Senin, 29 Mei 2023

LOMPATAN TERTINGGI

 

"𝐉𝐢𝐤𝐚 𝐤𝐚𝐦𝐮 𝐭𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐦𝐞𝐧𝐣𝐚𝐥𝐚𝐧𝐢 𝐡𝐢𝐝𝐮𝐩 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐩𝐢𝐤𝐢𝐫𝐚𝐧 𝐭𝐞𝐫𝐛𝐮𝐤𝐚, 𝐤𝐚𝐦𝐮 𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐦𝐞𝐧𝐞𝐦𝐮𝐤𝐚𝐧 𝐛𝐚𝐧𝐲𝐚𝐤 𝐩𝐢𝐧𝐭𝐮 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐭𝐞𝐫𝐭𝐮𝐭𝐮𝐩."

(Mark W. Perrett)


Seekor belalang menjadi piaraan seorang anak dan ditempatkan dalam wadah bertutup kaca.

Setiap anak melihatnya, belalang itu melompat sehingga anak itu menyukainya dan memberinya makanan. Tapi sang belalang tidak sadar, lompatan yang dilakukan hanya sebatas tutup kaca.

Suatu saat, karena terlupa tutup belalang terbuka dan keluarlah belalang dari wadahnya. Kemudian ia melakukan lompatan dan... ternyata lompatannya lebih tinggi dari saat berada dalam wadah. Mencoba lagi melompat dan lebih tinggi lagi lompatan dari sebelumnya.

Penasaran, belalang itu berjalan dan menemukan sekelompok belalang lain yang juga sedang melompat. Ternyata lompatan para belalang itu jauh lebih tinggi dari lompatannya.

"Kalian memang hebat. Bagaimana kalian bisa melompat sangat tinggi seperti tadi?"

Kawanan belalang yang mendapatkan pertanyaan bukannya senang karena mendapat pujian. Mereka justru merasa heran dengan pertanyaan sang belalang.

"Maksudmu, melompat seperti ini?" kata salah satu belalang.

"Iya," jawab sang belalang.


"Lho, kamu selama ini ada di mana? Lompatan ini kan memang sudah biasa kami lakukan setiap hari. Apa yang kami lakukan bukanlah hal yang baru," serempak kawanan belalang itu menjawab.


Mendengar jawaban dari kawanan belalang itu, sang belalang yang berhasil keluar dari kotak itu bingung mendapati kenyataan seperti itu. Lalu dia pun mencari tahu mengapa hal tersebut tidak terjadi padanya. Lalu sampailah dia di sebuah tempat di mana seekor belalang bijak tinggal.

Belalang bijak itu lalu menjelaskan tentang kehidupan belalang yang sesungguhnya sehingga pada akhirnya sang belalang pun mengerti. Ternyata selama ini dia hidup di dalam kotak yang sempit dan tertutup sehingga kemampuan melompat dan ruang geraknya pun hanya sebatas luas kotak tersebut.

Sang belalang pun akhirnya mengerti bahwa jika dia hidup di luar kotak, dia akan mampu melompat lebih tinggi seperti kawan-kawannya karena tidak ada yang membatasi lompatannya. Dia pun menyadari bahwa pengetahuan yang dimilikinya pun hanya sebatas kotak kecil tempat tinggalnya selama ini. Banyak hal yang belum diketahuinya di luar sana. Dirinya yakin dapat melakukan banyak hal karena kini dia sudah dapat hidup di alam bebas.[]


Banyak orang yang merasa sudah menjadi orang 'paling hebat' dalam segala hal sehingga kadang kala dia enggan menerima hal baru yang dianggap tidak sesuai dengan apa yang dia ketahui. Akhirnya, dia merasa benar dan hebat sendiri dengan hal-hal baru menurutnya yang sebetulnya adalah sesuatu yang biasa.

Ada pula orang yang memang membatasi dirinya sendiri. Dia enggan untuk melakukan hal baru yang sebetulnya dia mampu lakukan dan hal itu akan melejitkan potensi dirinya. Sayangnya, dia menciptakan sendiri pembatas -pembatas yang akan menghambatnya untuk maju. Pada akhirnya dia pun mewujud menjadi sosok yang aneh di mata orang lain pada umumnya dan tertinggal dalam segala hal.[]


Dari buku

"MENGAPA TIDAK SECERDAS SIPUT?" Menggali Hikmah dari Kehidupan Binatang

ALAS KAKI RAJA

"𝑆𝑒𝑚𝑢𝑎 𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑖𝑛𝑔𝑖𝑛 𝑚𝑒𝑛𝑔𝑢𝑏𝑎ℎ 𝑑𝑢𝑛𝑖𝑎, 𝑡𝑒𝑡𝑎𝑝𝑖 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑠𝑒𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑝𝑢𝑛 𝑏𝑒𝑟𝑝𝑖𝑘𝑖𝑟 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑚𝑒𝑛𝑔𝑢𝑏𝑎ℎ 𝑑𝑖𝑟𝑖𝑛𝑦𝑎 𝑠𝑒𝑛𝑑𝑖𝑟𝑖."

(Leo Tolstoy)

Seorang Raja akan berkeliling negeri untuk melihat keadaan rakyatnya. Namun kali ini ia tidak ingin naik kereta kencana, tapi ingin berjalan kaki saja. Tetapi, baru beberapa meter berjalan di luar istana, kakinya sudah terluka karena terantuk batu. 

la berpikir, "Ternyata jalan-jalan di negeriku ini jelek sekali. Aku harus memperbaikinya."

Raja lalu memanggil seluruh menteri istana. la memerintahkan untuk melapisi seluruh jalan-jalan di negerinya dengan kulit sapi terbaik. Segera saja para menteri istana melakukan persiapan-persiapan. Mereka mengumpulkan sapi-sapi dari seluruh negeri. Di tengah kesibukan yang luar biasa itu, datanglah seorang menteri yang terkenal dengan kecerdikannya. Setelah menghadap raja, ia  berkata, "Wahai Paduka, mengapa Paduka hendak membuang sekian banyak kulit sapi untuk melapisi jalan-jalan di negeri ini, padahal sesungguhnya yang Paduka perlukan hanya dua potong kulit sapi untuk melapisi telapak kaki Paduka saja?"

Maka sejak itulah dunia menemukan kulit pelapis telapak kaki yang kita sebut "sandal".

Salah satu hal yang perlu kita miliki untuk mencapai kebahagiaan dalam hidup adalah cara pandang yang benar. Dunia di sekeliling kita tak akan berubah, bila kita sendiri tak dapat mengubah pola pikir kita. Tuhan tidak akan pernah bisa memberkati kita dengan limpahan anugerahNya, bila yang ada dalam mindset kita hanyalah sebuah kemalasan dan keengganan untuk berusaha dan bekerja.

Kebahagiaan dan kesuksesan hidup tidak berarti ketiadaan masalah. Untuk mencapainya, cukup hanya mengubah cara pandang kita terhadap masalah itu, sehingga sederhana dan mudah diselesaikan.[]

"𝘊𝘢𝘳𝘪𝘭𝘢𝘩 𝘬𝘦𝘣𝘢𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘴𝘦𝘵𝘪𝘢𝘱 𝘴𝘪𝘵𝘶𝘢𝘴𝘪, 𝘤𝘢𝘳𝘪𝘭𝘢𝘩 𝘱𝘦𝘭𝘢𝘫𝘢𝘳𝘢𝘯 𝘣𝘦𝘳𝘩𝘢𝘳𝘨𝘢 𝘥𝘪 𝘴𝘦𝘵𝘪𝘢𝘱 𝘬𝘦𝘮𝘶𝘯𝘥𝘶𝘳𝘢𝘯, 𝘤𝘢𝘳𝘪𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘰𝘭𝘶𝘴𝘪 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘴𝘦𝘵𝘪𝘢𝘱 𝘮𝘢𝘴𝘢𝘭𝘢𝘩. 𝘗𝘪𝘬𝘪𝘳𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘯 𝘣𝘪𝘤𝘢𝘳𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘵𝘦𝘳𝘶𝘴-𝘮𝘦𝘯𝘦𝘳𝘶𝘴 𝘵𝘦𝘯𝘵𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘶𝘫𝘶𝘢𝘯𝘮𝘶."

(Brian Tracy)


Dari buku

INSPIRASI 5 MENIT

81 Bacaan Ringan untuk Menjadi Lebih Baik



Rabu, 24 Mei 2023

LUANGKAN WAKTU


 "𝙼𝚊𝚗𝚊𝚓𝚎𝚖𝚎𝚗 𝚠𝚊𝚔𝚝𝚞 𝚊𝚍𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚔𝚞𝚗𝚌𝚒𝚗𝚢𝚊. 𝙼𝚎𝚜𝚔𝚒 𝚔𝚎𝚕𝚒𝚑𝚊𝚝𝚊𝚗𝚗𝚢𝚊 𝚜𝚒𝚋𝚞𝚔, 𝚜𝚎𝚕𝚊𝚖𝚊 𝚔𝚊𝚖𝚞 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚊𝚝𝚞𝚛 𝚠𝚊𝚔𝚝𝚞𝚖𝚞 𝚍𝚎𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚋𝚎𝚗𝚊𝚛, 𝚔𝚊𝚖𝚞 𝚋𝚒𝚜𝚊 𝚖𝚎𝚗𝚢𝚎𝚕𝚎𝚜𝚊𝚒𝚔𝚊𝚗 𝚜𝚎𝚖𝚞𝚊𝚗𝚢𝚊."

(John Cena)

Alkisah, ada seorang pemuda yang ingin bertemu dengan Guru Zen. Ketika bertemu, pemuda itu pun mengeluh: "Guru, saya selalu bermeditasi, membaca mantra, bangun pagi, tidur lebih cepat dari biasanya, berusaha untuk tidak sedikit pun memiliki pikiran negatif dalam otak. Namun, sudah sekian lama bekerja keras, kenapa saya belum bisa mencapai pencerahan?"


Mendengar itu, Guru Zen pun mengeluarkan sebuah labu dan segenggam garam, lalu diberikannya kepada pemuda itu, dan berkata: "Sekarang kamu pergilah dan isi labu ini dengan air, lalu masukkan juga garam ke labu ini dan larutkan. Kalau kamu bisa melakukannya, kamu akan mencapai pencerahan."


Pemuda itu pun melakukan apa yang diminta gurunya. Tidak lama kemudian, pemuda itu kembali dan memberi tahu gurunya: "Guru, mulut labu itu terlalu kecil, saya tidak bisa melarutkan garam yang ada di dalamnya. Kalau saya gunakan sendok untuk mengaduknya, tidak bisa juga!"

Guru Zen mengambil alih labu itu dan menuangkan sedikit air dari mulutnya, mengguncangnya beberapa kali, dan garamnya pun larut.


Guru Zen berkata: "Walaupun bekerja keras setiap hari, siang dan malam, kalau tidak memiliki hati yang sederhana untuk melihat dunia ini, perbuatanmu sama saja seperti air dalam labu ini, tidak bisa diguncang dan diaduk. Pembelajaran Zen ibarat memainkan kecapi, kalau talinya terlalu tegang, akan putus, tetapi kalau terlalu kendur, tidak bisa bersuara. 'Jalan tengah' adalah inti pencerahan Zen."


Setelah mendengar penjelasan sang Guru Zen, barulah pemuda itu menyadari inti pembelajaran ilmu Zen.[]


PESAN:

Dalam kehidupan sehari-hari, banyak orang yang bekerja keras, siang dan malam, untuk mengejar impian dan tujuan. Memang, dibutuhkan kerja keras untuk mencapai cita-cita atau tujuan. Akan tetapi, kalau kita terlalu sibuk sampai tidak ada waktu luang untuk beristirahat, berpikir, dan menikmati proses hidup ini, pasti kita akan stres dan mengalami hidup yang membosankan. Anutlah prinsip "sediakan ruang bagimu supaya bisa bergerak"; kita akan selalu menemukan suatu ide atau gagasan dalam proses menuju kesuksesan.


Dari buku

"Simplify Your Life with Zen" 35 Kisah Zen Untuk Menyederhanakan Masalah Hidup

TIGA EKOR IKAN

"𝘛𝘢𝘯𝘨𝘨𝘢𝘱𝘪 𝘬𝘳𝘪𝘵𝘪𝘬 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘳𝘪𝘶𝘴, 𝘵𝘦𝘵𝘢𝘱𝘪 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘴𝘦𝘤𝘢𝘳𝘢 𝘱𝘳𝘪𝘣𝘢𝘥𝘪. 𝘑𝘪𝘬𝘢 𝘢𝘥𝘢 𝘬𝘦𝘣𝘦𝘯𝘢𝘳𝘢𝘯 𝘢𝘵𝘢𝘶 𝘮𝘢𝘯𝘧𝘢𝘢𝘵 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘬𝘳𝘪𝘵𝘪𝘬, 𝘤𝘰𝘣𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘣𝘦𝘭𝘢𝘫𝘢𝘳 𝘥𝘢𝘳𝘪𝘯𝘺𝘢. 𝘑𝘪𝘬𝘢 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬, 𝘣𝘪𝘢𝘳𝘬𝘢𝘯 𝘪𝘵𝘶 𝘣𝘦𝘳𝘨𝘶𝘭𝘪𝘳 𝘭𝘢𝘯𝘨𝘴𝘶𝘯𝘨 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘈𝘯𝘥𝘢."(Hillary Clinton)

Terdapat tiga ekor ikan dengan kemampuan yang berbeda. Ikan pertama adalah ikan yang pandai. Ikan kedua mempunyai kemampuan sedang dan ikan ketiga adalah ikan yang tidak pandai. Ketiga ekor ikan itu hidup pada sebuah kolam.

Suatu kali seorang penangkap datang ke kolam dengan membawa jala dan ember untuk menangkap ikan dalam kolam tersebut. Dengan kecerdasannya, melihat kedatangan penangkap ikan dari dalam air, ikan pertama segera bertindak berdasarkan pengalaman masa lalunya, dan dari cerita-cerita yang didengarnya dari ikan lain.

Ikan pandai tersebut mengerahkan segenap tenaga, melompat keluar dari kolam, dan menjatuhkan diri di dekat kaki si penangkap ikan. Lalu dia berpura-pura mati dengan menahan napasnya.

Melihat peristiwa tersebut, tentu saja si penangkap ikan merasa kaget. Dia merasa belum melakukan apa-apa, namun ternyata sudah ada ikan yang tergeletak di dekatnya. Karena dia mengira ikan itu mati, dia lalu memungut dan melemparkan ikan itu kembali ke dalam kolam. Dia merasa tidak ada untungnya menangkap ikan yang mati karena dia masih melihat ikan yang lebih segar di sana.

Begitu menyentuh kolam, ikan pandai itu langsung bergegas masuk ke dalam lubang kecil di dasar kolam untuk bersembunyi.

Ikan kedua yang melihat kejadian ini, lalu berenang mendekati ikan pandai dan bertanya, "Mengapa kamu berbuat begitu?" Kemudian ikan pandai itu menjelaskan dan menerangkan alasannya.

Setelah mendengar penjelasan ikan pandai, ikan kedua ini kemudian berbuat hal yang sama. Ia melompat dari kolam dan jatuh di dekat kaki si penangkap ikan. Si penangkap ikan pun heran, mengapa ikan-ikan di kolam itu berlompatan keluar. Celakanya, ikan kedua ini lupa tidak menahan napasnya saat berpura-pura mati. Dengan begitu, si penangkap ikan tahu bahwa ikan itu masih hidup. Lalu dia pun memungutnya dan memasukkannya ke dalam ember miliknya.

Karena si penangkap ikan heran dengan kejadian tersebut, dia lalu memerhatikan kolam dan lupa menutup embernya dengan jala. Ikan setengah pandai ini menyadari bahaya yang dialaminya, lalu sekuat tenaga melompat keluar dari ember untuk kembali ke dalam kolam. Dia berhasil! Sesampainya di dasar kolam, cepat-cepat ia bersembunyi di lubang kecil bersama ikan pertama.


Ikan ketiga semakin bingung dengan ulah yang dilakukan oleh kedua temannya dan meminta penjelasan. Dia mendengarkan dua versi cerita dari ikan pertama dan ikan kedua. Mereka menceritakan setiap detail dan menekankan betapa pentingnya menahan napas saat berpura-pura mati.

"Terima kasih banyak, ya," kata ikan ketiga. "Sekarang aku mengerti," tambahnya sambil berlalu.

Setelah berkata begitu, ikan ketiga kemudian melompat keluar kolam dan menjatuhkan diri dekat kaki si penangkap ikan. Sesudah kehilangan dua ekor ikan, penangkap ikan memungut ikan tersebut tanpa memerhatikan apakah si ikan masih hidup atau mati. Kemudian dia memasukkannya ke dalam ember, dan kali ini dia tidak lupa untuk menutup embernya dengan jala. Setelah itu, dia menebarkan jala lainnya di seputar kolam, tapi gagal menangkap ikan lainnya.

Si penangkap ikan akhirnya menyerah. Dia membuka penutup ember dan menemukan ikan ketiga tidak bernapas seperti yang disarankan kedua temannya. Akan tetapi, kali ini si penangkap ikan tidak memedulikan hal itu dan dia pun membawa pulang ikan ketiga.


Dari kisah ketiga ekor ikan ini dapat disimpulkan:


1.Adalah kurang bijak apabila kita menerima saran begitu saja tanpa memikirkan ulang karena bisa jadi kondisinya berbeda. Apa yang baik bagi seseorang belum tentu baik untuk diri kita.


2.Jangan menelan mentah-mentah saran yang diberikan orang lain. Pertimbangkan kondisi dan situasi, lalu ambil tindakan yang tepat.


3.Jangan sekadar mengikuti atau meniru perbuatan orang lain tanpa pengetahuan yang cukup.[]


Dari buku

"MENGAPA TIDAK SECERDAS SIPUT?" Menggali Hikmah dari Kehidupan Binatang



Selasa, 16 Mei 2023

BUKAN SALAH AWANG

 

"𝙹𝚒𝚔𝚊 𝚊𝚙𝚊 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚔𝚊𝚖𝚞 𝚑𝚊𝚛𝚊𝚙𝚔𝚊𝚗 𝚝𝚒𝚍𝚊𝚔 𝚝𝚎𝚛𝚓𝚊𝚍𝚒, 𝚖𝚊𝚔𝚊 𝚔𝚊𝚖𝚞 𝚑𝚊𝚛𝚞𝚜 𝚖𝚎𝚗𝚌𝚘𝚋𝚊 𝚞𝚗𝚝𝚞𝚔 𝚖𝚎𝚗𝚢𝚞𝚔𝚊𝚒 𝚊𝚙𝚊-𝚊𝚙𝚊 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚜𝚎𝚍𝚊𝚗𝚐 𝚝𝚎𝚛𝚓𝚊𝚍𝚒,”

(Anonim)

Sore menjelang magrib itu, Awang terlihat murung. Hujan turun sangat sebentar. Hanya cukup membasahi jalanan kota yang berdebu dan lumayan bikin kotor pejalan kaki yang bersandal jepit. la pun belum sempat menggigil seperti hari-hari sebelumnya setelah beberapa jam menawarkan jasa payung kepada pejalan kaki yang membutuhkannya. Ya, Awang memang pengojek payung. Kegemarannya setiap hari adalah menatap langit. Mendung adalah senyumnya, terik matahari akan membuatnya murung.


Awang tidak sendirian. Belasan anak di sekitar Pasar Ciputat punya hobi yang sama; menatap langit dan kalau perlu ribuan kali meminta kepada Sang Pemilik hujan agar hari itu hujan diturunkan. "Kalau perlu hujan jangan berhenti seharian, biar uang yang Awang dapat lebih banyak. Pasti ibuku senang," ujar Awang polos. 


Bocah berusia 9 tahun itu bahkan tahu waktu-waktunya hujan turun, termasuk di bulan apa biasanya curah hujan lebih besar dan lebih lama. Desember dan Januari adalah bulan panen baginya. Maka tak heran, jauh-jauh hari ia sudah meminta dibelikan payung oleh ibunya. Dan dengan hati sang Ibu akan menuruti keinginannya, karena dengan payung itu belanja ibunya akan bertambah sekurangnya 20 ribu rupiah tiap harinya.

Kebalikan dengan Awang, masyarakat kebanyakan di ibu kota dan berbagai daerah rawan bencana lainnya di tanah air berharap hujan jangan turun, kalaupun turun hanya sekelebatan saja, sekadar membasahi jalan. Atau gerimis saja bolehlah. Maklum, hujan berkepanjangan sama dengan bencana. Hujan deras terus-menerus membuat masyarakat panik. Dan doa yang dipanjatkan adalah "Ya Allah, jangan biarkan bencana menimpa kami".

Bagi Awang, hujan adalah rezeki. Jangan salahkan Awang yang terus berdoa agar Allah menurunkan hut. Karena di masa lalu pun hujan deras tak pernah ditakuti, hujan seharian tak menimbulkan kepanikan. Jika saat ini hujan justru berakibat bencana, jelas harus ada yang bertanggung jawab. Dan yang pasti bukan Awang.


Bocah berbadan kurus itu tersenyum lebar. Hujan lebat turun kembali, payungnya pun mengembang sudah. Kaki kecilnya mengibas jalan berair dan siap mengais rezeki. Yang pasti, ia begitu sumringah, tak peduli banyak orang selainnya yang ketakutan. []


Dari buku 

"Berguru pada Kehidupan" Menuntun Anda untuk Hidup Bahagia dan Bermakna"

EMPAT ORANG PRIA ASING

 

"𝐇𝐚𝐫𝐦𝐨𝐧𝐢 𝐚𝐝𝐚𝐥𝐚𝐡 𝐤𝐞𝐬𝐞𝐢𝐦𝐛𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐢𝐧𝐝𝐚𝐡 𝐚𝐧𝐭𝐚𝐫𝐚 𝐩𝐢𝐤𝐢𝐫𝐚𝐧, 𝐭𝐮𝐛𝐮𝐡, 𝐝𝐚𝐧 𝐣𝐢𝐰𝐚 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐝𝐢𝐮𝐤𝐮𝐫 𝐝𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐬𝐚𝐚𝐭-𝐬𝐚𝐚𝐭 𝐝𝐚𝐦𝐚𝐢 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐥𝐞𝐦𝐛𝐮𝐭."

(Melanie Koulouris)

Suatu saat ada empat orang pria asing berteduh di sebuah rumah petani. 

Melihat empat pria kedinginan, anak perempuan petani itu mengundang masuk mereka.

"Terimakasih" jawab seorang dari mereka, "Tapi kami akan masuk setelah keluarga kalian memutuskan siapa diantara kami yang diundang. Kalau kalian mengundang seorang yang tepat dari kami, maka kami akan masuk semuanya. Namun kalau kalian mengundang orang yang tidak tepat, hanya satu orang yang bisa masuk ke rumah kalian"

Tak lama kemudian petani itu tiba di rumah, dan anak perempuannya menyampaikan pesan empat orang misterius yang masing-masing bernama: Kekayaan, Kesuksesan, Kedamaian dan Keharmonisan.

"Baiklah" kata petani kemudian, "Selama ini aku bekerja dengan keras, mengumpulkan harta siang malam semua itu agar kita memperoleh kekayaan. Sekarang itu sudah ada didepan kita. Persilakan Kekayaan untuk masuk ke rumah"

"Tunggu!", kata isteri petani, "apa artinya kekayaan tanpa ada kesuksesan. Aku lebih memilih kesuksesan. Panggil dia masuk!"

"Bapak dan Ibu" kembali anak perempuan berkata, "Rupanya kekayaan dan kesuksesan telah menimbulkan perselisihan didalam rumah. Tidak ada kedamaian dengan kekayaan dan kesuksesan. Aku lebih suka mengundang kedamaian untuk masuk ke rumah"

Kembali tiga orang berselisih untuk menentukan siapa yang berhak masuk kedalam rumah.

Akhirnya anak laki-laki mereka berkata, "Dari semua hal yang kuinginkan dirumah kita adalah adanya keharmonisan".

Mereka terdiam dan berpikir...

"Kamu benar Nak, keharmonisan adalah yang utama"

Jadi mereka mengundang Keharmonisan lebih dahulu ke dalam rumah. Ketika Keharmonisan masuk, ia mengatakan kepada mereka bahwa mereka telah membuat pilihan yang benar. Sebab saat Keharmonisan memasuki rumah, maka yang mengikuti berikutnya adalah Kedamaian, dan dengan Kedamaian Anda akan menemukan Kesuksesan, dan dengan Kesuksesan Anda juga akan menemukan Kekayaan.

Jadi prioritas utama dalam kehidupan dan hubungan adalah keharmonisan. Jika tidak, tiga lainnya tidak akan masuk.[]

"𝑲𝒆𝒃𝒂𝒉𝒂𝒈𝒊𝒂𝒂𝒏 𝒃𝒖𝒌𝒂𝒏𝒍𝒂𝒉 𝒎𝒂𝒔𝒂𝒍𝒂𝒉 𝒊𝒏𝒕𝒆𝒏𝒔𝒊𝒕𝒂𝒔, 𝒕𝒆𝒕𝒂𝒑𝒊 𝒕𝒆𝒏𝒕𝒂𝒏𝒈 𝒌𝒆𝒔𝒆𝒊𝒎𝒃𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏, 𝒌𝒆𝒕𝒆𝒓𝒂𝒕𝒖𝒓𝒂𝒏, 𝒓𝒊𝒕𝒎𝒆, 𝒅𝒂𝒏 𝒉𝒂𝒓𝒎𝒐𝒏𝒊."

(Thomas Merton)


Dari buku

"SI CACING DAN KOTORAN KESAYANGANNYA 3!"

Minggu, 14 Mei 2023

MOMENTUM YEN JINGCHANG

"𝗠𝗮𝘀𝗮 𝗱𝗲𝗽𝗮𝗻 𝘁𝗲𝗿𝗴𝗮𝗻𝘁𝘂𝗻𝗴 𝗽𝗮𝗱𝗮 𝗮𝗽𝗮 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗸𝗮𝗺𝘂 𝗹𝗮𝗸𝘂𝗸𝗮𝗻 𝗵𝗮𝗿𝗶 𝗶𝗻𝗶"

(Mahatma Gandhi)

Program 'Yuejin' (lompatan jauh ke depan) yang dicanangkan Mao Zedong pada tahun 1950 an ternyata tidak membawa hasil. 

Dengan mengesampingkan sektor pertanian China mengejar ketinggalannya dengan memacu sektor industri.

Dan akibatnya adalah lahan pertanian terbengkalai, kebutuhan pangan tersendat yang lalu berbuntut dengan Revolusi Budaya.

Sampai tahun 1978, tak banyak orang yang mengenal Yen Jingchang, karena dia memang hanya seorang petani ingusan berusia 18 tahun dari dusun Xiao Gang, provinsi Anhui Timur. Hanya ada 20 rumah reyot di dusun yang miskin itu, dengan mayoritas penduduknya menjadi pengemis yang terancam mati kelaparan pula. Tak sedikit yang harus menjual bayinya untuk menyambung hidup keluarga.

Pertanian kolektif yang tidak mengakui kepemilikan lahan pribadi dan kesejahteraan yang diatur negara menjadikan rakyat hanya tahu bekerja dan bekerja sambil memberi setoran atas jerih payahnya pada negara.

Dalam kondisi seperti itu, Yen Jingchang lalu mengkoordinir para petani untuk mengakali sistem tersebut. Dia memperkenalkan sistem 'Da Bao Gan' kepada 18 orang tetangganya.Dengan 'Da Bao Gan' mereka sepakat membagi-bagi lahan kolektif tersebut pada masing-masing keluarga. Hasilnya sebagian diserahkan pada negara dan sebagian lagi mereka makan sendiri. Tentu saja hal tersebut dilakukan secara rahasia, hingga mereka sampai membuat perjanjian bahwa bila ada salah seorang mereka yang dihukum mati, maka anaknya menjadi tanggung jawab bersama hingga berusia 18 tahun. Surat perjanjian itu mereka tandatangani dan disembunyikan di atas loteng rumah Yen Jingchang.


Namun faktanya, bekerja dengan rasa memiliki sangat berbeda dengan bekerja hanya sekadar menjalankan tugas saja. Dengan adanya rasa memiliki itulah, maka Yen Jingchang dan petani dikampungnya bekerja dengan penuh semangat.

Sistem 'Da Bao Gan' yang diterapkan oleh Yen Jingchang ternyata diadopsi oleh Deng Xiaoping, yang menggantikan Mao Zedong, menjadi kebijakan resmi negara. Dan momentum ini menjadi China menjadi Negara Agraris yang besar dan maju.


Momentum.....

Pada mekanika Newton dikenal besaran yang berbanding lurus dengan massa dan kecepatan. Besaran itu dikenal dengan nama Momentum yang dirumuskan dengan:

𝑷 = 𝒎.𝒗

𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏: 𝑷= 𝒎𝒐𝒎𝒆𝒏𝒕𝒖𝒎

             𝒎= 𝒎𝒂𝒔𝒔𝒂

              𝒗= 𝒌𝒆𝒄𝒆𝒑𝒂𝒕𝒂𝒏


Itulah yang terjadi pada Yen Jingchang dan sistem "Da Bao Gan" nya.

Deng Xiaoping dengan programnya 'Gaige Kaifang' (reformasi dan keterbukaan) yang melibatkan massa yang besar (m), dengan kecepatan ekonomi yang tinggi (v) membuat China mempunyai momentum yang besar (P) dalam percaturan ekonomi dunia.[]

"𝐏𝐫𝐨𝐝𝐮𝐤𝐭𝐢𝐯𝐢𝐭𝐚𝐬 𝐚𝐝𝐚𝐥𝐚𝐡 𝐦𝐚𝐦𝐩𝐮 𝐦𝐞𝐥𝐚𝐤𝐮𝐤𝐚𝐧 𝐡𝐚𝐥-𝐡𝐚𝐥 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐬𝐞𝐛𝐞𝐥𝐮𝐦𝐧𝐲𝐚 𝐭𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐝𝐚𝐩𝐚𝐭 𝐤𝐚𝐦𝐮 𝐥𝐚𝐤𝐮𝐤𝐚𝐧"

(Franz Kafka)


Dari buku

"SAINSPIRASI. Inspirasi Kehidupan Berdasarkan Fenomena Sains"



Senin, 08 Mei 2023

SALAH ITU TIDAK APA-APA



“𝘗𝘦𝘯𝘥𝘪𝘥𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘬𝘦𝘮𝘢𝘮𝘱𝘶𝘢𝘯 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘮𝘦𝘯𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘳𝘬𝘢𝘯 𝘩𝘢𝘮𝘱𝘪𝘳 𝘴𝘦𝘮𝘶𝘢 𝘩𝘢𝘭 𝘵𝘢𝘯𝘱𝘢 𝘬𝘦𝘩𝘪𝘭𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘴𝘢𝘣𝘢𝘳𝘢𝘯 𝘢𝘵𝘢𝘶 𝘬𝘦𝘱𝘦𝘳𝘤𝘢𝘺𝘢𝘢𝘯 𝘥𝘪𝘳𝘪.”

(Robert Frost)


Garis bilangan yang kugambar di papan tulis sudah mulai terhapus di sana sini setelah tadi kami asyik bermain lompat angka untuk praktek penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat. Anak-anak kelas 6 begitu antusias ketika kupandu mengerjakan operasi hitung bilangan negatif pada pertemuan pertama ini.

Semula kelas menjadi riuh saat menghitung lompatan dan arah pada garis bilangan untuk mencari hasil 3 dikurangi 7.

"Jadi, kalau katong lompat 7 kali ke arah kiri, berhenti di angka berapa?"

"Nebfatif empat, Ibuu!" (nampaknya saya perlu waktu untuk mengajarkan kata "negati")

Sayangnya keriuhan itu mendadak surut ketika aku menantang anak-anak untuk mengerjakan soal di depan kelas.

Satu, dua, tiga, ..., sembilan. Aku berhitung dalam hati. Hmmm .... Semakin banyak kepala yang tertunduk rupanya. Kupandangi angka yang berderet di bawah garis bilangan.

4-6 = ....

Rasanya soal tersebut tak terlalu sulit. Toh, sebelum ini kami sudah mengerjakan beberapa contoh soal bersama-sama.

"Ayo, katong (kita) coba jawab sama-sama, ya, ..., " kembali kurayu mereka.

"Salah itu seng (tidak) apa-apa. Ibu seng akan pukul katong. Kalau seng tau, nanti Ibu bantu."

Ah! Tiba-tiba mereka mengangkat wajah dan menatapku! Sebagian tampak mengernyitkan dahinya. Sebagian lagi saling berpandangan dengan teman sebangkunya.

Lima detik, sepuluh detik. Nihil. Tetap saja tidak ada yang mengangkat tangannya.

Aku sedang menghela napas kecewa. Namun, seketika kulihat sebuah jari mungil teracung dari barisan tengah.

"Ya?"tanyaku.

"Ibu, beta mau coba kerjakan soal," ucapnya lirih.

Aku terkesiap. Kusorongkan spidol hitam ke tangannya yang agak gemetar. Dengan ragu ia menggoreskan spidolnya di bawah angka 4, membuat garis lengkung ke kiri. "Satu, dua, tiga, empat, lima, enam." la menghitung dengan lirih. Enam garis lengkung dan berhenti di angka -3.

4-6 =- 3

Ia menatapku penuh harap.

Di belakang, anak-anak sudah riuh. Rupanya mereka menyadari garis lengkungnya kurang tepat sehingga berhenti di angka yang salah.

"Ha, jawabannya salah! Mati ose! Dapat pukul itu!"

Bisikan provokatif mulai muncul dari belakang, satu demi satu, sampai-sampai raut muka si anak pemberani ini mulai kecut. la pun tertunduk.

"Salah itu seng apa-apa. Katong belajar sama-sama supaya bisa to," ujarku sambil tersenyum dan menepuk pundaknya pelan, memberikan suntikan kepercayaan diri kepadanya.


Kupegang tangannya, lalu kutuntun perlahan-lahan, membuat lengkungan dari 1 angka ke angka yang lain. Satu demi satu, sampai angka -2. Senyum mulai mengembang di bibir mungilnya.

"Bet su tau, Ibu!" (saya sudah tahu, Ibu) serunya riang.

Kutantang ia mengerjakan satu soal lagi.

7-8= ....

Hanya beberapa detik yang ia butuhkan untuk membuat lengkungan dan menggoreskan angka -1 di sebelah tanda "sama dengan".

"Bisa?" tanyaku sambil tersenyum.

"Bisa, Ibu!" ucapnya sambil tertawa lebar dan kembali ke tempat duduknya. Kepalanya tidak lagi tertunduk. Tepuk tangan riuh dari seisi kelas jadi bonus untuknya yang berani maju ke depan dan mengerjakan soal.[]


(Dikisahkan oleh Matilda Narulita, Pengajar Muda Maluku Tenggara Barat dalam buku "Indonesia Mengajar 2. Kisah Para Penyala Harapan Bangsa Mengajar di Pelosok Tanah Air)

AMBIL ATAU TIDAK?


"𝙺𝚎𝚜𝚎𝚖𝚙𝚊𝚝𝚊𝚗 𝚎𝚖𝚊𝚜 𝚋𝚎𝚛𝚜𝚎𝚖𝚋𝚞𝚗𝚢𝚒 𝚍𝚒 𝚜𝚎𝚝𝚒𝚊𝚙 𝚜𝚞𝚍𝚞𝚝, 𝚖𝚎𝚗𝚞𝚗𝚐𝚐𝚞 𝚘𝚛𝚊𝚗𝚐 𝚋𝚎𝚛𝚒𝚗𝚒𝚜𝚒𝚊𝚝𝚒𝚏 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚑𝚊𝚖𝚙𝚒𝚛𝚒 𝚍𝚊𝚗 𝚖𝚎𝚗𝚎𝚖𝚞𝚔𝚊𝚗𝚗𝚢𝚊."

Begitu masuk kelas dan para murid sudah duduk dengan tertib, guru itu mengambil selembar kertas polos kemudian menggunting-guntingnya menjadi beberapa bagian. Ada guntingan besar ada juga yang kecil. Tapi jumlahnya sengaja dibuat buat tak sama dengan jumlah siswa dalam kelas itu, yaitu duapuluh anak.

Kemudian guru itu meminta kepada siswa untuk mengambil masing-masing satu guntingan kertas yang tersedia di meja depan. "Silakan ambil satu!" demikian instruksi yang dia berikan berikan.

Dapat diduga, ada yang antusias maju dengan gerak cepat dan mengambil bagiannya, ada yang berjalan santai, ada juga yang meminta bantuan temannya untuk mengambilkan. Dua tiga orang bahkan terlihat bermalasan untuk mengambil, mereka berpikir toh semuanya kebagian guntingan kertas tersebut.

Hasilnya? 

Empat orang terakhir tak mendapatkan guntingan kertas. Delapan orang pertama ke depan mendapatkan guntingan besar-besar, yang berjalan santai dan yang meminta diambilkan harus rela mendapatkan yang kecil.

Guru itu lalu menyuruh semua untuk duduk. Lalu dia katakan kepada para siswa, "inilah hidup. Akan terdapat pilihan dimana kalian harus mengambil kesempatan yang tersedia atau akan kehilangan kesempatan itu. Jika kalian tak melakukannya, akan banyak orang lain yang melakukannya".[]

"𝐊𝐞𝐛𝐢𝐦𝐛𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐤𝐢𝐭𝐚 𝐚𝐝𝐚𝐥𝐚𝐡 𝐩𝐞𝐧𝐠𝐤𝐡𝐢𝐚𝐧𝐚𝐭 𝐤𝐢𝐭𝐚 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐬𝐞𝐫𝐢𝐧𝐠 𝐤𝐚𝐥𝐢 𝐦𝐞𝐦𝐛𝐮𝐚𝐭 𝐤𝐢𝐭𝐚 𝐤𝐞𝐡𝐢𝐥𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐩𝐞𝐥𝐮𝐚𝐧𝐠 𝐦𝐞𝐧𝐚𝐧𝐠 𝐤𝐚𝐫𝐞𝐧𝐚 𝐭𝐚𝐤𝐮𝐭 𝐦𝐞𝐧𝐜𝐨𝐛𝐚𝐧𝐲𝐚"

(Stephen Cobey)


Dari buku

"BERGURU PADA KEHIDUPAN" Menuntun Anda Hidup Bahagia dan Bermakna

Sabtu, 06 Mei 2023

SANDAL JAPIT AMINA

 

"𝑩𝒆𝒍𝒖𝒎 𝒂𝒅𝒂 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒆𝒏𝒚𝒂𝒅𝒂𝒓𝒊 𝒌𝒆𝒌𝒂𝒚𝒂𝒂𝒏 𝒔𝒊𝒎𝒑𝒂𝒕𝒊, 𝒌𝒆𝒃𝒂𝒊𝒌𝒂𝒏 𝒅𝒂𝒏 𝒌𝒆𝒎𝒖𝒓𝒂𝒉𝒂𝒏 𝒉𝒂𝒕𝒊 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒕𝒆𝒓𝒔𝒆𝒎𝒃𝒖𝒏𝒚𝒊 𝒅𝒂𝒍𝒂𝒎 𝒋𝒊𝒘𝒂 𝒔𝒆𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒂𝒏𝒂𝒌. 𝑼𝒑𝒂𝒚𝒂 𝒅𝒂𝒓𝒊 𝒔𝒆𝒕𝒊𝒂𝒑 𝒑𝒆𝒏𝒅𝒊𝒅𝒊𝒌𝒂𝒏 𝒔𝒆𝒋𝒂𝒕𝒊 𝒉𝒂𝒓𝒖𝒔𝒍𝒂𝒉 𝒎𝒆𝒎𝒃𝒖𝒌𝒂 𝒉𝒂𝒓𝒕𝒂 𝒌𝒂𝒓𝒖𝒏 𝒊𝒕𝒖."

(Emma Goldman)


Adalah gadis kecil bernama Amina. Dia siswa kelas 4 SD di sekolah tempatku mengajar. Amina memiliki rambut yang bergelombang dan berwarna kekuningan karena sering terpapar panas matahari. Rambut panjangnya yang terurai menutup hingga separuh bahunya itu jarang sekali dikucirnya dan selalu terlihat basah, meski sudah siang terik sekalipun. Kiranya dia lumuri dulu dengan minyak kelapa sebelum berangkat ke sekolah. Kulitnya gelap, tapi tak hitam. Wajahnya bulat dengan pipi gembung sehingga terlihat sangat lucu ketika tertawa. Postur Amina tidaklah berbeda dengan teman-teman sebayanya. Tingginya seperutku. Badannya tidak lebih gemuk dibanding anak seusianya.

Suatu siang yang terik, hawa panas mengisi ruangan 4x6 meter dimana aku mengajar. Ada yang berbeda pada siang ini. Ya, Amina tidak terlihat dari tadi pagi. Aku sudah berusaha mencari dan bertanya ke teman-temannya, tidak ada yang tahu. Setelah usai jam sekolah aku sempatkan bertanya kepada Pak Budi, guru agama di sekolahku.

"Entahlah, Pak Gatot, mungkin Amina ikut orangtuanya ke sawah," jawab Pak Budi.

Ini bukan kasus pertama siswa di sekolahku tidak hadir di sekolah. Hampir setiap hari selalu ada siswa yang tidak hadir. Apalagi, di bulan-bulan menanam dan memanen padi. Biasanya mereka dibawa oleh orangtua mereka untuk membantu bekerja di sawah. Ada juga yang dibawa untuk menjaga dan mengajak adiknya bermain sewaktu kedua orangtua bekerja di sawah.


Sepanjang hari aku bertanya-tanya dalam hati, apakah Amina memang dibawa ke sawah oleh orangtuanya?

Hingga dua hari berikutnya ketika Amina tidak juga hadir, maka kuputuskan untuk mengunjungi rumahnya besok. Sekadar mencari tahu apakah benar Amina dibawa ke sawah dan juga sekalian bermaksud mengajaknya kembali masuk sekolah. Namun, ternyata aku tak perlu ke rumah Amina. Sorenya secara tak sengaja aku bertemu dengannya saat dia lewat di depan sekolah ketika aku memberikan les tambahan.

"Ke mana saja Amina tidak datang ke sekolah selama tiga hari ini?" tanyaku seraya melipat halaman penanda batas pelajaran sore itu.


"Saya membantu Ibu jualan sayur, Pak," jawab Amina seraya tersenyum simpul.

"Emangnya membantu Ibu jam berapa saja? Masa seharian dari pagi sampai sore?" tanyaku lagi.

"Kalau pagi saya menjaga Adek, Pak, sorenya membantu jualan sayur."

"Begini saja, paginya Amina datang dulu ke sekolah, setelah pulang, baru Amina membantu menjaga Adek dan jualan. Bilang ke Ibu, pesan dari Pak Gatot kalau Amina harus datang setiap hari ke sekolah biar tidak ketinggalan pelajaran," kataku lagi.

