Setelah mengikuti serangkaian pelatihan yang melelahkan akhirnya Farah dinyatakan lulus sebagai Pramugari junior sebuah maskapai penerbangan nasional. Dia lalu mengenal Sheila, seorang Pramugari Senior yang banyak membantunya dengan pengalamannya selama 9 tahun menjadi pramugari.
Adalah Johan, seorang pilot yang sudah bisa menerbangkan pesawat Boeing 737 di maskapai penerbangan yang sama dan mereka mengenalnya dengan baik. Dengan usia yang 25 tahun Johan menikmati dunianya seperti rajawali yang terbang dari pulau ke pulau menikmati tugas dan eksotisnya tanah air.
Dalam sebuah penerbangan yang melelahkan ke wilayah Indonesia Timur, Shella, Farah, dan Johan dipertemukan oleh nasib. Mereka ditakdirkan berjodoh oleh Tuhan. Tiga hari rotasi terbang menumbuhkan saling pengertian yang mendalam antara Johan, Farah, dan Shella. Johan mulai memahami apa yang selama ini terjadi. la mulai sadar bahwa, perlakuan istimewa Shella dan Farah, memiliki maksud dan tujuan tertentu. Johan bingung, ia tak ingin menyakiti salah satu dari kedua wanita istimewa itu. Sebagai sesama wanita, Shella dan Farah pun sangat paham akan perasaan masing-masing kepada Johan. Anehnya, mereka justru dapat membangun sebuah persahabatan yang tulus, berangkat dari rasa empati antara satu dengan lainnya. Bagi Farah, Shella adalah sosok kakak yang selama ini tak dimilikinya. Bagi Shella, Farah adalah seorang adik yang cerdas dan "bandel" yang perlu "diemonginya".
Tak terasa 4 tahun berlalu sudah. Johan, Farah, dan Shella, beranjak semakin dewasa, terutama Shella. Saat-saat manis bersama sudah mulai disongsong oleh datangnya senja kedewasaan. Shella membuat keputusan luar biasa, pada usia pertengahan tigapuluh ia memutuskan untuk menikah dengan seseorang yang baru saja dikenalnya. Seorang pria dengan latar belakang yang nyaris tak diketahuinya. Pria itu datang begitu saja, hadir dalam kehidupannya, dan Shella menjadikan dia sebagai jalan keluar. Shella ingin memberikan yang terbaik bagi Farah dan Johan. Shella ingin mengorbankan hatinya demi cinta. Bukankah cinta yang terindah adalah cinta yang bersifat memberi? Begitu pikirnya.
Ternyata, cerita belum berhenti, Johan dan Farah sepakat bahwa Shella harus mendapat kesempatan. Bukankah memberi jalan bagi sebuah proses cinta adalah bagian dari cinta itu sendiri? Farah merelakan jika Shella lebih berjodoh dengan Johan. Kerelaan Farah nyaris serupa dengan keikhlasan Shella, hanya saja Farah tidak mengorbankan dirinya, ia menyadari bahwa ruang berbagi dalam hatinya masih mencukupi. Farah merasa masih mencintai dirinya sendiri jauh melebihi apapun dalam kehidupannya. Baginya, Johan adalah bunga-bunga kehidupan, sebagaimana mimpi adalah bunga-bunga tidur.
Johan dan Farah menyampaikan keputusan tersebut kepada Shella 3 hari sebelum pernikahannya. Shella meminta waktu mempertimbangkannya. Johan dan Farah, yang ketika itu menjalani tugas terbang dengan rute panjang, berharap cemas sebuah jawaban, sebuah kepastian.
Larut malam sebelum hari pernikahannya, Shella menelepon Farah dan menyatakan kesediaannya untuk dipersunting Johan, serta menggagalkan rencana pernikahannya.
"𝑲𝒖𝒕𝒖𝒏𝒈𝒈𝒖 𝒌𝒂𝒍𝒊𝒂𝒏 𝒃𝒆𝒓𝒅𝒖𝒂 𝒃𝒂𝒏𝒅𝒂𝒓𝒂 𝒆𝒔𝒐𝒌 𝒑𝒂𝒈𝒊 𝒑𝒖𝒌𝒖𝒍 𝟏𝟎, 𝒔𝒂𝒂𝒕 𝒌𝒊𝒕𝒂 𝒃𝒆𝒓𝒕𝒊𝒈𝒂 𝒃𝒆𝒓𝒋𝒖𝒎𝒑𝒂 𝒑𝒆𝒓𝒕𝒂𝒎𝒂" ungkap Shella dengan suara bergetar.
Namun, takdir berbicara lain, pada 09.47 WIB terjadi kecelakaan pesawat yang merenggut jiwa dua orang air crew, first officer, Johan dan Farah. Shella termangu, perlahan air matanya membulir lalu menetes dalam hunjaman sembilu rasa kehilangan yang menyakitkan, namun, secara ironis, terselip rasa bahagia di dalamnya, luruh bersama derai-derai air mata yang terus memburai.
Mengapa rasa bahagia itu muncul pada saat yang tidak tepat? Di bawah langit kelabu dengan sederet awan, hanya Shella yang tahu betapa Tuhan telah memberinya 30 detik paling berharga dalam hidupnya. Tiga puluh detik ketika ia menyatakan "ya". Tiga puluh detik yang menggagalkannya untuk mengkhianati cinta. Tiga puluh detik yang menyadarkan ia akan arti penting memaknai cinta apa adanya, bukan karena "mengapa", "siapa", dan "aku", "kamu", serta "dia". Itulah saat termanis dalam lembar hidupnya.[]
𝐂𝐢𝐧𝐭𝐚 𝐭𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐡𝐚𝐫𝐮𝐬 𝐭𝐞𝐫𝐚𝐛𝐚, 𝐭𝐞𝐫𝐮𝐤𝐮𝐫, 𝐝𝐚𝐧 𝐭𝐞𝐫𝐛𝐚𝐥𝐚𝐬.𝐌𝐞𝐧𝐜𝐢𝐧𝐭𝐚𝐢 𝐚𝐝𝐚𝐥𝐚𝐡 𝐩𝐫𝐨𝐬𝐞𝐬 𝐛𝐞𝐥𝐚𝐣𝐚𝐫 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐦𝐞𝐦𝐚𝐡𝐚𝐦𝐢 𝐝𝐢𝐫𝐢 𝐬𝐞𝐧𝐝𝐢𝐫𝐢. 𝐌𝐞𝐧𝐠𝐞𝐧𝐚𝐥 𝐚𝐫𝐭𝐢 𝐤𝐞𝐜𝐞𝐰𝐚, 𝐬𝐞𝐝𝐢𝐡, 𝐝𝐚𝐧 𝐡𝐚𝐫𝐚𝐩𝐚𝐧 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐭𝐚𝐤 𝐭𝐞𝐫𝐰𝐮𝐣𝐮𝐝𝐤𝐚𝐧. 𝐊𝐚𝐫𝐞𝐧𝐚 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐜𝐢𝐧𝐭𝐚𝐥𝐚𝐡 𝐬𝐢𝐫𝐧𝐚 𝐬𝐞𝐦𝐮𝐚 𝐮𝐤𝐮𝐫𝐚𝐧. 𝐉𝐢𝐤𝐚 𝐤𝐢𝐭𝐚 𝐬𝐮𝐧𝐠𝐠𝐮𝐡-𝐬𝐮𝐧𝐠𝐠𝐮𝐡 𝐦𝐞𝐧𝐜𝐢𝐧𝐭𝐚𝐢 𝐬𝐞𝐬𝐮𝐚𝐭𝐮, 𝐤𝐢𝐭𝐚 𝐭𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐤𝐞𝐜𝐞𝐰𝐚 𝐤𝐞𝐭𝐢𝐤𝐚 𝐧𝐚𝐬𝐢𝐛 𝐭𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐦𝐞𝐦𝐩𝐞𝐫𝐭𝐞𝐦𝐮𝐤𝐚𝐧𝐧𝐲𝐚 𝐝𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐬𝐞𝐛𝐮𝐚𝐡 𝐫𝐮𝐚𝐧𝐠 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐬𝐚𝐦𝐚. 𝐊𝐢𝐭𝐚 𝐭𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐬𝐞𝐝𝐢𝐡 𝐤𝐞𝐭𝐢𝐤𝐚 𝐜𝐢𝐧𝐭𝐚 𝐭𝐞𝐫𝐣𝐞𝐛𝐚𝐤 𝐝𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐝𝐢𝐦𝐞𝐧𝐬𝐢 𝐛𝐚𝐡𝐚𝐬𝐚 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐛𝐞𝐫𝐛𝐞𝐝𝐚. 𝐊𝐢𝐭𝐚 𝐩𝐮𝐧 𝐭𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐩𝐮𝐭𝐮𝐬 𝐡𝐚𝐫𝐚𝐩𝐚𝐧 𝐤𝐞𝐭𝐢𝐤𝐚 𝐜𝐢𝐧𝐭𝐚 𝐛𝐞𝐫𝐬𝐞𝐛𝐞𝐫𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐣𝐚𝐥𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐧 𝐩𝐞𝐦𝐚𝐡𝐚𝐦𝐚𝐧. 𝐌𝐞𝐧𝐜𝐢𝐧𝐭𝐚𝐢 𝐚𝐝𝐚𝐥𝐚𝐡 𝐬𝐞𝐛𝐮𝐚𝐡 𝐩𝐫𝐨𝐬𝐞𝐬 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐬𝐮𝐝𝐚𝐡 𝐬𝐞𝐡𝐚𝐫𝐮𝐬𝐧𝐲𝐚 𝐛𝐞𝐠𝐢𝐭𝐮, 𝐚𝐩𝐚 𝐚𝐝𝐚𝐧𝐲𝐚.
𝐌𝐞𝐧𝐠𝐚𝐩𝐚 𝐤𝐢𝐭𝐚 𝐦𝐞𝐧𝐝𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚 𝐤𝐚𝐫𝐞𝐧𝐚 𝐜𝐢𝐧𝐭𝐚?
𝐊𝐚𝐫𝐞𝐧𝐚 𝐤𝐢𝐭𝐚 𝐬𝐞𝐧𝐝𝐢𝐫𝐢 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐦𝐞𝐧𝐝𝐞𝐟𝐢𝐧𝐢𝐬𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐦𝐚𝐤𝐧𝐚 𝐜𝐢𝐧𝐭𝐚 𝐛𝐞𝐬𝐞𝐫𝐭𝐚 𝐬𝐞𝐥𝐮𝐫𝐮𝐡 𝐝𝐚𝐦𝐩𝐚𝐤𝐧𝐲𝐚. 𝐉𝐢𝐤𝐚 𝐤𝐢𝐭𝐚 𝐦𝐞𝐧𝐲𝐚𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐛𝐚𝐡𝐰𝐚 𝐜𝐢𝐧𝐭𝐚 𝐛𝐮𝐤𝐚𝐧 𝐦𝐢𝐥𝐢𝐤 𝐬𝐢𝐚𝐩𝐚-𝐬𝐢𝐚𝐩𝐚, 𝐦𝐚𝐤𝐚 𝐜𝐢𝐧𝐭𝐚 𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐬𝐞𝐫𝐢𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐤𝐚𝐩𝐚𝐬 𝐝𝐚𝐧 𝐬𝐞𝐡𝐚𝐧𝐠𝐚𝐭 𝐭𝐞𝐡 𝐩𝐚𝐝𝐚 𝐬𝐞𝐧𝐣𝐚 𝐡𝐚𝐫𝐢.
Dari buku
LOVE OVERALL
Mengembara di Dunia Cinta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar