedia memperbaiki atapnya, karena kadangkala asbesnya terbang diporak-porandakan angin kencang. Kesederhanaan bangunan SDS Terang Agung tidak menyurutkan semangat anak untuk belajar dan mengejar cita-cita mereka demi masa depan yang lebih baik.
Ditengah keterbatasan fasilitas insan pendidikan disini tetap memiliki semangat dan cita-cita tinggi. Di sini belum ada listrik dan jalanan pun rusak, bahkan licin berlumpur di kala hujan karena belum diaspal. Truk-truk pengangkut singkong yang sering melewati jalan itu, menambah parah kondisi jalan. Jadi bukan sesuatu yang aneh apabila kebanyakan anak di dusun ini tidak masuk sekolah jika hujan deras. Jalannya memang sangat sulit ditempuh. Tidak jarang seorang guru harus pulang kembali ke rumah karena di tengah jalan terpeleset dan pakaiannya kotor oleh lumpur.
Sebuah ketangguhan diperlukan untuk menghadang banyaknya keterbatasan yang dimiliki. Perjuangan yang keras para guru untuk memberikan yang terbaik bagi anak-anak tercinta di sekolah ini. Anita Sari, contohnya Setiap hari dia harus menempuh jarak berkilo-kilometer untuk pergi ke sekolah, padahal dia hanya makan satu kali sehari, yaitu di waktu siang. Pagi, sore, dan malam, ia tidak makan.
Keikhlasan para guru di sekolah ini juga perlu mendapat acungan jempol. Mereka belum menjadi PNS dan gaji yang mereka terima tidak besar, tetapi mereka tetap bersemangat pergi ke sekolah setiap hari untuk mendidik dan mencerdaskan anak-anak. Namun, tidak dimungkiri bahwa kadang ada saja orang yang kurang menghargai apa yang telah diusahakan guru-guru-bertahun-tahun mendidik, masuk kelas setiap hari guna menemani anak-anak tanpa berkeluh kesah.
Selain mengajar, para guru di sini juga harus mencari tambahan penghasilan, kadang dengan cara menderes (mengambil getah karet) di kebun sebelum berangkat ke sekolah atau meleles (mencari sisa-sisa singkong hasil panen di kebun orang) sehabis mengajar. Waktu-waktu penuh kesibukan menyelimuti para guru setiap hari, tetapi hal itu tidak menyurutkan semangat mereka untuk mendidik para murid.
Rupanya dari sebuah pelosok negeri terdapat anak-anak yang hidup dalam kesederhanaan, namun mimpi-mimpi mereka harus tetap dirawat, bahkan harus didorong. Kalau umumnya mereka bercita-cita ingin menjadi dokter, polisi atau tentara, ada seorang anak yang bercita-cita ingin memerdekakan HTI, agar HTI bisa seperti dusun lain yang resmi menjadi tempat tinggal penduduk, karena "Rumah boleh dikampung, rumah boleh di Kepulauan, tapi mimpi (cita-cita) harus ditaruh di langit"[]
(Dikisahkan oleh M.Nurul Ikhsan Saleh, Pengajar Muda di SDS Terang Agung, Tulang Bawang Barat, Lampung dalam buku "Merajut Mimpi di Sudut Negeri")