"๐บ๐๐๐๐๐ ๐๐๐๐๐ ๐๐๐๐๐๐๐๐ ๐๐๐๐๐๐, ๐๐๐๐๐๐ ๐๐๐๐๐๐ ๐๐๐ ๐๐ ๐๐๐๐๐๐๐ ๐๐๐๐๐๐ ๐๐๐ ๐๐ ๐๐๐๐๐๐."
(Richard Buckminster Fuller)
Beberapa waktu menjelang tahun ajaran baru, para peneliti mendatangi sebuah sekolah dan menemui kepala sekolahnya.
Kepada kepala sekolah ditanyakan kelas manakah yang mendapat predikat 'merah'. Sang Kepala Sekolah mengantarkan mereka pada kelas di mana para siswanya adalah anak-anak yang tidak berprestasi serta dianggap sebagai 'anak sial'.
Pada tahun ajaran baru, telah direncanakan bahwa ada seorang guru baru yang akan mulai mengajar. Kepala Sekolah dan para peneliti telah sepakat untuk tidak memberitahukan pada guru baru tersebut, bahwa kelas yang diwariskan padanya adalah kelas terdungu di sekolah. Hal ini dilakukan agar para peneliti dapat menunjukkan ide di mana orang mampu mencapai apa pun juga - bila mereka mendapat dukungan yang baik.
Sang guru baru belum mengenal keadaan kelas yang akan diajarnya. Ketika pihak peneliti bertanya tentang cara pengajaran dan penyampaian materi, ia menjawab bahwa ia akan mengajar siswa-siswi barunya dengan sebaik-baiknya, tetapi tentunya untuk mencapai prestasi yang terbaik, semua bergantung pada siswa itu sendiri. Pihak peneliti kemudian meminta izin agar mereka dapat mengunjungi kelas tersebut sebanyak dua kali dalam setahun: enam bulan pertama dan pada akhir tahun pelajaran - untuk melihat perkembangan belajar para siswanya.
Setelah enam bulan, para peneliti kembali ke sekolah untuk melihat perkembangan kelas 'merah' tersebut. Hasilnya sungguh mengejutkan: mereka mendapat prestasi diatas atas rata-rata! Dan pada akhir tahun, para siswa tersebut meraih prestasi tertinggi di sekolah. Tidak hanya itu, para peneliti juga melihat terjadi perubahan besar dalam diri para siswanya, yang dibuktikan dengan cara mereka membawa diri, berbicara dengan sopan, menghormati guru
Kepala Sekolah juga merasa heran dan bertanya pada guru kelas apakah yang telah dilakukannya sehingga dapat meraih prestasi yang luar biasa. Guru itu berkata bahwa ini merupakan hal yang biasa bagi dirinya, sehingga ia tidak dapat melihat di mana letak keistimewaannya. la hanya melemparkan 'bumerang' tentang cara pengajaran, pendekatan kepada siswa, dan ternyata lemparan itu 'kembali' kepadanya dalam bentuk prestasi siswanya.
Kepala Sekolah bertanya apakah ia (guru tersebut) membaca tanda-tanda yang kurang baik dalam kelasnya, bahwa siswa-siswinya lebih lamban dari yang lain, kurang konsentrasi atau tanda-tanda yang biasanya tampak pada siswa yang mengalami kesulitan dalam belajar. Guru tersebut menjawab dengan mengatakan bahwa ia melihat tanda-tanda yang dimaksud, tetapi ia menganggap bahwa para siswanya adalah yang terbaik di sekolah dan ia mengabaikan perbedaan yang ada sebagai suatu 'kreativitas'. Salah satu alasan untuk mempercayai bahwa kelas yang ia tangani akan berprestasi dengan baik adalah berdasarkan dari perolehan nilai IQ yang pernah diberikan oleh kepala sekolah pada awal tahun ajaran.
"Nilai IQ yang mana?" tanya kepada sekolah keheranan
"Nilai yang dicetak pada kertas hijau yang pernah bapak berikan" jawab guru tersebut.
Dengan sangat terkejut, Kepala Sekolah itu menjawab, "Itu bukanlah nilai IQ mereka- itu adalah nomor loker mereka!"[]
"๐๐ข๐ญ๐ ๐ฌ๐๐ฆ๐ฎ๐ ๐ ๐๐ง๐ข๐ฎ๐ฌ, ๐ญ๐๐ญ๐๐ฉ๐ข ๐ฃ๐ข๐ค๐ ๐ค๐๐ฆ๐ฎ ๐ฆ๐๐ง๐ข๐ฅ๐๐ข ๐ฌ๐๐๐ค๐จ๐ซ ๐ข๐ค๐๐ง ๐๐๐ซ๐ข ๐ค๐๐ฆ๐๐ฆ๐ฉ๐ฎ๐๐ง๐ง๐ฒ๐ ๐ฆ๐๐ฆ๐๐ง๐ฃ๐๐ญ ๐ฉ๐จ๐ก๐จ๐ง, ๐ข๐ ๐๐ค๐๐ง ๐ฌ๐๐ฎ๐ฆ๐ฎ๐ซ ๐ก๐ข๐๐ฎ๐ฉ๐ง๐ฒ๐ ๐ฉ๐๐ซ๐๐๐ฒ๐ ๐๐๐ก๐ฐ๐ ๐ข๐ ๐๐จ๐๐จ๐ก."
(Albert Einstein)
Dari buku
"YOU CAN DO IT!"