Kebutuhan biaya untuk pengobatan sang adik membuat Nurmi 'mencukupkan' kuliahnya sampai semester 7 Universitas Muhammadiyah Makassar.
Minat wanita itu terhadap pendidikan lalu mengantarkannya ke dusun Tatibajo, Majene, Sulawesi barat untuk mengabdikan diri sebagai tenaga pengajar sukarela.
Sedikit pun tak ada keraguan dalam diri Nurmi saat ia mengajukan diri sebagai tenaga pengajar. Asluddin, kepala sekolah saat itu, sudah mengingatkan ihwal ketiadaan honorarium bagi tenaga pengajar tambahan (sukarela). Namun, perempuan, ini mantap dengan tekadnya untuk mengajar.
"Sewaktu saya menyampaikan niat ingin mengajar di sekolah, Bapak Kepala Sekolah bilang tidak ada honor yang bisa dibayarkan. Saya katakan bahwa hal itu tidak jadi soal karena memang niat saya ikhlas untuk memberi," kata perempuan gigih ini.
Suatu ketika, secara tak terduga Nurmi menerima "honor" yang jumlahnya tidak lebih dari Rp 20 ribu. Masih jelas dalam ingatannya mengenai pemberian honor tersebut.
"Honor itu merupakan sumbangan warga. Mereka merasa saya pantas menerimanya karena bersedia hadir dan mengajar anak-anak," jelas Nurmi.
Untuk menuju sekolah tempat ia mengajar, Nurmi harus berjalan kaki. Selain menelusuri jalan setapak, ia mesti tiga-empat kali menyeberangi sungai. Jika debit aliran sungai meningkat drastis ia terpaksa absen mengajar.
"Suatu ketika air sungai mengalir sangat deras sehingga tidak bisa diseberangi. Saya hanya bisa melambaikan tangan kepada anak-anak yang sudah menanti di sisi lain sungai. Akhirnya, mereka saya suruh pulang saja," kenang Nurmi.
Berawal dari proses belajar mengajar di surau dan kolong rumah warga, dengan siswa sejumlah tidak sampai 30 orang, tempat belajar itu lalu berkembang menjadi SDN 27 Titibajo.
Untuk mengasah kemampuannya mengajar, usai menyelesaikan D2 PGSD Universitas Terbuka, Nurmi melanjutkan studinya ke program S1.
Adalah sebuah anomali ketika Nurmi yang masih berstatus guru honorer (sejak 2004) memiliki jam terbang pelatihan yang hampir sama dengan guru PNS di lingkungannya, mulai pembuatan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, Pelatihan kurikulum 2013 sampai Kursus Mahir Dasar Pramuka. Nurmi mengungkapkan bahwa tidak sedikit guru yang justru khawatir untuk mengikuti pelatihan, dengan alasan mereka khawatir kemampuan mengajar mereka dilihat oleh penguji ataupun oleh rekan guru lainnya.
"Banyak guru justru tidak ingin ikut pelatihan karena takut diuji. Kalau memang sudah jadi guru, kenapa mesti takut. Saya yang hanya berstatus honerer saja lebih antusias untuk ikut," ungkapnya.
Meskipun kesempatan meningkatkan kemampuan mengajar tentu akan lebih besar jika ia berada di kota karena ketersediaan akses dan fasilitas pengajaran yang lebih memadai, Nurmi tetap mengabdikan diri di desa. la mengakui bahwa kesanggupannya bertahan sebagai tenaga honorer adalah karena ia ingin dapat terus belajar.
"Mendidik itu memang tidak mudah. Sejauh ini, saya dapat bertahan karena keinginan untuk terus belajar. Yang lebih penting, saya merasa masih ada panggilan hati untuk terus memberi dengan jalan mengajar," ungkapnya.
Dengan keberadaan dua pasang anak dalam keluarganya, Nurmi terkadang berhadapan dengan situasi di mana urusan keluarga perlu diprioritaskan.
"Saya selalu berpikir, seandainya saya tidak hadir di sekolah, bagaimana nasib anak-anak. Tetapi, sering kali pula saya tidak bisa meninggalkan hal-hal yang berkaitan dengan keluarga dan sifatnya mendesak," kata Nurmi.
Menurut Nurmi, pendidikan saat ini dan di masa depan mestinya bisa terus membaik. la menegaskan bahwa para pendidik khususnya guru di sekolah wajib meningkatkan kemampuan mengajar. Menurutnya, seorang guru mestinya tidak hanya menjalankan tugas dengan mengajar di kelas. Lebih dari pada itu, guru harus bisa menjadi teman bagi murid-muridnya.
"Awali mendidik dengan hati, baru mau mengajar. Mulailah dengan niat ikhlas untuk memberi dan bermanfaat," pesan Nurmi.[]
(Dikisahkan oleh Hari Triwibowo, Pengajar Muda Dusun Tatibajo, Kabupaten Majene, Sulawesi barat dalam buku "Merajut Mimpi di Sudut Negeri)
Keterangan foto: Bu Guru Nurmi bersama murid-muridnya