Sabtu, 06 Mei 2023

SANDAL JAPIT AMINA

 

"𝑩𝒆𝒍𝒖𝒎 𝒂𝒅𝒂 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒆𝒏𝒚𝒂𝒅𝒂𝒓𝒊 𝒌𝒆𝒌𝒂𝒚𝒂𝒂𝒏 𝒔𝒊𝒎𝒑𝒂𝒕𝒊, 𝒌𝒆𝒃𝒂𝒊𝒌𝒂𝒏 𝒅𝒂𝒏 𝒌𝒆𝒎𝒖𝒓𝒂𝒉𝒂𝒏 𝒉𝒂𝒕𝒊 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒕𝒆𝒓𝒔𝒆𝒎𝒃𝒖𝒏𝒚𝒊 𝒅𝒂𝒍𝒂𝒎 𝒋𝒊𝒘𝒂 𝒔𝒆𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒂𝒏𝒂𝒌. 𝑼𝒑𝒂𝒚𝒂 𝒅𝒂𝒓𝒊 𝒔𝒆𝒕𝒊𝒂𝒑 𝒑𝒆𝒏𝒅𝒊𝒅𝒊𝒌𝒂𝒏 𝒔𝒆𝒋𝒂𝒕𝒊 𝒉𝒂𝒓𝒖𝒔𝒍𝒂𝒉 𝒎𝒆𝒎𝒃𝒖𝒌𝒂 𝒉𝒂𝒓𝒕𝒂 𝒌𝒂𝒓𝒖𝒏 𝒊𝒕𝒖."

(Emma Goldman)


Adalah gadis kecil bernama Amina. Dia siswa kelas 4 SD di sekolah tempatku mengajar. Amina memiliki rambut yang bergelombang dan berwarna kekuningan karena sering terpapar panas matahari. Rambut panjangnya yang terurai menutup hingga separuh bahunya itu jarang sekali dikucirnya dan selalu terlihat basah, meski sudah siang terik sekalipun. Kiranya dia lumuri dulu dengan minyak kelapa sebelum berangkat ke sekolah. Kulitnya gelap, tapi tak hitam. Wajahnya bulat dengan pipi gembung sehingga terlihat sangat lucu ketika tertawa. Postur Amina tidaklah berbeda dengan teman-teman sebayanya. Tingginya seperutku. Badannya tidak lebih gemuk dibanding anak seusianya.

Suatu siang yang terik, hawa panas mengisi ruangan 4x6 meter dimana aku mengajar. Ada yang berbeda pada siang ini. Ya, Amina tidak terlihat dari tadi pagi. Aku sudah berusaha mencari dan bertanya ke teman-temannya, tidak ada yang tahu. Setelah usai jam sekolah aku sempatkan bertanya kepada Pak Budi, guru agama di sekolahku.

"Entahlah, Pak Gatot, mungkin Amina ikut orangtuanya ke sawah," jawab Pak Budi.

Ini bukan kasus pertama siswa di sekolahku tidak hadir di sekolah. Hampir setiap hari selalu ada siswa yang tidak hadir. Apalagi, di bulan-bulan menanam dan memanen padi. Biasanya mereka dibawa oleh orangtua mereka untuk membantu bekerja di sawah. Ada juga yang dibawa untuk menjaga dan mengajak adiknya bermain sewaktu kedua orangtua bekerja di sawah.


Sepanjang hari aku bertanya-tanya dalam hati, apakah Amina memang dibawa ke sawah oleh orangtuanya?

Hingga dua hari berikutnya ketika Amina tidak juga hadir, maka kuputuskan untuk mengunjungi rumahnya besok. Sekadar mencari tahu apakah benar Amina dibawa ke sawah dan juga sekalian bermaksud mengajaknya kembali masuk sekolah. Namun, ternyata aku tak perlu ke rumah Amina. Sorenya secara tak sengaja aku bertemu dengannya saat dia lewat di depan sekolah ketika aku memberikan les tambahan.

"Ke mana saja Amina tidak datang ke sekolah selama tiga hari ini?" tanyaku seraya melipat halaman penanda batas pelajaran sore itu.


"Saya membantu Ibu jualan sayur, Pak," jawab Amina seraya tersenyum simpul.

"Emangnya membantu Ibu jam berapa saja? Masa seharian dari pagi sampai sore?" tanyaku lagi.

"Kalau pagi saya menjaga Adek, Pak, sorenya membantu jualan sayur."

"Begini saja, paginya Amina datang dulu ke sekolah, setelah pulang, baru Amina membantu menjaga Adek dan jualan. Bilang ke Ibu, pesan dari Pak Gatot kalau Amina harus datang setiap hari ke sekolah biar tidak ketinggalan pelajaran," kataku lagi.

"lya, Pak. Besok saya akan datang lagi ke sekolah," jawab Amina seraya berpamitan, kembali berjalan menuju warung Kak Nur di depan sekolah.


Satu hal lagi tentang Amina adalah dia selalu memakai sandal ke sekolah. Hal ini pula yang membuatnya beberapa kali dimarahi oleh beberapa orang guru yang terkenal sangat killer di sekolahku. Pernah kutanya mengapa dia tidak memakai sepatu. Dia hanya tersenyum, lalu tertawa lepas seperti mengabaikan pertanyaanku. Kemudian, pelan dia menjawab bahwa dia tidak punya sepatu. Aku hanya bisa tersenyum sambil memperhatikan dia yang berlalu meninggalkanku. Biarlah Amina memakai sandal jepitnya. Hal itu tidak akan membedakan dia dengan anak yang memakai sepatu. Toh, yang penting dia bisa tetap menginjak kelas yang sama dengan perlakuan yang sama. Dan tak kalah pentingnya dengan sandal jepit di kaki kecilnya itu, sering membawanya maju ke depan kelas menjawab atau menjelaskan pelajaran, berlari riang di lapangan, dan sandal itu pula yang mungkin dia bawa berkeliling kampung menjual sayuran membantu ibunya. Sandal itu seperti memiliki cerita sendiri yang tak terpisahkan dari Amina.

Pada saat Upacara bendera dimana Amina menjadi petugas pengibar bendera, alas kaki yang digunakan masih tetap sama. Tentu saja hal ini dijadikan contoh nasihat Pembina Upacara- yang kebetulan adalah Kepala Sekolah -kepada peserta upacara yang lain.  Kuperhatikan Amina menunduk diam di pinggir lapangan. Sesekali dia mendongakkan kepala ke atas lalu kembali menunduk. la seperti tersangka suatu kasus berat yang sedang menjalankan persidangan yang akan menentukan apakah dia akan bebas atau menerima hukuman dari kesalahannya-lebih tepatnya dari keterbatasannya.


Namun, itulah Amina. Tidak berapa lama setelah menjadi "tersangka", dia kembali berdiri dengan tatapan lurus dan tersenyum lebar, seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Baginya, dunia laksana cawan bahagia yang berisi penuh dengan air suka. Setiap saat ketika dia haus atau kelelahan, dia hanya tinggal menuangkan air tersebut, lalu meminumnya.[]


(Dikisahkan oleh Gatot Suarman, Pengajar Muda dari Kabupaten Bima dalam buku "Catatan Kecil Pengajar Muda", Setahun Mengajar, Seumur Hidup Menginspirasi)

MELEMPAR KOIN

 

"𝘋𝘪 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘩𝘢𝘵𝘪 𝘵𝘦𝘳𝘥𝘢𝘱𝘢𝘵 𝘨𝘢𝘨𝘢𝘴𝘢𝘯 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘢𝘱𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘢𝘪𝘬 𝘥𝘢𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘶𝘳𝘶𝘬. 𝘑𝘪𝘬𝘢 𝘈𝘯𝘥𝘢 𝘣𝘦𝘯𝘢𝘳-𝘣𝘦𝘯𝘢𝘳 𝘮𝘦𝘮𝘦𝘳𝘤𝘢𝘺𝘢𝘪 𝘢𝘱𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘢𝘥𝘢 𝘥𝘪 𝘩𝘢𝘵𝘪 𝘬𝘦𝘵𝘪𝘮𝘣𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘪 𝘬𝘢𝘵𝘢-𝘬𝘢𝘵𝘢, 𝘧𝘪𝘭𝘰𝘴𝘰𝘧𝘪, 𝘢𝘨𝘢𝘮𝘢, 𝘢𝘵𝘢𝘶 𝘭𝘰𝘨𝘪𝘬𝘢 𝘢𝘱𝘢 𝘱𝘶𝘯, 𝘣𝘪𝘢𝘴𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘩𝘢𝘴𝘪𝘭𝘯𝘺𝘢 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘫𝘢𝘶𝘩 𝘭𝘦𝘣𝘪𝘩 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘥𝘪𝘢𝘯𝘥𝘢𝘭𝘬𝘢𝘯"

Dengan uang yang terbatas, seorang ingin membeli makanan kesukaannya: ayam goreng atau ayam geprek. Ketika tidak bisa memutuskan, apa yang dia lakukan? Lempar koin! Kalau gambar: ayam goreng. Kalau angka: ayam geprek.


Ketika mereka melempar koin, yang keluar ternyata angka. ayam geprek! Emmm ... mengecewakan. Mereka lalu mencoba lagi, dengan beralasan bahwa kini makanan yang akan dipesan adalah yang keluar dua kali dari tiga kali lemparan.


Pernahkah Anda berbuat seperti ini? Nah, apa yang ditunjukkan aksi lempar koin ini adalah bahwa kita tak menginginkan ayam geprek. Kita ingin ayam goreng. Inilah salah satu hal terbaik mengenai lempar koin untuk membuat keputusan.

Dalam banyak kasus, lempar koin bukanlah cara untuk mengambil keputusan, melainkan cara untuk mengetahui apa yang benar-benar Anda inginkan. Cara ini menguak motivasi Anda, mengapa, dan apa yang Anda inginkan.


Jika Anda melempar koin dan keluar gambar, maka, "Yess!" Ini menunjukkan apa yang senantiasa ingin Anda lakukan sejak awal.

Namun jika Anda melempar koin dan jadi kecewa, itu menunjukkan apa yang tidak kita inginkan. Metode ini menunjukkan pengetahuan intuisi Anda mengenai apa yang terjadi dalam batin. 

Seringkali pula, intuisi Anda cukup akurat, jujur dan murni. Ketika Anda mulai masuk dalam pemikiran, pemikiran itu mulai memadamkan intuisi, sehingga apa yang mereka pikir itu logis, padahal sebenarnya belum tentu.[]


Dari buku

"SI CACING DAN KOTORAN KESAYANGANNYA 3!"

Selasa, 02 Mei 2023

SISWA BERNAMA RIJIN

 “𝚃𝚞𝚓𝚞𝚊𝚗 𝚙𝚎𝚗𝚍𝚒𝚍𝚒𝚔𝚊𝚗 𝚒𝚝𝚞 𝚞𝚗𝚝𝚞𝚔 𝚖𝚎𝚖𝚙𝚎𝚛𝚝𝚊𝚓𝚊𝚖 𝚔𝚎𝚌𝚎𝚛𝚍𝚊𝚜𝚊𝚗, 𝚖𝚎𝚖𝚙𝚎𝚛𝚔𝚞𝚔𝚞𝚑 𝚔𝚎𝚖𝚊𝚞𝚊𝚗 𝚜𝚎𝚛𝚝𝚊 𝚖𝚎𝚖𝚙𝚎𝚛𝚑𝚊𝚕𝚞𝚜 𝚙𝚎𝚛𝚊𝚜𝚊𝚊𝚗”

(Tan Malaka)


Pulang dari kantor Dinas Pendidikan pukul 18.00 saya mandi, salat, dan bersiap menjadi teman belajar anak-anak di rumah. Ada yang bertanya tentang materi sekolah, membaca komik Kuark, hingga belajar mengenal huruf. Belum lama kegiatan ini berlangsung, tiba-tiba saya dikagetkan dengan pemandangan dramatis. Rijin (6 tahun), cucu kepala dusun tiba-tiba datang, mendekatiku, kemudian menunjukkan luka di sekujur tubuhnya.tak P3K. Tiba-tiba, naluri saya sebagai "penggila dokumentasi" mulai beraksi. Harapannya agar bisa saya tunjukkan ke teman-teman jika kami berkumpul nantinya. Mereka harus tahu bagaimana kekerasan itu memang merajalela di sekitar kita. 


Tanpa ada perlawanan, ditambah dengan keheranan banyak mata, Rijin saya bawa masuk ke kamar. Saya meminta ia membuka baju sampai batas leher. Waw ... luka yang cukup hebat. Mungkin jika dilaporkan ke KPAI, masalah ini akan panjang buntutnya. Namun, KPAI dari Hongkong? Ini Halmahera, bukan Jakarta.

Saya mengobati lukanya dengan Revanol sebagai pembersih luka dan Betadine untuk obat luka baru yang saya ambil dari kota P3K. Rijin hanya diam dan menurut tiap kali saya membersihkan lukanya, padahal saya tahu ia sedang kesakitan. Luka baru seperti itu akan terasa perih ketika dibersihkan atau ditetesi Betadine. Namun, Rijin tak bereaksi apa-apa. Ekspresinya datar. Sepertinya, ia sudah terbiasa dengan kondisi seperti ini. Ya, Allah, anak sekecil ini diperlakukan sadis seperti ini oleh orang tuanya.


Tak hanya anak-anak yang sedang berkumpul dirumah yang berkomentar. Tiba-tiba mama piaraku (hostfam) mendatangi rumah orangtua Rijin dan memarahinya. 

Selesai mengobati semua luka Rijin, saya duduk dan mengajaknya berbicara. Saya bertanya kenapa ia bisa dipukuli, apa yang ia lakukan, ia dipukul dengan apa, kapan ia dipukuli, dan sebagainya. Ternyata, Rijin dipukuli orangtuanya karena membantah perkataan mereka tadi sore. Ia dipukul dengan batang pohon lemon berduri. Saat dipukuli, Rijin tak memakai baju. Saya tak bisa membayangkan bagaimana jeritan dan teriakan Rijin saat itu.


Malam makin larut, tetapi Rijin sepertinya tak ingin pulang. Ia tetap duduk tenang di sampingku.


Baru pada tengah malamnya, pukul 0.30 WIT, nenek Rijin datang untuk menjemputnya. Itu pun Rijin masih sempat menatap saya cukup lama, seolah-olah tidak mau meninggalkan saya. Saya hanya bisa memberinya senyum dan berpesan padanya untuk segera tidur kalau sudah sampai di rumahnya nanti. Selamat malam, Rijin ....


Esoknya, Sepulang Sekolah .... 

Seperti biasa, saya pulang dari sekolah pukul 13.00. Saya berjalan dengan sedikit tergesa. Selain panas bukan main, juga karena perut sudah meronta minta segera diisi. Sesampai di rumah, saya kaget, ternyata ada senyuman yang menyambut kedatangan saya di pojok teras rumah. Ya, itu adalah senyum Rijin. Berdasarkan informasi yang saya dapat dari orang rumah, Rijin telah menunggu sejak pukul 10.00 tadi. Allahu Rabbi ... benar juga, Rijin kelas 1, jam pelajarannya hanya sampai pukul 10.00.

Begitu melihat kedatangan saya, Rijin mendekat dan berucap, "Ibu .... " Hanya kata itu, satu kata dan tak lebih. Setelah itu, ia berlari ke arah rumahnya. Meskipun hanya satu kata, saya paham apa yang ingin dikatakan Rijin sebenarnya. Saya sempat melihat mata dan sunggingan senyumnya yang mampu menyiratkan banyak hal. Rijin mungkin inginmengucapkan terima kasih atau mungkin ingin agar saya mau berteman dengannya. Paling tidak, untuk sementara, saya anggap saya bisa menjadi pembelanya.


Esoknya, Pagi Hari ....


Apel pagi dimulai pukul 7.15, dan hampir setiap hari pula saya menjadi single fighter. Agar tidak terlambat, saya berangkat sebelum pukul 7.00 dari rumah, dan sampai di sekolah biasanya pukul 7.05. Sesampai di pintu masuk area sekolah, kembali saya dikejutkan dengan senyum yang sama. Senyum tulus anak "nakal nan malang" bernama Rijin. Ia menungguku di tempat itu. Dan, apa yang diucapkannya pun tak berubah. Hanya satu kata. "Ibu .... " Namun, kali ini ia tak langsung berlari seperti kemarin. Rijin menggenggam tanganku dan mengajakku segera masuk ke sekolah. Saya hanya bisa melongo tanpa bisa menolak apa yang dilakukannya padaku.


Setiap Hari di Pintu Masuk Sekolah ....

Rijin tetap menunggu saya untuk sekadar menyapa dan mengajak masuk ke sekolah. Ia memilih untuk menunggu di pintu masuk area sekolah sebelum melihat saya hadir di sana. Dan, itulah yang saya alami setiap harinya di sini. Terima kasih untuk setiap genggaman tanganmu, Rijin.[]


(Diceritakan oleh Aisy Ilfiyah, Pengajar Muda Halmahera Selatan dalam buku "Indonesia Mengajar" Kisah Para Pengajar Muda di Pelosok Negeri)




Senin, 01 Mei 2023

PILIH YANG MANA?

"𝙰𝚍𝚊 𝚍𝚞𝚊 𝚙𝚒𝚕𝚒𝚑𝚊𝚗 𝚑𝚒𝚍𝚞𝚙 𝚍𝚒 𝚙𝚊𝚐𝚒 𝚑𝚊𝚛𝚒, 𝚔𝚎𝚖𝚋𝚊𝚕𝚒 𝚝𝚒𝚍𝚞𝚛 𝚞𝚗𝚝𝚞𝚔 𝚖𝚎𝚕𝚊𝚗𝚓𝚞𝚝𝚔𝚊𝚗 𝚖𝚒𝚖𝚙𝚒 𝚊𝚝𝚊𝚞 𝚋𝚊𝚗𝚐𝚞𝚗 𝚝𝚒𝚍𝚞𝚛 𝚞𝚗𝚝𝚞𝚔 𝚖𝚎𝚠𝚞𝚓𝚞𝚍𝚔𝚊𝚗 𝚖𝚒𝚖𝚙𝚒."

