"𝙰𝚍𝚊 𝚍𝚞𝚊 𝚙𝚒𝚕𝚒𝚑𝚊𝚗 𝚑𝚒𝚍𝚞𝚙 𝚍𝚒 𝚙𝚊𝚐𝚒 𝚑𝚊𝚛𝚒, 𝚔𝚎𝚖𝚋𝚊𝚕𝚒 𝚝𝚒𝚍𝚞𝚛 𝚞𝚗𝚝𝚞𝚔 𝚖𝚎𝚕𝚊𝚗𝚓𝚞𝚝𝚔𝚊𝚗 𝚖𝚒𝚖𝚙𝚒 𝚊𝚝𝚊𝚞 𝚋𝚊𝚗𝚐𝚞𝚗 𝚝𝚒𝚍𝚞𝚛 𝚞𝚗𝚝𝚞𝚔 𝚖𝚎𝚠𝚞𝚓𝚞𝚍𝚔𝚊𝚗 𝚖𝚒𝚖𝚙𝚒."
Namanya Diding,
Sahabat saya ini jarang sekali memberikan uang receh kepada pengemis. Padahal perkiraan saya gajinya dua kali gaji saya.
Tapi rupanya anggapan saya ini gugur saat kami berteduh dari hujan di Pasar Minggu...
Seorang ibu setengah baya sambil menggendong anaknya menghampiri kami seraya menengadahkan tangan. Tangan saya yang sudah berancang-ancang mengeluarkan receh ditahannya. Kemudian Diding mengeluarkan dua lembar uang dari sakunya, satu lembar seribu rupiah, satu lembar lagi seratus ribu rupiah. Sementara si ibu tadi ternganga entah apa yang ada di pikirannya sambil memerhatikan dua lembar uang itu.
"Ibu kalau saya kasih pilihan, mau pilih yang mana, yang seribu rupiah atau yang seratus ribu?" tanya Diding.
Sudah barang tentu, siapa pun orangnya pasti akan memilih yang lebih besar. Termasuk ibu tadi yang serta merta menunjuk uang seratus ribu.
"Kalau ibu pilih yang seribu rupiah, tidak harus dikembalikan. Tapi kalau ibu pilih yang seratus ribu, saya tidak memberikannya secara cuma-cuma. Ibu harus mengembalikannya dalam waktu yang kita tentukan, bagaimana?" terang Diding.
Perlu waktu yang agak lama, sebelum ibu itu menjawabnya. Terlihat ia masih tampak bingung dengan maksud sahabat saya itu. "Maksudnya ... yang seratus ribu itu hanya pinjaman?" tanya ibu.
"Betul bu, itu hanya pinjaman. Maksud saya begini, kalau saya berikan seribu rupiah ini untuk ibu,paling lama satu jam mungkin sudah habis. Tapi saya akan meminjamkan uang seratus ribu ini untuk ibu agar esok hari dan seterusnya ibu tak perlu meminta-minta lagi," katanya.
Selanjutnya Diding menjelaskan bahwa ia lebih baik memberikan pinjaman uang untuk modal bagi seseorang agar terlepas dari kebiasaannya meminta-minta. Seperti ibu itu, yang ternyata memiliki kemampuan membuat gado-gado. Di rumahnya ia masih memiliki beberapa perangkat untuk berjualan gado-gado, seperti cobek, piring, gelas, meja, dan lain-lain.
Setelah mencapai kesepakatan, akhirnya kami bersama-sama ke rumah ibu tadi yang tidak terlalu jauh dari tempat kami berteduh. Hujan sudah reda, dan kami mendapati lingkungan rumahnya yang lumayan ramai. Cocok untuk berdagang gado-gado, pikirku.
Mereka sepakat dan sang ibu itu pun mulai berdagang.
Diding sering menyempatkan diri untuk mengunjungi penjual gado-gado itu. Selain untuk mengisi perutnya-dengan tetap membayar-ia juga berkesempatan untuk memberikan masukan bagi kelancaran usaha ibu penjual gado-gado itu.
Belum tiga bulan dari waktu yang disepakati untuk mengembalikan uang pinjaman itu. Dengan air mata yang tak bisa lagi tertahan, ibu penjual gado-gado itu mengembalikan uang pinjaman itu ke Diding. "Terima kasih, Nak. Kamu telah mengangkat ibu menjadi orang yang lebih terhormat."
Diding mengaku selalu menitikkan air mata jika mendapati orang yang dibantunya sukses. Meski tak jarang ia harus kehilangan uang itu karena orang yang dibantunya gagal atau tak bertanggung jawab. Menurutnya, itu sudah risiko. Tapi setidaknya, setelah ibu penjual gado-gado itu mengembalikan uang pinjamannya, berarti akan ada satu orang lagi yang bisa ia bantu. Dan akan ada satu lagi yang berhenti meminta-minta.
Ding, inginnya saya menirumu. Semoga bisa ya.[]
"𝘑𝘪𝘬𝘢 𝘱𝘪𝘬𝘪𝘳𝘢𝘯𝘮𝘶 𝘭𝘦𝘮𝘢𝘩, 𝘴𝘪𝘵𝘶𝘢𝘴𝘪 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘮𝘢𝘴𝘢𝘭𝘢𝘩. 𝘑𝘪𝘬𝘢 𝘱𝘪𝘬𝘪𝘳𝘢𝘯𝘮𝘶 𝘤𝘶𝘬𝘶𝘱 𝘬𝘶𝘢𝘵, 𝘴𝘪𝘵𝘶𝘢𝘴𝘪 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘵𝘢𝘯𝘵𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯. 𝘑𝘪𝘬𝘢 𝘱𝘪𝘬𝘪𝘳𝘢𝘯𝘮𝘶 𝘬𝘶𝘢𝘵, 𝘴𝘪𝘵𝘶𝘢𝘴𝘪 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘱𝘦𝘭𝘶𝘢𝘯𝘨."
Dari buku
"BERGURU PADA KEHIDUPAN" Menuntun Anda untuk Hidup Bahagia dan Bermakna
Tidak ada komentar:
Posting Komentar