"lya, Pak. Besok saya akan datang lagi ke sekolah," jawab Amina seraya berpamitan, kembali berjalan menuju warung Kak Nur di depan sekolah.


Satu hal lagi tentang Amina adalah dia selalu memakai sandal ke sekolah. Hal ini pula yang membuatnya beberapa kali dimarahi oleh beberapa orang guru yang terkenal sangat killer di sekolahku. Pernah kutanya mengapa dia tidak memakai sepatu. Dia hanya tersenyum, lalu tertawa lepas seperti mengabaikan pertanyaanku. Kemudian, pelan dia menjawab bahwa dia tidak punya sepatu. Aku hanya bisa tersenyum sambil memperhatikan dia yang berlalu meninggalkanku. Biarlah Amina memakai sandal jepitnya. Hal itu tidak akan membedakan dia dengan anak yang memakai sepatu. Toh, yang penting dia bisa tetap menginjak kelas yang sama dengan perlakuan yang sama. Dan tak kalah pentingnya dengan sandal jepit di kaki kecilnya itu, sering membawanya maju ke depan kelas menjawab atau menjelaskan pelajaran, berlari riang di lapangan, dan sandal itu pula yang mungkin dia bawa berkeliling kampung menjual sayuran membantu ibunya. Sandal itu seperti memiliki cerita sendiri yang tak terpisahkan dari Amina.

Pada saat Upacara bendera dimana Amina menjadi petugas pengibar bendera, alas kaki yang digunakan masih tetap sama. Tentu saja hal ini dijadikan contoh nasihat Pembina Upacara- yang kebetulan adalah Kepala Sekolah -kepada peserta upacara yang lain.  Kuperhatikan Amina menunduk diam di pinggir lapangan. Sesekali dia mendongakkan kepala ke atas lalu kembali menunduk. la seperti tersangka suatu kasus berat yang sedang menjalankan persidangan yang akan menentukan apakah dia akan bebas atau menerima hukuman dari kesalahannya-lebih tepatnya dari keterbatasannya.


Namun, itulah Amina. Tidak berapa lama setelah menjadi "tersangka", dia kembali berdiri dengan tatapan lurus dan tersenyum lebar, seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Baginya, dunia laksana cawan bahagia yang berisi penuh dengan air suka. Setiap saat ketika dia haus atau kelelahan, dia hanya tinggal menuangkan air tersebut, lalu meminumnya.[]


(Dikisahkan oleh Gatot Suarman, Pengajar Muda dari Kabupaten Bima dalam buku "Catatan Kecil Pengajar Muda", Setahun Mengajar, Seumur Hidup Menginspirasi)

MELEMPAR KOIN

 

"𝘋𝘪 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘩𝘢𝘵𝘪 𝘵𝘦𝘳𝘥𝘢𝘱𝘢𝘵 𝘨𝘢𝘨𝘢𝘴𝘢𝘯 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘢𝘱𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘢𝘪𝘬 𝘥𝘢𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘶𝘳𝘶𝘬. 𝘑𝘪𝘬𝘢 𝘈𝘯𝘥𝘢 𝘣𝘦𝘯𝘢𝘳-𝘣𝘦𝘯𝘢𝘳 𝘮𝘦𝘮𝘦𝘳𝘤𝘢𝘺𝘢𝘪 𝘢𝘱𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘢𝘥𝘢 𝘥𝘪 𝘩𝘢𝘵𝘪 𝘬𝘦𝘵𝘪𝘮𝘣𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘪 𝘬𝘢𝘵𝘢-𝘬𝘢𝘵𝘢, 𝘧𝘪𝘭𝘰𝘴𝘰𝘧𝘪, 𝘢𝘨𝘢𝘮𝘢, 𝘢𝘵𝘢𝘶 𝘭𝘰𝘨𝘪𝘬𝘢 𝘢𝘱𝘢 𝘱𝘶𝘯, 𝘣𝘪𝘢𝘴𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘩𝘢𝘴𝘪𝘭𝘯𝘺𝘢 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘫𝘢𝘶𝘩 𝘭𝘦𝘣𝘪𝘩 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘥𝘪𝘢𝘯𝘥𝘢𝘭𝘬𝘢𝘯"

Dengan uang yang terbatas, seorang ingin membeli makanan kesukaannya: ayam goreng atau ayam geprek. Ketika tidak bisa memutuskan, apa yang dia lakukan? Lempar koin! Kalau gambar: ayam goreng. Kalau angka: ayam geprek.


Ketika mereka melempar koin, yang keluar ternyata angka. ayam geprek! Emmm ... mengecewakan. Mereka lalu mencoba lagi, dengan beralasan bahwa kini makanan yang akan dipesan adalah yang keluar dua kali dari tiga kali lemparan.


Pernahkah Anda berbuat seperti ini? Nah, apa yang ditunjukkan aksi lempar koin ini adalah bahwa kita tak menginginkan ayam geprek. Kita ingin ayam goreng. Inilah salah satu hal terbaik mengenai lempar koin untuk membuat keputusan.

Dalam banyak kasus, lempar koin bukanlah cara untuk mengambil keputusan, melainkan cara untuk mengetahui apa yang benar-benar Anda inginkan. Cara ini menguak motivasi Anda, mengapa, dan apa yang Anda inginkan.


Jika Anda melempar koin dan keluar gambar, maka, "Yess!" Ini menunjukkan apa yang senantiasa ingin Anda lakukan sejak awal.

Namun jika Anda melempar koin dan jadi kecewa, itu menunjukkan apa yang tidak kita inginkan. Metode ini menunjukkan pengetahuan intuisi Anda mengenai apa yang terjadi dalam batin. 

Seringkali pula, intuisi Anda cukup akurat, jujur dan murni. Ketika Anda mulai masuk dalam pemikiran, pemikiran itu mulai memadamkan intuisi, sehingga apa yang mereka pikir itu logis, padahal sebenarnya belum tentu.[]


Dari buku

"SI CACING DAN KOTORAN KESAYANGANNYA 3!"

Selasa, 02 Mei 2023

SISWA BERNAMA RIJIN

 “𝚃𝚞𝚓𝚞𝚊𝚗 𝚙𝚎𝚗𝚍𝚒𝚍𝚒𝚔𝚊𝚗 𝚒𝚝𝚞 𝚞𝚗𝚝𝚞𝚔 𝚖𝚎𝚖𝚙𝚎𝚛𝚝𝚊𝚓𝚊𝚖 𝚔𝚎𝚌𝚎𝚛𝚍𝚊𝚜𝚊𝚗, 𝚖𝚎𝚖𝚙𝚎𝚛𝚔𝚞𝚔𝚞𝚑 𝚔𝚎𝚖𝚊𝚞𝚊𝚗 𝚜𝚎𝚛𝚝𝚊 𝚖𝚎𝚖𝚙𝚎𝚛𝚑𝚊𝚕𝚞𝚜 𝚙𝚎𝚛𝚊𝚜𝚊𝚊𝚗”

(Tan Malaka)


Pulang dari kantor Dinas Pendidikan pukul 18.00 saya mandi, salat, dan bersiap menjadi teman belajar anak-anak di rumah. Ada yang bertanya tentang materi sekolah, membaca komik Kuark, hingga belajar mengenal huruf. Belum lama kegiatan ini berlangsung, tiba-tiba saya dikagetkan dengan pemandangan dramatis. Rijin (6 tahun), cucu kepala dusun tiba-tiba datang, mendekatiku, kemudian menunjukkan luka di sekujur tubuhnya.tak P3K. Tiba-tiba, naluri saya sebagai "penggila dokumentasi" mulai beraksi. Harapannya agar bisa saya tunjukkan ke teman-teman jika kami berkumpul nantinya. Mereka harus tahu bagaimana kekerasan itu memang merajalela di sekitar kita. 


Tanpa ada perlawanan, ditambah dengan keheranan banyak mata, Rijin saya bawa masuk ke kamar. Saya meminta ia membuka baju sampai batas leher. Waw ... luka yang cukup hebat. Mungkin jika dilaporkan ke KPAI, masalah ini akan panjang buntutnya. Namun, KPAI dari Hongkong? Ini Halmahera, bukan Jakarta.

Saya mengobati lukanya dengan Revanol sebagai pembersih luka dan Betadine untuk obat luka baru yang saya ambil dari kota P3K. Rijin hanya diam dan menurut tiap kali saya membersihkan lukanya, padahal saya tahu ia sedang kesakitan. Luka baru seperti itu akan terasa perih ketika dibersihkan atau ditetesi Betadine. Namun, Rijin tak bereaksi apa-apa. Ekspresinya datar. Sepertinya, ia sudah terbiasa dengan kondisi seperti ini. Ya, Allah, anak sekecil ini diperlakukan sadis seperti ini oleh orang tuanya.