Namanya Diding,

Sahabat saya ini jarang sekali memberikan uang receh kepada pengemis. Padahal perkiraan saya gajinya dua kali gaji saya.

Tapi rupanya anggapan saya ini gugur saat kami berteduh dari hujan di Pasar Minggu...

Seorang ibu setengah baya sambil menggendong anaknya menghampiri kami seraya menengadahkan tangan. Tangan saya yang sudah berancang-ancang mengeluarkan receh ditahannya. Kemudian Diding mengeluarkan dua lembar uang dari sakunya, satu lembar seribu rupiah, satu lembar lagi seratus ribu rupiah. Sementara si ibu tadi ternganga entah apa yang ada di pikirannya sambil memerhatikan dua lembar uang itu.

"Ibu kalau saya kasih pilihan, mau pilih yang mana, yang seribu rupiah atau yang seratus ribu?" tanya Diding.

Sudah barang tentu, siapa pun orangnya pasti akan memilih yang lebih besar. Termasuk ibu tadi yang serta merta menunjuk uang seratus ribu.

"Kalau ibu pilih yang seribu rupiah, tidak harus dikembalikan. Tapi kalau ibu pilih yang seratus ribu, saya tidak memberikannya secara cuma-cuma. Ibu harus mengembalikannya dalam waktu yang kita tentukan, bagaimana?" terang Diding.

Perlu waktu yang agak lama, sebelum ibu itu menjawabnya. Terlihat ia masih tampak bingung dengan maksud sahabat saya itu. "Maksudnya ... yang seratus ribu itu hanya pinjaman?" tanya ibu.

"Betul bu, itu hanya pinjaman. Maksud saya begini, kalau saya berikan seribu rupiah ini untuk ibu,paling lama satu jam mungkin sudah habis. Tapi saya akan meminjamkan uang seratus ribu ini untuk ibu agar esok hari dan seterusnya ibu tak perlu meminta-minta lagi," katanya.

Selanjutnya Diding menjelaskan bahwa ia lebih baik memberikan pinjaman uang untuk modal bagi seseorang agar terlepas dari kebiasaannya meminta-minta. Seperti ibu itu, yang ternyata memiliki kemampuan membuat gado-gado. Di rumahnya ia masih memiliki beberapa perangkat untuk berjualan gado-gado, seperti cobek, piring, gelas, meja, dan lain-lain.

Setelah mencapai kesepakatan, akhirnya kami bersama-sama ke rumah ibu tadi yang tidak terlalu jauh dari tempat kami berteduh. Hujan sudah reda, dan kami mendapati lingkungan rumahnya yang lumayan ramai. Cocok untuk berdagang gado-gado, pikirku.

Mereka sepakat dan sang ibu itu pun mulai berdagang.

Diding sering menyempatkan diri untuk mengunjungi penjual gado-gado itu. Selain untuk mengisi perutnya-dengan tetap membayar-ia juga berkesempatan untuk memberikan masukan bagi kelancaran usaha ibu penjual gado-gado itu.

Belum tiga bulan dari waktu yang disepakati untuk mengembalikan uang pinjaman itu. Dengan air mata yang tak bisa lagi tertahan, ibu penjual gado-gado itu mengembalikan uang pinjaman itu ke Diding. "Terima kasih, Nak. Kamu telah mengangkat ibu menjadi orang yang lebih terhormat."

Diding mengaku selalu menitikkan air mata jika mendapati orang yang dibantunya sukses. Meski tak jarang ia harus kehilangan uang itu karena orang yang dibantunya gagal atau tak bertanggung jawab. Menurutnya, itu sudah risiko. Tapi setidaknya, setelah ibu penjual gado-gado itu mengembalikan uang pinjamannya, berarti akan ada satu orang lagi yang bisa ia bantu. Dan akan ada satu lagi yang berhenti meminta-minta.

Ding, inginnya saya menirumu. Semoga bisa ya.[]

"𝘑𝘪𝘬𝘢 𝘱𝘪𝘬𝘪𝘳𝘢𝘯𝘮𝘶 𝘭𝘦𝘮𝘢𝘩, 𝘴𝘪𝘵𝘶𝘢𝘴𝘪 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘮𝘢𝘴𝘢𝘭𝘢𝘩. 𝘑𝘪𝘬𝘢 𝘱𝘪𝘬𝘪𝘳𝘢𝘯𝘮𝘶 𝘤𝘶𝘬𝘶𝘱 𝘬𝘶𝘢𝘵, 𝘴𝘪𝘵𝘶𝘢𝘴𝘪 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘵𝘢𝘯𝘵𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯. 𝘑𝘪𝘬𝘢 𝘱𝘪𝘬𝘪𝘳𝘢𝘯𝘮𝘶 𝘬𝘶𝘢𝘵, 𝘴𝘪𝘵𝘶𝘢𝘴𝘪 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘱𝘦𝘭𝘶𝘢𝘯𝘨."


Dari buku

"BERGURU PADA KEHIDUPAN" Menuntun Anda untuk Hidup Bahagia dan Bermakna

TERIMAKASIH UNTUK TIDAK MUBAZIR

"𝑲𝒆𝒊𝒏𝒈𝒊𝒏𝒂𝒏 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒎𝒆𝒏𝒋𝒂𝒅𝒊 𝒃𝒖𝒓𝒖𝒌 𝒔𝒆𝒍𝒂𝒎𝒂 𝒂𝒏𝒅𝒂 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒊𝒏𝒋𝒂𝒌𝒏𝒚𝒂 𝒅𝒊 𝒃𝒂𝒘𝒂𝒉 𝒌𝒂𝒌𝒊. 𝑯𝒂𝒘𝒂 𝒏𝒂𝒇𝒔𝒖 𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒏𝒋𝒂𝒅𝒊 𝒃𝒖𝒓𝒖𝒌 𝒔𝒆𝒍𝒂𝒎𝒂 𝒂𝒏𝒅𝒂 𝒎𝒆𝒍𝒆𝒕𝒂𝒌𝒌𝒂𝒏𝒏𝒚𝒂 𝒍𝒆𝒃𝒊𝒉 𝒕𝒊𝒏𝒈𝒈𝒊 𝒅𝒊 𝒂𝒕𝒂𝒔 𝒌𝒆𝒑𝒂𝒍𝒂.”

Selain kedua mempelai, para tamu yang hadir dalam pesta tersebut tak luput terjangkiti aura kebahagiaan, itu tampak dari senyum, canda, dan keceriaan yang tak ada hentinya sepanjang mereka berada di pesta. Bagi sanak-saudara dan kerabat orangtua kedua mempelai, bisa jadi momentum ini dijadikan ajang silaturahmi. Sementara teman dan sahabat kedua mempelai menyulap pesta pernikahan itu menjadi reuni yang tak direncanakan. Mungkin kalau sengaja diundang untuk acara reuni tidak ada yang hadir, jadilah reuni satu angkatan berlangsung. Dan satu lagi, bagi mereka yang jarang-jarang menikmati makanan dengan menu khusus, inilah saatnya melakukan perbaikan gizi.

Kalaupun ada yang sedih mungkin adalah seorang pria yang merasa kekasihnya direbut atau wanita yang tersingkirkan oleh hadirnya wanita lain di sisi pria yang dikasihinya.

Kalau ada lagi yang sedih adalah tukang pembawa piring kotor dan bekas makan yang imbalannya adalah makan gratis usai pesta dan uang yang tidak seberapa banyak.

Namun... rupanya ada lagi yang lebih sedih. Mereka memang tak terlihat ada di pesta, juga tak mengenakan pakaian bagus lengkap dengan dandanan yang tak biasa dari keseharian di hari istimewa itu. Mereka hanya ada di bagian belakang dari gedung tempat pesta berlangsung, atau bagian tersembunyi dengan terpal yang menghalangi aktivitas mereka di rumah si empunya pesta. Merekalah para pencuci piring bekas makan para tamu terhormat di ruang pesta.

Bukan bayaran yang tidak jauh berbeda dengan pembawa piring kotor atau jatah makan yang diberikan belakangan. Hal itu sudah mereka sadari sejak awal mengambil peran sebagai pencuci piring. Juga bukan karena tak sempat memberikan doa selamat dan keberkahan untuk pasangan pengantin yang berbahagia, meski apa yang mereka kerjakan mungkin lebih bernilai dari doa-doa para tamu yang hadir.

Air mata mereka keluar setiap kali memandangi nasi yang harus terbuang teramat banyak, juga potongan daging atau makanan lain yang tak habis disantap para tamu. Tak tertahankan sedih mereka saat membayangkan tumpukan makanan sisa itu dan memasukkannya dalam karung untuk kemudian singgah di tempat sampah, sementara anak-anak mereka di rumah sering harus menahan lapar hingga terlelap.


Andai para tamu itu tak mengambil makanan di luar batas kemampuannya menyantap, andai mereka yang berpakaian bagus di pesta itu tak mengikuti nafsunya untuk mengambil semua yang tersedia karena tak semua bisa masuk dalam perut mereka, mungkin akan ada sisa makanan untuk anak-anak di panti anak yatim tak jauh dari tempat pesta itu. Andai pula mereka mengerti buruknya berbuat mubazir, mungkin ratusan anak yatim dan kaum fakir bisa terundang untuk ikut menikmati hidangan dalam pesta itu.


Barangkali perlu dipertimbangkan oleh yang akan melaksanakan pesta pernikahan, tidak cukup kalimat "Mohon Doa Restu" dan "Selamat Menikmati" yang tertera di dinding pesta, tapi sertakan juga tulisan yang cukup besar "Terima Kasih untuk Tidak Mubazir." 

Mungkinkah? []

 “𝐊𝐞𝐜𝐞𝐫𝐝𝐚𝐬𝐚𝐧 𝐦𝐞𝐦𝐛𝐮𝐚𝐭 𝐧𝐚𝐟𝐬𝐮 𝐛𝐞𝐫𝐚𝐝𝐚 𝐝𝐢 𝐛𝐚𝐰𝐚𝐡 𝐤𝐞𝐧𝐝𝐚𝐥𝐢 𝐩𝐢𝐤𝐢𝐫𝐚𝐧 (𝐥𝐨𝐠𝐢𝐤𝐚) 𝐬𝐞𝐝𝐚𝐧𝐠 𝐤𝐞𝐛𝐢𝐣𝐚𝐤𝐬𝐚𝐧𝐚𝐚𝐧 𝐦𝐞𝐦𝐛𝐮𝐚𝐭 𝐧𝐚𝐟𝐬𝐮 𝐛𝐞𝐫𝐚𝐝𝐚 𝐝𝐢 𝐛𝐚𝐰𝐚𝐡 𝐤𝐞𝐧𝐝𝐚𝐥𝐢 𝐡𝐚𝐭𝐢 (𝐩𝐞𝐫𝐚𝐬𝐚𝐚𝐧). 𝐒𝐞𝐢𝐦𝐛𝐚𝐧𝐠𝐤𝐚𝐧𝐥𝐚𝐡 𝐤𝐞𝐝𝐮𝐚 𝐡𝐚𝐥 𝐢𝐧𝐢 𝐬𝐞𝐛𝐚𝐛 𝐦𝐚𝐬𝐢𝐧𝐠-𝐦𝐚𝐬𝐢𝐧𝐠 𝐬𝐞𝐫𝐮𝐩𝐚 𝐭𝐞𝐭𝐚𝐩𝐢 𝐭𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐬𝐚𝐦𝐚 𝐛𝐚𝐡𝐤𝐚𝐧 𝐭𝐞𝐫𝐤𝐚𝐝𝐚𝐧𝐠 𝐛𝐞𝐫𝐭𝐞𝐧𝐭𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐬𝐚𝐭𝐮 𝐬𝐚𝐦𝐚 𝐥𝐚𝐢𝐧.”



Dari buku

"BERGURU PADA KEHIDUPAN" Menuntun Anda untuk Hidup Bahagia dan Bermakna

Rabu, 26 April 2023

KISAH DUA EMBER


 "𝑺𝒂𝒂𝒕 𝒃𝒆𝒓𝒌𝒆𝒍𝒖𝒉-𝒌𝒆𝒔𝒂𝒉, 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒌𝒊𝒕𝒂 𝒔𝒂𝒎𝒑𝒂𝒊𝒌𝒂𝒏 𝒕𝒂𝒌 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒖𝒃𝒂𝒉 𝒔𝒊𝒕𝒖𝒂𝒔𝒊. 𝑷𝒖𝒏 𝒔𝒊𝒕𝒖𝒂𝒔𝒊 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒑𝒆𝒅𝒖𝒍𝒊 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒌𝒆𝒍𝒖𝒉-𝒌𝒆𝒔𝒂𝒉 𝒌𝒊𝒕𝒂"

(Tere Liye)


Ada dua ember yang diikat dengan tali dan digantung di kerekan di atas sumur. Pemilik sumur biasanya menurunkan kedua ember itu ke dasar sumur dalam keadaan kosong agar dapat menariknya ke atas dalam keadaan penuh berisi air. Kedua ember yang diturunkan bertemu di tengah sumur.

Ember yang kosong berkata kepada ember yang penuh berisi air, "Mengapa kamu menangis?"

Sambil meneteskan air mata, ember penuh menjawab, "Saya menangis karena saya membawa air yang berat ini naik ke atas dengan susah payah, tetapi pemilik sumur mengembalikan saya lagi ke dalam dasar sumur yang gelap."

Ember yang menangis bertanya kepada ember kosong yang terlihat seperti sedang menari-nari, "Mengapa kamu menari-nari?"

Ember kosong menjawab, "Saya menari-nari karena saya turun ke dasar sumur yang gelap lalu kembali ke atas membawa penuh air jernih dan bertemu dengan sinar matahari".[]


"𝑲𝒆𝒕𝒊𝒌𝒂 𝒔𝒂𝒚𝒂 𝒃𝒂𝒏𝒈𝒖𝒏 𝒅𝒂𝒍𝒂𝒎 𝒔𝒖𝒂𝒔𝒂𝒏𝒂 𝒉𝒂𝒕𝒊 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒃𝒖𝒓𝒖𝒌, 𝒔𝒂𝒚𝒂 𝒎𝒆𝒏𝒄𝒐𝒃𝒂 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒕𝒆𝒕𝒂𝒑 𝒅𝒂𝒍𝒂𝒎 𝒔𝒖𝒂𝒔𝒂𝒏𝒂 𝒉𝒂𝒕𝒊 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒃𝒖𝒓𝒖𝒌. 𝑩𝒆𝒍𝒂𝒋𝒂𝒓𝒍𝒂𝒉 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒎𝒆𝒎𝒃𝒖𝒂𝒕 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒕𝒆𝒓𝒃𝒂𝒊𝒌 𝒅𝒂𝒓𝒊 𝒂𝒑𝒂 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝑨𝒏𝒅𝒂 𝒎𝒊𝒍𝒊𝒌𝒊"

(Faith Hill)


Dari buku

"DARI KUNTUM MENJADI BUNGA" Seri Kumpulan Kisah Inspiratif jilid 3

SEBATAS BIBIR

 

"𝘛𝘦𝘳𝘬𝘢𝘥𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘪𝘯𝘥𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘪𝘵𝘢 𝘫𝘢𝘶𝘩 𝘭𝘦𝘣𝘪𝘩 𝘣𝘦𝘳𝘢𝘳𝘵𝘪 𝘥𝘢𝘳𝘪𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘬𝘢𝘵𝘢-𝘬𝘢𝘵𝘢. 𝘗𝘦𝘭𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘵𝘦𝘳𝘬𝘢𝘥𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘶𝘯𝘨𝘬𝘢𝘱𝘬𝘢𝘯 𝘭𝘦𝘣𝘪𝘩 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘥𝘪𝘶𝘯𝘨𝘬𝘢𝘱𝘬𝘢𝘯 𝘰𝘭𝘦𝘩 𝘬𝘢𝘵𝘢-𝘬𝘢𝘵𝘢 𝘬𝘪𝘵𝘢."

(Catherine Pulsifers)


Seorang jurnalis berkunjung ke rumah penjaranya Aung San Suu Kyi untuk mewawancarai 

"Mengapa rezim kekuasaan represif terhadap rakyat dan gerakan demokrasi? Bukankah mereka pemeluk Buddha?" tanya sang jurnalis

"Saya berusaha menjauhkan diri dari penilaian gegabah mengenai tingkat keimanan mereka. Namun saya menilai sebagian tindakan mereka berlawanan dengan ajaran Buddha." kata Suu Kyi

"Di Burma engkau belajar banyak tentang sisi jahat dan mulia manusia. Sisi jahat kelihatan dari rezim kekuasaan yang mengumbar kekerasan. Sedangkan sisi mulianya terletak pada bela rasa terhadap korban" lanjutnya.

"Dalam kenyataannya sebagian orang Burma belum memeluk kebaikan dalam agama Buddha." Suu Kyi melanjutkan tanggapannya 

"Mengapa bisa begitu?"

"Orang-orang itu beragama sebatas bibir"

Mereka mendaraskan doa, menghadiri perayaan, memenuhi kewajiban agama, namun tak pernah meresapkan ajaran Buddha hingga hati." 


"Mereka membutakan diri dengan tindakan kejahatannya dan menutup mata terhadap kebenaran dan mencari-cari alasan untuk membenarkan kejahatannya." []


Dari Buku"JUST FOR YOU"

ADA YANG LEBIH HEBAT

 “𝑺𝒆𝒃𝒂𝒊𝒌-𝒃𝒂𝒊𝒌 𝒎𝒂𝒏𝒖𝒔𝒊𝒂 𝒂𝒅𝒂𝒍𝒂𝒉 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒑𝒂𝒍𝒊𝒏𝒈 𝒃𝒆𝒓𝒎𝒂𝒏𝒇𝒂𝒂𝒕 𝒃𝒂𝒈𝒊 𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒍𝒂𝒊𝒏.”  (Hadits Riway...