Budi memilih beristirahat diruang pantry yang suasananya lebih tenang.
Ada kesedihan diwajahnya sehubungan dengan pengumuman yang membuat dirinya mengurai kembali perjalanan kerjanya selama sebelas tahun sebagai office boy.
Selama ini Budi selalu melakukan pekerjaannya dengan sebaik mungkin. Datang lebih awal dari jadwal rutinnya, membersihkan lebih banyak dari yang menjadi kewenangannya. Kadang berinisiatif menata ruangan atau memperbaiki peralatan yang rusak. Tak jarang pula menerima perintah kesana-kemari - yang sebenarnya bukan bagiannya - namun Budi melakukannya dengan sukacita.
"Kenapa harus berlebihan seperti itu?" tanya seorang temannya.
Jawab Budi " Aku senang melakukannya"
Sejak awal masuk perusahaan ini, dia sadar hanya mendapat gaji bulanan yang jumlahnya tidak seberapa. Hal itu dijelaskan oleh manajer personalia. Dua hari setelah bekerja disana, Budi berniat mengundurkan diri, karena seorang temannya menawarkan pekerjaan dengan gaji yang lebih tinggi. Namun saat makan siang baru saja mulai dan direkturnya, Pak Darmawan memberinya tugas, Budi langsung merasa ia harus bertahan di tempat itu.
"Kenapa?"
"Kawan, ijazahku memang rendah, tapi aku tahu arti dari bekerja. Ditempatmu orang dibayar mahal sebagai pekerja. Tapi disini, aku dibayar sebagai seorang manusia" Budi jelaskan alasannya.
Dengan demikian Budi harus sadar dengan risiko yang diterimanya dengan tetap bekerja di perusahaan ini. Adalah karena sikap yang diberikan pak Darmawan yang membuat dia nyaman dan bertahan di perusahaan ini.
Sampai kemudian datanglah berita yang cukup mengejutkan itu. Pak Darmawan memutuskan untuk pensiun mulai bulan depan.
Tak hanya Budi, kawan-kawan yang lain nampaknya akan merasa kehilangan. Saat dia bekerja mengepel lantai tadi mendengar mereka berbicara mengenai pemberian kenang-kenangan untuk Atasannya itu.
Budi juga ingin memberikan sesuatu yang berkesan tapi sadar akan keterbatasannya. Temannya sudah mulai mengumpulkan uang untuk memberikan hadiah kepada pak Darmawan.
Tibalah saat perpisahan itu
Mereka berkumpul di aula. Pak Darmawan lalu berbagi pengalaman selama memimpin perusahaan ini dan memberikan kesan dan pesan kepada seluruh karyawannya. Setelah itu mereka memberikan tanda mata yang diterima dengan sukacita.
Tiba-tiba pintu ruangan terbuka dan muncul Budi yang berpakaian lebih rapi dari biasanya. Dia katakan ingin juga memberikan kenang-kenangan, dan pak Darmawan menyilakannya.
Budi kemudian mengeluarkan lipatan kertas dari saku bajunya. Nampaknya dia semalam menulis meski sebenarnya dia tidak pandai menulis.
"Mohon maaf sebelumnya, saya hanya bisa memberikan ungkapan ini"
Dengan gemetar ia mulai membaca:
"Pak Darmawan yang terhormat, terima kasih Anda telah mengucapkan 'tolong' setiap kali Anda meminta mengerjakan sesuatu yang sebenarnya adalah tugas saya. Terima kasih Anda telah mengucapkan 'maaf' saat menegur saya untuk mengingatkan dan berusaha memberitahu kesalahan yang saya lakukan, semata-mata karena ingin saya mengubah kesalahan menjadi kebaikan. Terimakasih Anda telah mengucapkan 'Terima kasih' atas setiap hal kecil yang saya kerjakan untuk Anda.
Terimakasih atas semua penghargaan yang Anda berikan pada orang kecil seperti saya, sehingga saya bisa menjalankan tugas dengan percaya diri, tanpa merasa rendah atau kecil. Hanya ini yang bisa saya berikan untuk membalas semua kebaikan Anda yang begitu besar kepada saya. Maafkan saya.Semoga Tuhan senantiasa menyertai Anda. Saya mendoakan selalu"
Aula besar itupun hening seketika. Pak Darmawan merasakan butir-butir bening mengalir dari sudut matanya. Siapapun tak menyangka, bahwa "hadiah" yang diberikan Budi lebih bisa membuatnya tersentuh dan terharu. Pak Darmawan pun tidak menyangka bahwa sikap dan ucapannya selama ini -- yang menurutnya sederhana dan biasa-biasa saja -- ternyata mampu memberi nilai bagi karyawan seperti Budi...[]
Disederhanakan dan disesuaikan dari buku
A CHAPTER OF KINDNESS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar