“π¨ππππ ππππππππππ ππππππππ πππππ ππππππ ππ ππππππππ ππππ ππππππ.”
(HR Muslim no.ππππ)
Jakarta 1983,
Dengan santai Abdul Rozak mengendarai mobil mewah baru yang diterima beberapa hari sebelumnya seiring dengan pengangkatannya sebagai Direktur Operasional sebuah lembaga keuangan perusahaan asing.
Pagi itu Rozak mengarahkan mobil BMW 520i nya menuju ke stasiun Gambir.
Sepekan sebelumnya sang ibu mengabarkan lewat surat akan berkunjung ke Jakarta naik kereta api ekonomi Gaya Baru. Meski putranya sudah menduduki jabatan tinggi di sebuah perusahaan, Ibunya Rozak masih suka bepergian naik kereta api ekonomi.
Ibu kandung Rozak masih tetap hidup sederhana dan tinggal di kota Surabaya dengan ditemani oleh salah seorang putri, mantu, dan tiga cucu. Masih tetap mencari nafkah dengan membuka warung untuk mengisi hari tuanya. Saran Rozak untuk menutup usaha warungnya dengan pertimbangan mengurangi aktivitas yang menuntut energi oleh sang Ibu dijawab, "Justru aktivitas itulah yang membuat dirinya sehat jasmani dan rohani. Tubuh memerlukan olahraga, otak memerlukan olahpikir, dan hati memerlukan olah pertimbangan, terutama untuk melakukan mawas diri".
Transaksi yang dilakukan pada warungnya juga cukup unik, beliau sengaja melayani semua pembeli yang tidak mampu, termasuk mereka yang tidak dilayani oleh warung lain. Beliau pernah berkata, "Orang yang hanya memiliki uang Rp500 untuk membeli kecap pun harus dilayani, agar nasi yang dimakannya ada rasanya. Jadi, berjualan adalah perbuatan amaliah ibadah. Adapun uang bulanan yang dikirimkan Rozak setiap bulan, digunakan untuk biaya kebersihan masjid, infak sedekah untuk kaum dhuafa, serta bayar rekening air dan listrik, lalu sisanya cukup untuk menutupi keperluan hidup yang tidak seberapa.
Pukul 07.45 Rozak sampai di stasiun Gambir setelah memperhitungkan perkiraan kedatangan kereta. Dengan menenteng kantong berisi makanan kecil, sebuah buku, dan majalah Rozak masuk peron dan mencari tempat duduk.
Saat Rozak baru membaca beberapa halaman buku terdengar pengumuman melalui pengeras suara yang memberitahukan bahwa kereta Gaya Baru akan terlambat datang dan sampai di Stasiun Gambir pada pukul 12.00.
Empat jam...
Tentu waktu yang membosankan untuk menunggu. Rozak sempat berpikir untuk pulang ke rumah tapi dibatalkannya karena cukup jauh. Mau jalan-jalan ke tempat rekreasi juga masih terlalu pagi.
Sementara belum memutuskan hendak kemana, Rozak mencoba untuk meneruskan bacaannya, meski sekarang konsentrasinya tidak penuh.
Rozak masih mencoba untuk membaca, saat ada keluarga yang baru turun dari kereta api yang kebingungan berada didekatnya.
Kursi kosong disamping Rozak diduduki istri yang menggendong anaknya yang mulai rewel, sedangkan sang bapak harus berdiri.
"Pak, dari sini kita ke mana dan naik apa?" tanya sang istri
"Aku juga ndak tahu," suaminya menjawab.
"Jadi bagaimana?"
"Nanti kita tanya saja."
"Mbok yo cepat tanya sana. Biar kita cepet ketemu sama anak. Biar kita bisa istirahat."
"Ya ... ya."
Sang bapak tidak menanyai Rozak yang duduk di sampingnya. Karena melihat Rozak sedang asyik membaca, suaminya mendekati dan menghentikan seseorang yang melintas di depan mereka untuk menanyakan sebuah sebuah alamat.
Jawaban yang diperoleh baru memberikan informasi yang sedikit. Kembali dia bertanya lagi ke orang lain mengenai alamat pesantren tempat anaknya bersekolah.
Rozak berpikir akan membantunya dengan menuliskan kendaraan, tempat turun, kendaraan sambungan pada selembar kertas dan memberikan kepadanya.
Pikiran Rozak kembali bercabang. Dia bisa saja memanggil taksi dan meminta mengantarkan keluarga itu ke alamat yang diminta dan membayari ongkosnya. Kalau mengantarkan mereka dengan mobil barunya rasanya terlalu berlebihan dan mereka sebenarnya tidak terlalu berharap demikian.
Niat Rozak semula adalah menjemput ibu dengan mobil mewah untuk menyenangkan orangtua adalah bagian ibadah. Namun Tuhan Yang Maha Bijak, mempunyai rencana lain. Karena pada saat yang sama ada manusia yang juga perlu ditolong, dan itu juga tidak kurang kadar dan nilai kemuliaannya di hadapan-Nya.
Rozak melihat jam tangannya, dan ternyata masih tersedia cukup waktu untuk pulang balik, dan kemudian menjemput ibunya yang baru akan tiba empat jam kemudian.
Segera Rozak berkemas dan mengejar keluarga tadi. Lalu-lalang orang menghambat gerak langkah mereka sehingga Rozak dengan mudah menyusulnya.
Keluarga kecil itu agak terkejut ketika disapa. Dari rona wajahnya sekilas nampak kesan kecemasan dan keragu-raguan, meski akhirnya mereka berhenti melangkah.
"Pak. Maaf, tadi saya mendengar Bapak akan ke pesantren yang kebetulan dekat rumah saya. Kalau Bapak bersedia, mari saya antarkan. Saya juga ingin pulang. Dari pada kosong kesepian sendirian, lebih baik ada yang menemani," kata Rozak.
"Alhamdulillah. Kebetulan sekali. Terima kasih," ujarnya.
"Biar pak, barang bawaannya tidak banyak kok" larang suaminya saat Rozak akan membantu mengangkat barang.
Saat anaknya yang lepas dari gendongan berlari ke salah satu Colt terbuka dari jauh Rozak memberi isyarat, "bukan itu mobilnya, tetapi yang di sebelahnya". Anak itu pindah dan berlari ke sebelah kiri melewati mobil BMW menuju sedan Corolla tua. Rozak tersenyum!
Setelah sampai di mobil, Rozak membuka bagasi belakang dan mempersilakan mereka meletakkan barang-barang bawaan. Seperempat karung terigu berisi beras, sayur-mayur dan satu tas kecil berisi pakaian.
Mereka tampak terkesima dan tidak satu patah kata pun keluar dari mulut mereka. Bapak itu dan istrinya saling berpandangan. Sedangkan anaknya berlari dari sedan tua mendekati ayah dan ibunya. Setelah seluruh barang yang tidak terlalu banyak itu masuk semua, Rozak membuka pintu belakang kendaraan, mempersilakan mereka masuk dan dia menyusul dari pintu pengemudi. Tak lama kemudian mobilpun meninggalkan stasiun.
Hening, tak ada yang bicara..
Dari kaca spion nampak suami dan istri menyandarkan punggungnya di kursi belakang dengan mata dipejamkan. Sementara anak kecil itu melihat ke kaca jendela menikmati pemandangan di luar. Sungguh senang hati mereka tentunya, mengalami hal yang tidak disangka-sangka.
Dalam keheningan perjalanan Rozak asyik mempertajam nalar dan perasaan. Hidup adalah misteri. Perlahan-lahan ia sudah dapat mengerti apa yang dikatakan bunda yang melahirkannya. Ada keistemewaan berada di tengah kaum dhuafa ... kaum jelata.
Semua kebiasaan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari menjadi bertolak belakang. Air mata yang biasanya menetes sebagai wujud dan tanda kesedihan, kini justru berubah menjadi bukti puncak kebahagiaan. Subhanallah.
Tanpa disadari, mereka sudah sampai di tujuan. Segera Rozak menepikan kendaraan tepat di muka pintu gerbang pesantren. Pintu belakang dibuka dan mempersilakan mereka turun mengikutinya ke belakang. Pintu bagasi dibuka dan barang bawaan dikeluarkan semua. Selama itu pula bapak dan ibu itu tidak berkata-kata.
"Jangan sampai ada yang tertinggal Pak," kata Rozak seraya mengulurkan tangan untuk berjabat tangan."
"Ya," jawabnya pendek sambil menyambut jabatan tangan Rozak.
Bapak itu masih tidak mampu mengeluarkan kata-kata. Tidak sempat berterima kasih, dan memang Rozak tidak memerlukannya. Bagi Rozak justru dirinyalah yang harus berterima kasih atas kesempatan dan kenikmatan yang dialaminya melalui perantaraan keluarga kecil itu. Dari balik kaca spion, Rozak masih melihat mereka memandang kendaraan yang mereka tumpangi menjauh dan akhirnya hilang dari pandangan meninggalkan pintu gerbang pesantren itu.[]
"π²πππ πππππππ πππππ πππππππππ πππ πππππππππππππ ππππ ππππππ ππππππ πππππππ πππππ πππππππππ πππ πππππππππππππ πππππ ππππ"
(Mark Twain)
Dari buku
"VISA KE SURGA" Catatan Harian Inspiratif Tentang Indahnya Berbagi
(Catatan: Abdul Rozak pada kisah diatas adalah Houtman Zainal Arifin Vice President Citibank di Indonesia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar