"𝑩𝒆𝒍𝒖𝒎 𝒂𝒅𝒂 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒆𝒏𝒚𝒂𝒅𝒂𝒓𝒊 𝒌𝒆𝒌𝒂𝒚𝒂𝒂𝒏 𝒔𝒊𝒎𝒑𝒂𝒕𝒊, 𝒌𝒆𝒃𝒂𝒊𝒌𝒂𝒏 𝒅𝒂𝒏 𝒌𝒆𝒎𝒖𝒓𝒂𝒉𝒂𝒏 𝒉𝒂𝒕𝒊 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒕𝒆𝒓𝒔𝒆𝒎𝒃𝒖𝒏𝒚𝒊 𝒅𝒂𝒍𝒂𝒎 𝒋𝒊𝒘𝒂 𝒔𝒆𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒂𝒏𝒂𝒌. 𝑼𝒑𝒂𝒚𝒂 𝒅𝒂𝒓𝒊 𝒔𝒆𝒕𝒊𝒂𝒑 𝒑𝒆𝒏𝒅𝒊𝒅𝒊𝒌𝒂𝒏 𝒔𝒆𝒋𝒂𝒕𝒊 𝒉𝒂𝒓𝒖𝒔𝒍𝒂𝒉 𝒎𝒆𝒎𝒃𝒖𝒌𝒂 𝒉𝒂𝒓𝒕𝒂 𝒌𝒂𝒓𝒖𝒏 𝒊𝒕𝒖."
(Emma Goldman)
Adalah gadis kecil bernama Amina. Dia siswa kelas 4 SD di sekolah tempatku mengajar. Amina memiliki rambut yang bergelombang dan berwarna kekuningan karena sering terpapar panas matahari. Rambut panjangnya yang terurai menutup hingga separuh bahunya itu jarang sekali dikucirnya dan selalu terlihat basah, meski sudah siang terik sekalipun. Kiranya dia lumuri dulu dengan minyak kelapa sebelum berangkat ke sekolah. Kulitnya gelap, tapi tak hitam. Wajahnya bulat dengan pipi gembung sehingga terlihat sangat lucu ketika tertawa. Postur Amina tidaklah berbeda dengan teman-teman sebayanya. Tingginya seperutku. Badannya tidak lebih gemuk dibanding anak seusianya.
Suatu siang yang terik, hawa panas mengisi ruangan 4x6 meter dimana aku mengajar. Ada yang berbeda pada siang ini. Ya, Amina tidak terlihat dari tadi pagi. Aku sudah berusaha mencari dan bertanya ke teman-temannya, tidak ada yang tahu. Setelah usai jam sekolah aku sempatkan bertanya kepada Pak Budi, guru agama di sekolahku.
"Entahlah, Pak Gatot, mungkin Amina ikut orangtuanya ke sawah," jawab Pak Budi.
Ini bukan kasus pertama siswa di sekolahku tidak hadir di sekolah. Hampir setiap hari selalu ada siswa yang tidak hadir. Apalagi, di bulan-bulan menanam dan memanen padi. Biasanya mereka dibawa oleh orangtua mereka untuk membantu bekerja di sawah. Ada juga yang dibawa untuk menjaga dan mengajak adiknya bermain sewaktu kedua orangtua bekerja di sawah.
Sepanjang hari aku bertanya-tanya dalam hati, apakah Amina memang dibawa ke sawah oleh orangtuanya?
Hingga dua hari berikutnya ketika Amina tidak juga hadir, maka kuputuskan untuk mengunjungi rumahnya besok. Sekadar mencari tahu apakah benar Amina dibawa ke sawah dan juga sekalian bermaksud mengajaknya kembali masuk sekolah. Namun, ternyata aku tak perlu ke rumah Amina. Sorenya secara tak sengaja aku bertemu dengannya saat dia lewat di depan sekolah ketika aku memberikan les tambahan.
"Ke mana saja Amina tidak datang ke sekolah selama tiga hari ini?" tanyaku seraya melipat halaman penanda batas pelajaran sore itu.
"Saya membantu Ibu jualan sayur, Pak," jawab Amina seraya tersenyum simpul.
"Emangnya membantu Ibu jam berapa saja? Masa seharian dari pagi sampai sore?" tanyaku lagi.
"Kalau pagi saya menjaga Adek, Pak, sorenya membantu jualan sayur."
"Begini saja, paginya Amina datang dulu ke sekolah, setelah pulang, baru Amina membantu menjaga Adek dan jualan. Bilang ke Ibu, pesan dari Pak Gatot kalau Amina harus datang setiap hari ke sekolah biar tidak ketinggalan pelajaran," kataku lagi.
"lya, Pak. Besok saya akan datang lagi ke sekolah," jawab Amina seraya berpamitan, kembali berjalan menuju warung Kak Nur di depan sekolah.
Satu hal lagi tentang Amina adalah dia selalu memakai sandal ke sekolah. Hal ini pula yang membuatnya beberapa kali dimarahi oleh beberapa orang guru yang terkenal sangat killer di sekolahku. Pernah kutanya mengapa dia tidak memakai sepatu. Dia hanya tersenyum, lalu tertawa lepas seperti mengabaikan pertanyaanku. Kemudian, pelan dia menjawab bahwa dia tidak punya sepatu. Aku hanya bisa tersenyum sambil memperhatikan dia yang berlalu meninggalkanku. Biarlah Amina memakai sandal jepitnya. Hal itu tidak akan membedakan dia dengan anak yang memakai sepatu. Toh, yang penting dia bisa tetap menginjak kelas yang sama dengan perlakuan yang sama. Dan tak kalah pentingnya dengan sandal jepit di kaki kecilnya itu, sering membawanya maju ke depan kelas menjawab atau menjelaskan pelajaran, berlari riang di lapangan, dan sandal itu pula yang mungkin dia bawa berkeliling kampung menjual sayuran membantu ibunya. Sandal itu seperti memiliki cerita sendiri yang tak terpisahkan dari Amina.
Pada saat Upacara bendera dimana Amina menjadi petugas pengibar bendera, alas kaki yang digunakan masih tetap sama. Tentu saja hal ini dijadikan contoh nasihat Pembina Upacara- yang kebetulan adalah Kepala Sekolah -kepada peserta upacara yang lain. Kuperhatikan Amina menunduk diam di pinggir lapangan. Sesekali dia mendongakkan kepala ke atas lalu kembali menunduk. la seperti tersangka suatu kasus berat yang sedang menjalankan persidangan yang akan menentukan apakah dia akan bebas atau menerima hukuman dari kesalahannya-lebih tepatnya dari keterbatasannya.
Namun, itulah Amina. Tidak berapa lama setelah menjadi "tersangka", dia kembali berdiri dengan tatapan lurus dan tersenyum lebar, seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Baginya, dunia laksana cawan bahagia yang berisi penuh dengan air suka. Setiap saat ketika dia haus atau kelelahan, dia hanya tinggal menuangkan air tersebut, lalu meminumnya.[]
(Dikisahkan oleh Gatot Suarman, Pengajar Muda dari Kabupaten Bima dalam buku "Catatan Kecil Pengajar Muda", Setahun Mengajar, Seumur Hidup Menginspirasi)