Toko mainan itu lebih ramai dari biasanya. Barangkali karena saat ini sedang liburan anak sekolah.
Segera Tika lari mencari rak pajangan, begitu masuk sehingga aku harus segera mengejarnya kalau tidak ingin kehilangan jejak.
"Yah" suara bungsuku itu menghentikan langkahku.Aku menoleh dan tersenyum.
"Bagaimana?. Sudah kau dapatkan hadiahmu?" tanyaku. Dia ulurkan tangannya, yang sebelumnya tadi disembunyikan dibalik punggungnya.
"Ini dia...!" serunya sambil mengangkat sebuah boneka mungil yang lucu. "Willie dan Winnie pasti senang punya teman baru" tambahnya sambil melonjak kegirangan.
Hampir semua koleksi bonekanya dirumah seperti itu: rambut panjang ikal dan mengenakan mahkota. Rupanya Tika sangat menyukai koleksinya.
"Baiklah", kataku akhirnya. Tak ada salahnya dia menambah koleksinya.
Segera kami berjalan menuju kasir. Tak lama lagi hari gelap dan Ibunya Tika akan cemas kalau kami tidak ada di rumah saat makan malam.
Sambil menunggu giliran, Tika bergelayut di lenganku dan berputar-putar mengitari kakiku.
Saat itu, pandangan kami tertumbuk pada seorang pria dan anaknya. Mereka sedang berada di rak mainan tak jauh dari kami berdiri. Pria itu cukup tinggi mengenakan jaket usang, sedangkan anak laki-lakinya berkaus putih bergambar tokoh kartun. Dia tidak mengenakan sweater atau jaket, padahal saat ini curah hujan cukup tinggi.
Tampak bocah itu melonjak kegirangan melihat mainan sebuah robot.
Kami terus mengawasi mereka sambil menunggu antrean kasir yang makin maju.
Pria itu tersenyum, seraya mengambil mainan itu dan melihat label harganya. Mendadak senyumnya memudar. Lalu berjongkok disamping anaknya dan berbicara serius. Pria itu merogoh saku dan mengeluarkan dompet kulitnya. Setelah membuka dompetnya, si ayah itu menggelengkan kepala.
Mereka kemudian berpindah ke rak mainan lain, mungkin untuk mencari mainan yang harganya lebih terjangkau. Saat mereka lenyap dari pandangan kami, Tika menarik tanganku.
"Yah, boleh nggak Tika menukar boneka ini?" tanyanya pelan penuh harap.
"Tentu saja. Mau ditukar dengan yang mana?"
Tika menarik tanganku ke rak yang tadi dihampiri bocah laki-laki dan Ayahnya. Dia ambil robot mainan yang tadi dipilih anak tadi, kemudian menuju rak tempat boneka dan mengembalikan bonekanya.
"Kok robot?, bukankah kau tidak menyukai robot, sayang" protesku.
"Benar,Yah. Aku ingin menghadiahkan untuk anak laki-laki tadi. Sepertinya ia sangat menginginkannya"
"Tapi, perjanjian kita tadi kan hadiahmu hanya satu. Kalau kau memberikan itu berarti tidak mendapat hadiah ulang tahun"
Tika berpikir sejenak. "Yah, bukankah hadiah yang dipilih kan yang membahagiakan?" tanyanya lembut.
Aku mengangguk. "Ini membuatku bahagia, Yah" sahutnya kemudian.
"Baiklah" kataku akhirnya. Dengan gembira ia berlari ke kasir yang antriannya habis dan langsung aku membayar. Tika lalu membisikkan sesuatu pada sang kasir, yang segera membungkus mainan itu dan menyimpannya di bawah meja.
Tika mendesakku agar jangan pulang dulu. Kami berdiri didekat pintu, menunggu si bocah dan ayahnya melewati jalur keluar.
"Lihat, Yah" bisik Tika tertahan "anak itu tidak jadi membeli mainan satupun. Wajahnya terlihat sedih"
Berdua mereka menuju pintu keluar.
Sang kasir sudah menunggu didepan pintu dan, kurang beberapa langkah lagi dari sana, ia berseru, "Selamat! Kamu terpilih menerima hadiah ini!"
Anak laki-laki itu kaget. Ayahnya pun terkejut. Kasir menerangkan bahwa mereka terpilih sebagai pengunjung ke tiga puluh lima dan berhak menerima 'door prize' ini, barulah ayahnya memperbolehkan menerimanya.
Tika tersenyum melihat anak itu membuka kertas kado dengan penasaran. Dengan gemetar, ia mengangkat robot mainan yang tadi tidak jadi dibeli dan menunjukkan kepada ayahnya. Ekspresi yang sama juga tergambar pada wajah ayahnya.
"Kau beruntung Nak" katanya lembut.
"Aku senang sekali Pak" sorak anak itu. Ia mengangguk kepada kasir "Terimakasih mbak. Ini hadiah paling indah yang pernah ku terima"
Sambil menggandeng tangan ayahnya, bocah itu melangkah ke pintu keluar. Langkah gontai itu sudah berganti lompatan riang, namun Tika justru melihat anak itu separuh berjalan dan separuh terbang -- sama seperti yang kini dirasakannya.
"Sayang, tadi itu kebaikan yang luar biasa" kataku kagum, menatap putri kecilku yang duduk santai di sebelahku. "Benarkah kau tidak menyesal sama sekali?" godaku sambil menyalakan mesin mobil.
"Tidak" sahutnya sambil menggeleng mantap. Ia menoleh keluar jendela, melihat sepasang ayah-anak yang berjalan sambil tersenyum dan tertawa.
"Aku benar-benar bahagia bisa melakukan itu untuknya"
"Kamu sungguh-sungguh memberi ketika kamu memberi dirimu sendiri"
(Kahlil Gibran)
ditulis kembali dengan beberapa perubahan dari buku
A CHAPTER OF KINDNESS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar