"Zaman sekarang, senioritas ndak dilihat dari usia, Bu, tapi dari skill yang dimiliki."
Ungkapan tersebut terucap dari Pak Ruslan seorang pria berusia 58 tahun di ruang guru berukuran 4x5 meter. Sorot matanya teduh dan tajam, suaranya berat, kata-katanya mengalir teratur seakan merefleksikan apa yang telah dialaminya selama 35 tahun berkarya bagi pendidikan di sudut Kalimantan ini. Lebih dari separuh hidupnya ia berikan untuk memajukan pendidikan terutama di tingkat dasar. la memang tidak memiliki penghargaan sebagai kepala sekolah terbaik atau kepala sekolah berprestasi. Namun, apalah artinya sebuah penghargaan jika yang utama adalah sebuah tindakan.
Tugasnya sebagai kepala sekolah pertama kali ia emban di Desa Lambakan. Sebuah desa yang terletak di pedalaman Kabupaten Paser, sekitar 44 kilometer dari jalan negara. Selama lima tahun, ia berkarya dengan mengandalkan jalanan perusahaan, tak jarang ia berjalan kaki berpuluh kilometer atau mendayung ketinting melewati Sungai Telake. "Kalau bisa, kenapa nggak, Bu?" Itulah kata-kata yang sering ia lontarkan. Kata-kata itu sampai sekarang masih sering terdengar.
Sama seperti kebanyakan sekolah di daerah pedalaman, SDN 019 Longkali tidak memiliki penjaga sekolah atau tukang kebun. Namun, di halaman sekolah berbagai tanaman hias, tanaman obat keluarga (toga), bahkan sayuran dan buah tertata dengan apik. Yang menjadi kebanggaan adalah hal tersebut merupakan hasil karya kepala sekolah. Sering kali di saat semua guru dan murid telah pulang, Pak Ruslan mengganti seragam dinasnya dengan kemeja yang sedikit kucel dan mengambil beberapa peralatan kebun. la memotong rumput, menanam pohon, membakar sampah, meracun rumput, dan lain-lain. Ketika kutanya kenapa ia melakukan hal tersebut, ia menjawabnya dengan kata-kata yang kini menjadi favoritku, "Kalau bisa, kenapa nggak ya, Bu? Hehehe."
Entah mengapa semangatnya masih meluap-luap, sayangnya hal tersebut tidak berbanding lurus dengan kondisi kesehatannya. Badannya kini mulai menua dan beberapa penyakit menghampirinya. Beberapa minggu yang lalu ia terpaksa harus beristirahat selama beberapa hari di rumah. Sekolah kami memang belum memiliki rumah dinas seperti sekolah-sekolah di pedesaan pada umumnya, karenanya setiap hari ia harus melalui jalan berbatu, menempuh 34 kilometer bolak-balik untuk menuju sekolah. Semua itu ia lakukan dengan mengendarai sepeda motor sendiri.
Sering kami larut dalam perbincangan usai sekolah. Beragam ilmu hidup telah ia tularkan kepadaku. Mulai dari hal sederhana tentang tanaman obat, kisah cinta sampai nilai hidup yang sangat berarti, Ya, aku terinspirasi oleh semangat dan kerendahhatiannya.
Pria yang memilih bekerja dalam diam ini telah mendedikasikan 25 tahun hidupnya bagi SDN 019 Longkali. Awal 2016 ia akan segera memasuki masa pensiun. Penghujung masa pengabdian tidak membuatnya santai menunggu waktu, ia masih berjuang untuk mendapatkan dana pembangunan rumah dinas atau pembangunan perpustakaan bagi SDN 019 Longkali.
"Saya merasa rumah dinas dan perpustakaan sangat perlu untuk kemajuan SD ini, Bu, makanya saya berjuang sekali untuk itu."
Walau kami belum berhasil mendapatkan dana pembangunan, tetapi peluhnya berhasil membuat satu lokal sekolah mendapatkan dana rehab. "Alhamdullilah, Bu," katanya penuh syukur diiringi senyum yang khas.
Di sebuah diskusi ringan, di ruang guru berukuran 4x5 meter, ia tampak yakin telah menemukan orang yang tepat untuk meneruskan pengabdiannya. "Saya pikir dengan kemampuan yang dimilikinya, Bapak tersebut mampu. Zaman sekarang, senioritas ndak dilihat dari usia Bu, tapi dari skill yang dimiliki." Sebuah pemikiran hasil perjalanan panjang seorang pria yang penuh dengan sejuta pengalaman dan cerita.[]
(Dikisahkan oleh Monica Dwi Anggrainy Astivan, pengajar muda di SD 019 Longkali, Paser, Kalimantan timur dalam buku "Merajut Mimpi di Sudut Negeri)
Keterangan foto: SDN Longkali 019 Paser
Tidak ada komentar:
Posting Komentar