"πΉπππ πππ π’πππ ππππ ππππππππ πππππ πππππππ, ππππ ππππ πππππ πππππππ πππππ ππππ’ππππ πππ-πππ π’πππ ππππππ πππππππ,”
(Anonim)
Sore menjelang magrib itu, Awang terlihat murung. Hujan turun sangat sebentar. Hanya cukup membasahi jalanan kota yang berdebu dan lumayan bikin kotor pejalan kaki yang bersandal jepit. la pun belum sempat menggigil seperti hari-hari sebelumnya setelah beberapa jam menawarkan jasa payung kepada pejalan kaki yang membutuhkannya. Ya, Awang memang pengojek payung. Kegemarannya setiap hari adalah menatap langit. Mendung adalah senyumnya, terik matahari akan membuatnya murung.
Awang tidak sendirian. Belasan anak di sekitar Pasar Ciputat punya hobi yang sama; menatap langit dan kalau perlu ribuan kali meminta kepada Sang Pemilik hujan agar hari itu hujan diturunkan. "Kalau perlu hujan jangan berhenti seharian, biar uang yang Awang dapat lebih banyak. Pasti ibuku senang," ujar Awang polos.
Bocah berusia 9 tahun itu bahkan tahu waktu-waktunya hujan turun, termasuk di bulan apa biasanya curah hujan lebih besar dan lebih lama. Desember dan Januari adalah bulan panen baginya. Maka tak heran, jauh-jauh hari ia sudah meminta dibelikan payung oleh ibunya. Dan dengan hati sang Ibu akan menuruti keinginannya, karena dengan payung itu belanja ibunya akan bertambah sekurangnya 20 ribu rupiah tiap harinya.
Kebalikan dengan Awang, masyarakat kebanyakan di ibu kota dan berbagai daerah rawan bencana lainnya di tanah air berharap hujan jangan turun, kalaupun turun hanya sekelebatan saja, sekadar membasahi jalan. Atau gerimis saja bolehlah. Maklum, hujan berkepanjangan sama dengan bencana. Hujan deras terus-menerus membuat masyarakat panik. Dan doa yang dipanjatkan adalah "Ya Allah, jangan biarkan bencana menimpa kami".
Bagi Awang, hujan adalah rezeki. Jangan salahkan Awang yang terus berdoa agar Allah menurunkan hut. Karena di masa lalu pun hujan deras tak pernah ditakuti, hujan seharian tak menimbulkan kepanikan. Jika saat ini hujan justru berakibat bencana, jelas harus ada yang bertanggung jawab. Dan yang pasti bukan Awang.
Bocah berbadan kurus itu tersenyum lebar. Hujan lebat turun kembali, payungnya pun mengembang sudah. Kaki kecilnya mengibas jalan berair dan siap mengais rezeki. Yang pasti, ia begitu sumringah, tak peduli banyak orang selainnya yang ketakutan. []
Dari buku
"Berguru pada Kehidupan" Menuntun Anda untuk Hidup Bahagia dan Bermakna"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar