TIDAK MENJADI DOKTER
"Teringat pembicaraanku dengan anakku yang kedua (lan) saat ia hendak naik ke kelas 2 SMA, enam tahun yang lalu, yakni ketika momen makan malam bersama di rumah. lan berkata, 'Bapak, maaf, lan izin. Kalau boleh, lan mau keluar dari SMA 5 setelah kenaikan kelas.' Makanan di mulutku seketika terasa hambar, dan kerongkongan pun terasa kelu untuk menelan.
'Maksudmu apa?'
'lan ingin sekolah di Madinah. lan ingin menjadi ustadz,' jawab lan tanpa ragu. Refleks, buru-buru kutelan makanan di mulut dan meminum banyak air.
'Kamu mau jadi ustadz, siapa yang mengajak?' tanyaku dengan nada menginterogasi.
'Enggak ada, lan sendiri yang ingin,' jawab lan.
'Apa kamu enggak ingin menjadi dokter? Kan, kamu anak pintar, lembut, budi bahasamu baik, ramah dengan orang lain, dan bisa melayani orang lain seperti Mas kamu,' ucapku heran.
Seraya tersenyum, lan menjawab, 'Kan, lan dan Mas enggak sama, Pak. Seperti kata Bapak, semua manusia itu unik dan istimewa.'
𝑾𝒖𝒊𝒉, 𝒎𝒂𝒌 𝒋𝒍𝒆𝒃, tak kusangka omonganku dipakai untuk mematahkan diriku sendiri. Cerdas tetapi membuat hati 𝒎𝒂𝒏𝒈𝒌𝒆𝒍.
'Kalau kamu jadi dokter, pasti akan sangat berguna dan bermanfaat untuk menyembuhkan banyak orang,' bujukku.
'Dokter menyembuhkan badan, tetapi ustadz menyembuhkan hati. Jadi, insya Allah, bermanfaat,' jawab lan.
𝑷𝒓𝒂𝒂𝒂𝒏𝒈! Hatiku pecah hingga berkeping-keping. Air mata pun mulai menetes. 𝑵𝒆𝒍𝒐𝒏𝒈𝒔𝒐, anakku tidak berhasrat menjadi dokter, mengikuti jejakku. Aku kembali menjelaskan kepada lan, "Sulit, lho, sekolah di Arab. Bahasa dan budaya kita berbeda. Panasnya pun luar biasa.'
'Bapak, kan, yang mengajarkan bahwa tidak ada yang tidak bisa kalau niat sudah menggelora,' tepis lan dengan lembut. 𝑴𝒃𝒓𝒆𝒃𝒆𝒔 𝒎𝒊𝒍𝒊 𝒃𝒖𝒂𝒏𝒕𝒆𝒓.
'Nanti, kalau jadi ustadz, penghasilanmu berapa? Sedikit sekali," ucapku dengan nada meninggi, "bagaimana kamu bisa membiayai kehidupan istri dan anakmu nanti?"
lan pun balik bertanya, 'Bukankah Bapak yang mengajari kami untuk hidup mandiri, secukupnya, sebutuhnya, dan bahagia tidak ada korelasi dengan harta?'
Aku menangis pelan seraya bertanya, 'Kalau begitu,apalagi alasanku agar kamu menjadi dokter, ya, lan?
Dengan sabar, lan menjawab, 'Ikhlaskan lan menjadi diri lan sendiri, ya, Pak. Ini pilihan hidup lan." Aku tak tahan, aku 𝒏𝒂𝒏𝒈𝒊𝒔 𝒃𝒂𝒏𝒕𝒆𝒓.
Aku mau kamu tetap di SMALA (SMA 5) sampai lulus. Begini saja, kita buat perjanjian. Kalau kamu sudah lulus SMA dengan nilai baik, kamu berhak menentukan ke mana pun kamu mau' ujarku.
𝑾𝒊𝒔 𝒆𝒏𝒈𝒈𝒂𝒌 𝒅𝒖𝒘𝒆 𝒑𝒊𝒍𝒊𝒉𝒂𝒏 𝒍𝒊𝒚𝒐, tetapi berharap bisa mengubah niat anakku. lan perlahan memeluk dan mencium pipiku sambil ikut menangis. Kemudian, ia berkata, 'Asalkan Bapak ikhlas dengan pilihan lan, lan tetap di SMALA hingga lulus dengan baik. 𝑴𝒂𝒕𝒖𝒓𝒏𝒖𝒘𝒖𝒏 𝒑𝒂𝒏𝒈𝒆𝒔𝒕𝒖𝒏𝒚𝒂, Pak.'
Waktu pun berlalu. Saat ini, lan baru pulang dari Madinah. la telah menjadi lelaki besar, tegap, gagah, dan telah menghafal Al-Qur'an 27 juz. la sudah beberapa kali menjadi imam pada banyak masjid, mengisi khutbah Jum at, mengimami shalat Tarawih, memberi tausiyah saat buka puasa bersama, dan lain-lain.
Setiap kali, aku melihat lan menjadi imam, air mataku selalu tak terbendung. lan telah menyadarkanku akan pengetahuan dan amalan agamaku yang masih kurang. Allah SWT telah mengutus lan untuk mengingatkanku tentang hal ini."
( 𝑲𝒊𝒔𝒂𝒉 𝒅𝒊𝒂𝒕𝒂𝒔 𝒅𝒊𝒄𝒆𝒓𝒊𝒕𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒐𝒍𝒆𝒉 𝒅𝒓.𝑨𝒓𝒎𝒂𝒏𝒕𝒐 𝑺𝒊𝒅𝒐𝒉𝒖𝒕𝒐𝒎𝒐, 𝒂𝒚𝒂𝒉𝒏𝒅𝒂 𝑰𝒂𝒏. 𝒅𝒓.𝑨𝒓𝒎𝒂𝒏𝒕𝒐 𝒂𝒅𝒂𝒍𝒂𝒉 𝒑𝒖𝒕𝒓𝒂 𝒔𝒖𝒍𝒖𝒏𝒈 𝒅𝒓.𝑺𝒐𝒆𝒅𝒐𝒌𝒐 𝑺𝒊𝒅𝒐𝒉𝒖𝒕𝒐𝒎𝒐 𝑺𝒑.𝑷.𝑨 𝒅𝒂𝒏 𝑷𝒓𝒐𝒇.𝒅𝒓. 𝑹𝒐𝒆𝒎𝒘𝒆𝒓𝒅𝒊𝒏𝒊𝒂𝒅𝒊. 𝑺𝒆𝒍𝒂𝒊𝒏 𝒃𝒆𝒓𝒑𝒓𝒂𝒌𝒕𝒆𝒌 𝒔𝒆𝒃𝒂𝒈𝒂𝒊 𝒅𝒐𝒌𝒕𝒆𝒓, 𝒅𝒓.𝑺𝒐𝒆𝒅𝒐𝒌𝒐 𝒑𝒆𝒓𝒏𝒂𝒉 𝒎𝒆𝒏𝒋𝒂𝒃𝒂𝒕 𝒔𝒆𝒃𝒂𝒈𝒂𝒊 𝑷𝒆𝒎𝒃𝒂𝒏𝒕𝒖 𝑹𝒆𝒌𝒕𝒐𝒓 𝑰𝑰 𝑼𝒏𝒊𝒗𝒆𝒓𝒔𝒊𝒕𝒂𝒔 𝑨𝒊𝒓𝒍𝒂𝒏𝒈𝒈𝒂, 𝑺𝒖𝒓𝒂𝒃𝒂𝒚𝒂 )
Dari buku
"DARI KUNTUM MENJADI BUNGA"
Keterangan foto: dr.Armanto Sidohutomo dan putranya Ardantyo Sidohutomo (Ian)