Tak hanya anak-anak yang sedang berkumpul dirumah yang berkomentar. Tiba-tiba mama piaraku (hostfam) mendatangi rumah orangtua Rijin dan memarahinya. 

Selesai mengobati semua luka Rijin, saya duduk dan mengajaknya berbicara. Saya bertanya kenapa ia bisa dipukuli, apa yang ia lakukan, ia dipukul dengan apa, kapan ia dipukuli, dan sebagainya. Ternyata, Rijin dipukuli orangtuanya karena membantah perkataan mereka tadi sore. Ia dipukul dengan batang pohon lemon berduri. Saat dipukuli, Rijin tak memakai baju. Saya tak bisa membayangkan bagaimana jeritan dan teriakan Rijin saat itu.


Malam makin larut, tetapi Rijin sepertinya tak ingin pulang. Ia tetap duduk tenang di sampingku.


Baru pada tengah malamnya, pukul 0.30 WIT, nenek Rijin datang untuk menjemputnya. Itu pun Rijin masih sempat menatap saya cukup lama, seolah-olah tidak mau meninggalkan saya. Saya hanya bisa memberinya senyum dan berpesan padanya untuk segera tidur kalau sudah sampai di rumahnya nanti. Selamat malam, Rijin ....


Esoknya, Sepulang Sekolah .... 

Seperti biasa, saya pulang dari sekolah pukul 13.00. Saya berjalan dengan sedikit tergesa. Selain panas bukan main, juga karena perut sudah meronta minta segera diisi. Sesampai di rumah, saya kaget, ternyata ada senyuman yang menyambut kedatangan saya di pojok teras rumah. Ya, itu adalah senyum Rijin. Berdasarkan informasi yang saya dapat dari orang rumah, Rijin telah menunggu sejak pukul 10.00 tadi. Allahu Rabbi ... benar juga, Rijin kelas 1, jam pelajarannya hanya sampai pukul 10.00.

Begitu melihat kedatangan saya, Rijin mendekat dan berucap, "Ibu .... " Hanya kata itu, satu kata dan tak lebih. Setelah itu, ia berlari ke arah rumahnya. Meskipun hanya satu kata, saya paham apa yang ingin dikatakan Rijin sebenarnya. Saya sempat melihat mata dan sunggingan senyumnya yang mampu menyiratkan banyak hal. Rijin mungkin inginmengucapkan terima kasih atau mungkin ingin agar saya mau berteman dengannya. Paling tidak, untuk sementara, saya anggap saya bisa menjadi pembelanya.


Esoknya, Pagi Hari ....


Apel pagi dimulai pukul 7.15, dan hampir setiap hari pula saya menjadi single fighter. Agar tidak terlambat, saya berangkat sebelum pukul 7.00 dari rumah, dan sampai di sekolah biasanya pukul 7.05. Sesampai di pintu masuk area sekolah, kembali saya dikejutkan dengan senyum yang sama. Senyum tulus anak "nakal nan malang" bernama Rijin. Ia menungguku di tempat itu. Dan, apa yang diucapkannya pun tak berubah. Hanya satu kata. "Ibu .... " Namun, kali ini ia tak langsung berlari seperti kemarin. Rijin menggenggam tanganku dan mengajakku segera masuk ke sekolah. Saya hanya bisa melongo tanpa bisa menolak apa yang dilakukannya padaku.


Setiap Hari di Pintu Masuk Sekolah ....

Rijin tetap menunggu saya untuk sekadar menyapa dan mengajak masuk ke sekolah. Ia memilih untuk menunggu di pintu masuk area sekolah sebelum melihat saya hadir di sana. Dan, itulah yang saya alami setiap harinya di sini. Terima kasih untuk setiap genggaman tanganmu, Rijin.[]


(Diceritakan oleh Aisy Ilfiyah, Pengajar Muda Halmahera Selatan dalam buku "Indonesia Mengajar" Kisah Para Pengajar Muda di Pelosok Negeri)




Senin, 01 Mei 2023

PILIH YANG MANA?

"𝙰𝚍𝚊 𝚍𝚞𝚊 𝚙𝚒𝚕𝚒𝚑𝚊𝚗 𝚑𝚒𝚍𝚞𝚙 𝚍𝚒 𝚙𝚊𝚐𝚒 𝚑𝚊𝚛𝚒, 𝚔𝚎𝚖𝚋𝚊𝚕𝚒 𝚝𝚒𝚍𝚞𝚛 𝚞𝚗𝚝𝚞𝚔 𝚖𝚎𝚕𝚊𝚗𝚓𝚞𝚝𝚔𝚊𝚗 𝚖𝚒𝚖𝚙𝚒 𝚊𝚝𝚊𝚞 𝚋𝚊𝚗𝚐𝚞𝚗 𝚝𝚒𝚍𝚞𝚛 𝚞𝚗𝚝𝚞𝚔 𝚖𝚎𝚠𝚞𝚓𝚞𝚍𝚔𝚊𝚗 𝚖𝚒𝚖𝚙𝚒."

Namanya Diding,

Sahabat saya ini jarang sekali memberikan uang receh kepada pengemis. Padahal perkiraan saya gajinya dua kali gaji saya.

Tapi rupanya anggapan saya ini gugur saat kami berteduh dari hujan di Pasar Minggu...

Seorang ibu setengah baya sambil menggendong anaknya menghampiri kami seraya menengadahkan tangan. Tangan saya yang sudah berancang-ancang mengeluarkan receh ditahannya. Kemudian Diding mengeluarkan dua lembar uang dari sakunya, satu lembar seribu rupiah, satu lembar lagi seratus ribu rupiah. Sementara si ibu tadi ternganga entah apa yang ada di pikirannya sambil memerhatikan dua lembar uang itu.

"Ibu kalau saya kasih pilihan, mau pilih yang mana, yang seribu rupiah atau yang seratus ribu?" tanya Diding.

Sudah barang tentu, siapa pun orangnya pasti akan memilih yang lebih besar. Termasuk ibu tadi yang serta merta menunjuk uang seratus ribu.

"Kalau ibu pilih yang seribu rupiah, tidak harus dikembalikan. Tapi kalau ibu pilih yang seratus ribu, saya tidak memberikannya secara cuma-cuma. Ibu harus mengembalikannya dalam waktu yang kita tentukan, bagaimana?" terang Diding.

Perlu waktu yang agak lama, sebelum ibu itu menjawabnya. Terlihat ia masih tampak bingung dengan maksud sahabat saya itu. "Maksudnya ... yang seratus ribu itu hanya pinjaman?" tanya ibu.

"Betul bu, itu hanya pinjaman. Maksud saya begini, kalau saya berikan seribu rupiah ini untuk ibu,paling lama satu jam mungkin sudah habis. Tapi saya akan meminjamkan uang seratus ribu ini untuk ibu agar esok hari dan seterusnya ibu tak perlu meminta-minta lagi," katanya.

Selanjutnya Diding menjelaskan bahwa ia lebih baik memberikan pinjaman uang untuk modal bagi seseorang agar terlepas dari kebiasaannya meminta-minta. Seperti ibu itu, yang ternyata memiliki kemampuan membuat gado-gado. Di rumahnya ia masih memiliki beberapa perangkat untuk berjualan gado-gado, seperti cobek, piring, gelas, meja, dan lain-lain.

Setelah mencapai kesepakatan, akhirnya kami bersama-sama ke rumah ibu tadi yang tidak terlalu jauh dari tempat kami berteduh. Hujan sudah reda, dan kami mendapati lingkungan rumahnya yang lumayan ramai. Cocok untuk berdagang gado-gado, pikirku.

Mereka sepakat dan sang ibu itu pun mulai berdagang.

Diding sering menyempatkan diri untuk mengunjungi penjual gado-gado itu. Selain untuk mengisi perutnya-dengan tetap membayar-ia juga berkesempatan untuk memberikan masukan bagi kelancaran usaha ibu penjual gado-gado itu.

Belum tiga bulan dari waktu yang disepakati untuk mengembalikan uang pinjaman itu. Dengan air mata yang tak bisa lagi tertahan, ibu penjual gado-gado itu mengembalikan uang pinjaman itu ke Diding. "Terima kasih, Nak. Kamu telah mengangkat ibu menjadi orang yang lebih terhormat."

Diding mengaku selalu menitikkan air mata jika mendapati orang yang dibantunya sukses. Meski tak jarang ia harus kehilangan uang itu karena orang yang dibantunya gagal atau tak bertanggung jawab. Menurutnya, itu sudah risiko. Tapi setidaknya, setelah ibu penjual gado-gado itu mengembalikan uang pinjamannya, berarti akan ada satu orang lagi yang bisa ia bantu. Dan akan ada satu lagi yang berhenti meminta-minta.

Ding, inginnya saya menirumu. Semoga bisa ya.[]

"𝘑𝘪𝘬𝘢 𝘱𝘪𝘬𝘪𝘳𝘢𝘯𝘮𝘶 𝘭𝘦𝘮𝘢𝘩, 𝘴𝘪𝘵𝘶𝘢𝘴𝘪 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘮𝘢𝘴𝘢𝘭𝘢𝘩. 𝘑𝘪𝘬𝘢 𝘱𝘪𝘬𝘪𝘳𝘢𝘯𝘮𝘶 𝘤𝘶𝘬𝘶𝘱 𝘬𝘶𝘢𝘵, 𝘴𝘪𝘵𝘶𝘢𝘴𝘪 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘵𝘢𝘯𝘵𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯. 𝘑𝘪𝘬𝘢 𝘱𝘪𝘬𝘪𝘳𝘢𝘯𝘮𝘶 𝘬𝘶𝘢𝘵, 𝘴𝘪𝘵𝘶𝘢𝘴𝘪 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘱𝘦𝘭𝘶𝘢𝘯𝘨."


Dari buku

"BERGURU PADA KEHIDUPAN" Menuntun Anda untuk Hidup Bahagia dan Bermakna

TERIMAKASIH UNTUK TIDAK MUBAZIR

"𝑲𝒆𝒊𝒏𝒈𝒊𝒏𝒂𝒏 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒎𝒆𝒏𝒋𝒂𝒅𝒊 𝒃𝒖𝒓𝒖𝒌 𝒔𝒆𝒍𝒂𝒎𝒂 𝒂𝒏𝒅𝒂 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒊𝒏𝒋𝒂𝒌𝒏𝒚𝒂 𝒅𝒊 𝒃𝒂𝒘𝒂𝒉 𝒌𝒂𝒌𝒊. 𝑯𝒂𝒘𝒂 𝒏𝒂𝒇𝒔𝒖 𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒏𝒋𝒂𝒅𝒊 𝒃𝒖𝒓𝒖𝒌 𝒔𝒆𝒍𝒂𝒎𝒂 𝒂𝒏𝒅𝒂 𝒎𝒆𝒍𝒆𝒕𝒂𝒌𝒌𝒂𝒏𝒏𝒚𝒂 𝒍𝒆𝒃𝒊𝒉 𝒕𝒊𝒏𝒈𝒈𝒊 𝒅𝒊 𝒂𝒕𝒂𝒔 𝒌𝒆𝒑𝒂𝒍𝒂.”

Selain kedua mempelai, para tamu yang hadir dalam pesta tersebut tak luput terjangkiti aura kebahagiaan, itu tampak dari senyum, canda, dan keceriaan yang tak ada hentinya sepanjang mereka berada di pesta. Bagi sanak-saudara dan kerabat orangtua kedua mempelai, bisa jadi momentum ini dijadikan ajang silaturahmi. Sementara teman dan sahabat kedua mempelai menyulap pesta pernikahan itu menjadi reuni yang tak direncanakan. Mungkin kalau sengaja diundang untuk acara reuni tidak ada yang hadir, jadilah reuni satu angkatan berlangsung. Dan satu lagi, bagi mereka yang jarang-jarang menikmati makanan dengan menu khusus, inilah saatnya melakukan perbaikan gizi.

Kalaupun ada yang sedih mungkin adalah seorang pria yang merasa kekasihnya direbut atau wanita yang tersingkirkan oleh hadirnya wanita lain di sisi pria yang dikasihinya.

Kalau ada lagi yang sedih adalah tukang pembawa piring kotor dan bekas makan yang imbalannya adalah makan gratis usai pesta dan uang yang tidak seberapa banyak.

Namun... rupanya ada lagi yang lebih sedih. Mereka memang tak terlihat ada di pesta, juga tak mengenakan pakaian bagus lengkap dengan dandanan yang tak biasa dari keseharian di hari istimewa itu. Mereka hanya ada di bagian belakang dari gedung tempat pesta berlangsung, atau bagian tersembunyi dengan terpal yang menghalangi aktivitas mereka di rumah si empunya pesta. Merekalah para pencuci piring bekas makan para tamu terhormat di ruang pesta.

Bukan bayaran yang tidak jauh berbeda dengan pembawa piring kotor atau jatah makan yang diberikan belakangan. Hal itu sudah mereka sadari sejak awal mengambil peran sebagai pencuci piring. Juga bukan karena tak sempat memberikan doa selamat dan keberkahan untuk pasangan pengantin yang berbahagia, meski apa yang mereka kerjakan mungkin lebih bernilai dari doa-doa para tamu yang hadir.

Air mata mereka keluar setiap kali memandangi nasi yang harus terbuang teramat banyak, juga potongan daging atau makanan lain yang tak habis disantap para tamu. Tak tertahankan sedih mereka saat membayangkan tumpukan makanan sisa itu dan memasukkannya dalam karung untuk kemudian singgah di tempat sampah, sementara anak-anak mereka di rumah sering harus menahan lapar hingga terlelap.


Andai para tamu itu tak mengambil makanan di luar batas kemampuannya menyantap, andai mereka yang berpakaian bagus di pesta itu tak mengikuti nafsunya untuk mengambil semua yang tersedia karena tak semua bisa masuk dalam perut mereka, mungkin akan ada sisa makanan untuk anak-anak di panti anak yatim tak jauh dari tempat pesta itu. Andai pula mereka mengerti buruknya berbuat mubazir, mungkin ratusan anak yatim dan kaum fakir bisa terundang untuk ikut menikmati hidangan dalam pesta itu.


Barangkali perlu dipertimbangkan oleh yang akan melaksanakan pesta pernikahan, tidak cukup kalimat "Mohon Doa Restu" dan "Selamat Menikmati" yang tertera di dinding pesta, tapi sertakan juga tulisan yang cukup besar "Terima Kasih untuk Tidak Mubazir." 

Mungkinkah? []

 “𝐊𝐞𝐜𝐞𝐫𝐝𝐚𝐬𝐚𝐧 𝐦𝐞𝐦𝐛𝐮𝐚𝐭 𝐧𝐚𝐟𝐬𝐮 𝐛𝐞𝐫𝐚𝐝𝐚 𝐝𝐢 𝐛𝐚𝐰𝐚𝐡 𝐤𝐞𝐧𝐝𝐚𝐥𝐢 𝐩𝐢𝐤𝐢𝐫𝐚𝐧 (𝐥𝐨𝐠𝐢𝐤𝐚) 𝐬𝐞𝐝𝐚𝐧𝐠 𝐤𝐞𝐛𝐢𝐣𝐚𝐤𝐬𝐚𝐧𝐚𝐚𝐧 𝐦𝐞𝐦𝐛𝐮𝐚𝐭 𝐧𝐚𝐟𝐬𝐮 𝐛𝐞𝐫𝐚𝐝𝐚 𝐝𝐢 𝐛𝐚𝐰𝐚𝐡 𝐤𝐞𝐧𝐝𝐚𝐥𝐢 𝐡𝐚𝐭𝐢 (𝐩𝐞𝐫𝐚𝐬𝐚𝐚𝐧). 𝐒𝐞𝐢𝐦𝐛𝐚𝐧𝐠𝐤𝐚𝐧𝐥𝐚𝐡 𝐤𝐞𝐝𝐮𝐚 𝐡𝐚𝐥 𝐢𝐧𝐢 𝐬𝐞𝐛𝐚𝐛 𝐦𝐚𝐬𝐢𝐧𝐠-𝐦𝐚𝐬𝐢𝐧𝐠 𝐬𝐞𝐫𝐮𝐩𝐚 𝐭𝐞𝐭𝐚𝐩𝐢 𝐭𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐬𝐚𝐦𝐚 𝐛𝐚𝐡𝐤𝐚𝐧 𝐭𝐞𝐫𝐤𝐚𝐝𝐚𝐧𝐠 𝐛𝐞𝐫𝐭𝐞𝐧𝐭𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐬𝐚𝐭𝐮 𝐬𝐚𝐦𝐚 𝐥𝐚𝐢𝐧.”



Dari buku

"BERGURU PADA KEHIDUPAN" Menuntun Anda untuk Hidup Bahagia dan Bermakna

PUASA DAN DETOKSIFIKASI

"𝘛𝘦𝘳𝘬𝘢𝘥𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘢𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘣𝘦𝘵𝘢𝘱𝘢 𝘪𝘴𝘵𝘪𝘮𝘦𝘸𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘴𝘦𝘴𝘶𝘢𝘵𝘶 𝘴𝘢𝘮𝘱𝘢𝘪 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘬...