Senin, 25 Juli 2022

𝟳 𝘅 𝟰 = 𝟮𝟵

 


"𝚂𝚒𝚊𝚙𝚊 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚝𝚎𝚛𝚞𝚜-𝚖𝚎𝚗𝚎𝚛𝚞𝚜 𝚍𝚊𝚗 𝚝𝚎𝚛𝚋𝚒𝚊𝚜𝚊 𝚞𝚗𝚝𝚞𝚔 𝚖𝚎𝚖𝚋𝚎𝚛𝚒, 𝚛𝚊𝚜𝚊𝚗𝚢𝚊 𝚜𝚊𝚗𝚐𝚊𝚝 𝚜𝚞𝚗𝚐𝚔𝚊𝚗 𝚋𝚊𝚐𝚒 𝚍𝚒𝚛𝚒𝚗𝚢𝚊 𝚓𝚒𝚔𝚊 𝚑𝚊𝚛𝚞𝚜 𝚖𝚎𝚗𝚎𝚛𝚒𝚖𝚊. 𝙼𝚎𝚛𝚎𝚔𝚊 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚝𝚎𝚛𝚋𝚒𝚊𝚜𝚊 𝚝𝚎𝚛𝚞𝚜-𝚖𝚎𝚗𝚎𝚛𝚞𝚜 𝚖𝚎𝚗𝚎𝚛𝚒𝚖𝚊, 𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚜𝚞𝚕𝚒𝚝 𝚖𝚎𝚖𝚋𝚎𝚛𝚒"

Yan Hui, seorang murid kesayangan Konfusius, suatu hari sedang berjalan disebuah pasar saat melihat dua orang sedang bertengkar. Rupanya mereka adalah seorang penjual jeruk dan pembelinya. Pembeli membayar 7 buah jeruk dengan harga 28 Yuan, karena harga sebutir jeruk adalah 4 Yuan. Tapi penjual bersikukuh harga 7 jeruk itu adalah 29 Yuan.

Yan Hui segera menghampiri mereka. "𝑲𝒂𝒓𝒆𝒏𝒂 𝒉𝒂𝒓𝒈𝒂 𝟏 𝒋𝒆𝒓𝒖𝒌 𝟒 𝒀𝒖𝒂𝒏 𝒎𝒂𝒌𝒂 𝟕 𝒋𝒆𝒓𝒖𝒌 𝒉𝒂𝒓𝒈𝒂𝒏𝒚𝒂 𝟐𝟖 𝒀𝒖𝒂𝒏, 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒂𝒑𝒂 𝒌𝒂𝒎𝒖 𝒌𝒂𝒕𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒉𝒂𝒓𝒈𝒂𝒏𝒚𝒂 𝟐𝟗 𝒀𝒖𝒂𝒏?"tanya Yan Hui kepada penjual jeruk.

"𝑻𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒃𝒊𝒔𝒂, 𝒑𝒐𝒌𝒐𝒌𝒏𝒚𝒂 𝒉𝒂𝒓𝒈𝒂𝒏𝒚𝒂 𝟐𝟗 𝒀𝒖𝒂𝒏. 𝑲𝒂𝒖 𝒕𝒂𝒉𝒖 𝒂𝒑𝒂 𝒂𝒏𝒂𝒌 𝒎𝒖𝒅𝒂? 𝑰𝒏𝒊 𝒃𝒖𝒌𝒂𝒏 𝒖𝒓𝒖𝒔𝒂𝒏𝒎𝒖. 𝑲𝒂𝒍𝒂𝒖 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒑𝒆𝒓𝒄𝒂𝒚𝒂 𝒎𝒂𝒓𝒊 𝒌𝒊𝒕𝒂 𝒕𝒂𝒏𝒚𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒌𝒆𝒑𝒂𝒅𝒂 𝑮𝒖𝒓𝒖 𝑲𝒐𝒏𝒇𝒖𝒔𝒊𝒖𝒔, 𝒔𝒆𝒕𝒆𝒍𝒂𝒉 𝒔𝒂𝒚𝒂 𝒔𝒆𝒍𝒆𝒔𝒂𝒊𝒌𝒂𝒏 𝒅𝒂𝒈𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒊𝒏𝒊" seru pedagang membela diri.

Dalam perjalanan ke rumah sang Guru, pedagang itu memasang taruhan  "𝑱𝒊𝒌𝒂 𝑮𝒖𝒓𝒖 𝑲𝒐𝒏𝒇𝒖𝒔𝒊𝒖𝒔 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒂𝒕𝒂𝒌𝒂𝒏 𝟕 𝒌𝒂𝒍𝒊 𝟒 𝒔𝒂𝒎𝒂 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝟐𝟗, 𝒎𝒂𝒌𝒂 𝒌𝒂𝒖 𝒉𝒂𝒓𝒖𝒔 𝒎𝒆𝒍𝒆𝒕𝒂𝒌𝒌𝒂𝒏 𝒋𝒂𝒃𝒂𝒕𝒂𝒏𝒎𝒖. 𝑵𝒂𝒎𝒖𝒏 𝒌𝒂𝒍𝒂𝒖 𝑮𝒖𝒓𝒖 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒂𝒕𝒂𝒌𝒂𝒏 𝟐𝟖 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝟕 𝒌𝒂𝒍𝒊 𝟒 𝒔𝒂𝒚𝒂 𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒔𝒆𝒓𝒂𝒉𝒌𝒂𝒏 𝒌𝒆𝒑𝒂𝒍𝒂𝒌𝒖 𝒌𝒆𝒑𝒂𝒅𝒂𝒎𝒖. Yan Hui menyanggupi.

Di rumah Guru Konfusius, mereka mengutarakan masalahnya termasuk soal taruhan tadi. Setelah mendengarkan ceritanya, Konfusius berkata kepada muridnya "𝒀𝒂𝒏 𝑯𝒖𝒊, 𝒌𝒂𝒎𝒖 𝒌𝒂𝒍𝒂𝒉 𝒅𝒂𝒏 𝒃𝒆𝒓𝒊𝒌𝒂𝒏 𝒋𝒂𝒃𝒂𝒕𝒂𝒏𝒎𝒖 𝒌𝒆𝒑𝒂𝒅𝒂 𝒑𝒆𝒅𝒂𝒈𝒂𝒏𝒈 𝒊𝒏𝒊" Yan Hui mematuhi perintah gurunya.

Beberapa saat kemudian Yan Hui menghadap Gurunya untuk minta izin cuti guna menemui istri dan keluarganya di kampung. Gurunya mengizinkan sambil berpesan "𝑫𝒂𝒍𝒂𝒎 𝒑𝒆𝒓𝒋𝒂𝒍𝒂𝒏𝒂𝒏𝒎𝒖 𝒏𝒂𝒏𝒕𝒊, 𝒋𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒃𝒆𝒓𝒕𝒆𝒅𝒖𝒉 𝒅𝒊𝒃𝒂𝒘𝒂𝒉 𝒑𝒐𝒉𝒐𝒏 𝒃𝒆𝒔𝒂𝒓 𝒅𝒂𝒏 𝒋𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒈𝒖𝒏𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒑𝒆𝒅𝒂𝒏𝒈𝒎𝒖 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒎𝒆𝒎𝒃𝒖𝒏𝒖𝒉" .Meski ragu dan tidak mengerti maksud Gurunya, Yan Hui mengangguk dan berangkat.

Dalam perjalanan turun hujan, saat melihat sebuah pohon besar Yan Hui berniat berteduh, tapi ingat pesan gurunya dia membatalkan niatnya. Tak lama kemudian dia melihat pohon tadi tumbang karena disambar petir.

Sampai dirumah, dilihatnya dari belakang isterinya sedang berbicara dengan seorang laki-laki. Segera ia mencabut pedangnya. Kembali ia ingat nasihat gurunya dan membatalkan niatnya. Ketika dua orang itu menengok nampak seorang yang bicara dengan isterinya adalah saudara perempuannya yang potongan tubuhnya seperti laki-laki.

Saat kembali dari cutinya, Yan Hui menghadap gurunya dan menceritakan yang dialaminya. Dengan bijak gurunya mengatakan setelah hari panas biasanya akan turun hujan dan badai, makanya ia melarang berteduh dibawah pohon besar.

Mengenai pedang, Konfusius berkata  "𝑺𝒂𝒚𝒂 𝒕𝒂𝒉𝒖, 𝒔𝒆𝒔𝒖𝒏𝒈𝒈𝒖𝒉𝒏𝒚𝒂 𝒌𝒂𝒎𝒖 𝒑𝒖𝒍𝒂𝒏𝒈 𝒃𝒖𝒌𝒂𝒏 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒃𝒆𝒓𝒍𝒊𝒃𝒖𝒓, 𝒕𝒆𝒕𝒂𝒑𝒊 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒉𝒊𝒍𝒂𝒏𝒈𝒌𝒂𝒏 𝒓𝒂𝒔𝒂 𝒎𝒂𝒍𝒖 𝒅𝒂𝒏 𝒎𝒂𝒓𝒂𝒉 𝒂𝒌𝒊𝒃𝒂𝒕 𝒕𝒂𝒓𝒖𝒉𝒂𝒏. 𝑰𝒕𝒖 𝒔𝒆𝒃𝒂𝒃𝒏𝒚𝒂 𝒂𝒌𝒖 𝒎𝒆𝒍𝒂𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒈𝒖𝒏𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒑𝒆𝒅𝒂𝒏𝒈 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒔𝒆𝒎𝒃𝒂𝒓𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏"

Kemudian Guru Konfusius melanjutkan "𝑴𝒖𝒓𝒊𝒅𝒌𝒖, 𝒕𝒂𝒓𝒖𝒉𝒂𝒏𝒎𝒖 𝒕𝒆𝒎𝒑𝒐 𝒉𝒂𝒓𝒊 𝒔𝒂𝒏𝒈𝒂𝒕 𝒃𝒆𝒓𝒂𝒕. 𝑨𝒏𝒅𝒂𝒊 𝒌𝒂𝒎𝒖 𝒌𝒂𝒍𝒂𝒉, 𝒌𝒂𝒎𝒖 𝒉𝒂𝒏𝒚𝒂 𝒌𝒆𝒉𝒊𝒍𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒋𝒂𝒃𝒂𝒕𝒂𝒏 𝒅𝒂𝒏 𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒎𝒖𝒅𝒂𝒉 𝒆𝒏𝒈𝒌𝒂𝒖 𝒅𝒂𝒑𝒂𝒕𝒌𝒂𝒏 𝒌𝒆𝒎𝒃𝒂𝒍𝒊 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒃𝒆𝒍𝒂𝒋𝒂𝒓 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒓𝒂𝒋𝒊𝒏. 𝑵𝒂𝒎𝒖𝒏 𝒌𝒂𝒍𝒂𝒖 𝒎𝒆𝒏𝒂𝒏𝒈, 𝒎𝒂𝒌𝒂 𝒑𝒆𝒅𝒂𝒈𝒂𝒏𝒈 𝒊𝒕𝒖 𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒌𝒆𝒉𝒊𝒍𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒏𝒚𝒂𝒘𝒂𝒏𝒚𝒂 𝒅𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒎𝒃𝒖𝒂𝒕 𝒌𝒆𝒍𝒖𝒂𝒓𝒈𝒂𝒏𝒚𝒂 𝒌𝒆𝒉𝒊𝒍𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒌𝒆𝒑𝒂𝒍𝒂 𝒌𝒆𝒍𝒖𝒂𝒓𝒈𝒂𝒏𝒚𝒂!"

Mendengar penjelasan yang bijaksana dari gurunya tadi Yan Hui pun yakin bahwa semua itu membuat dirinya dan hubungan dengan orang lain semakin baik.[]


𝐒𝐚𝐥𝐚𝐡 𝐬𝐚𝐭𝐮 𝐜𝐢𝐫𝐢 𝐬𝐞𝐨𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐩𝐞𝐦𝐢𝐦𝐩𝐢𝐧 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐛𝐢𝐣𝐚𝐤 𝐚𝐝𝐚𝐥𝐚𝐡 𝐦𝐞𝐧𝐠𝐚𝐦𝐛𝐢𝐥 𝐤𝐞𝐩𝐮𝐭𝐮𝐬𝐚𝐧 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐭𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐦𝐞𝐧𝐠𝐨𝐫𝐛𝐚𝐧𝐤𝐚𝐧 𝐨𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐥𝐚𝐢𝐧 (𝐚𝐩𝐚𝐥𝐚𝐠𝐢 𝐡𝐢𝐧𝐠𝐠𝐚 𝐧𝐲𝐚𝐰𝐚 𝐝𝐚𝐧 𝐤𝐞𝐥𝐮𝐚𝐫𝐠𝐚) 𝐝𝐚𝐧 𝐥𝐞𝐛𝐢𝐡 𝐦𝐞𝐦𝐞𝐧𝐭𝐢𝐧𝐠𝐤𝐚𝐧 𝐡𝐮𝐛𝐮𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐣𝐚𝐧𝐠𝐤𝐚 𝐩𝐚𝐧𝐣𝐚𝐧𝐠 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐛𝐞𝐫𝐦𝐚𝐧𝐟𝐚𝐚𝐭 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐨𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐥𝐚𝐢𝐧 𝐚𝐝𝐚𝐥𝐚𝐡 𝐭𝐢𝐧𝐝𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐥𝐞𝐛𝐢𝐡 𝐛𝐚𝐢𝐤.


𝘋𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘭𝘢𝘩 (𝘬𝘢𝘳𝘦𝘯𝘢 𝘣𝘦𝘯𝘢𝘳), 𝘥𝘢𝘯 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘦𝘳𝘪 𝘬𝘦𝘴𝘦𝘮𝘱𝘢𝘵𝘢𝘯 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘭𝘢𝘪𝘯 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘮𝘦𝘯𝘪𝘬𝘮𝘢𝘵𝘪 𝘬𝘦𝘣𝘢𝘩𝘢𝘨𝘪𝘢𝘢𝘯, 𝘪𝘵𝘶 𝘣𝘦𝘳𝘢𝘳𝘵𝘪 𝘬𝘪𝘵𝘢 𝘴𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘮𝘦𝘯𝘢𝘮𝘣𝘢𝘩 𝘵𝘢𝘣𝘶𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘩𝘢𝘳𝘨𝘢 𝘥𝘪𝘳𝘪 𝘴𝘦𝘵𝘪𝘢𝘱 𝘩𝘢𝘳𝘪. 𝘚𝘢𝘭𝘥𝘰 𝘵𝘢𝘣𝘶𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘩𝘢𝘳𝘨𝘢 𝘥𝘪𝘳𝘪 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘵𝘦𝘳𝘶𝘴 𝘮𝘦𝘯𝘪𝘯𝘨𝘬𝘢𝘵 𝘴𝘦𝘪𝘳𝘪𝘯𝘨 𝘬𝘦𝘱𝘶𝘵𝘶𝘴𝘢𝘯-𝘬𝘦𝘱𝘶𝘵𝘶𝘴𝘢𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘪𝘵𝘢 𝘣𝘶𝘢𝘵 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘢𝘩𝘢𝘨𝘪𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘭𝘢𝘪𝘯


Ditulis kembali dengan beberapa perubahan dari buku "SETENGAH PECAH SETENGAH UTUH"

Minggu, 24 Juli 2022

𝐓𝐔𝐊𝐀𝐍𝐆 𝐍𝐆𝐀𝐌𝐄𝐍 𝐉𝐀𝐃𝐈 𝐃𝐈𝐑𝐄𝐊𝐓𝐔𝐑


Lahir dari keluarga sangat sederhana dipinggiran kota Cirebon, Subrata mempunyai 3 saudara, satu perempuan dan dua laki-laki.

Sampai lulus SD, Subrata kecil berangkat ke sekolah berjalan kaki sejauh 3km, sehingga ia harus berangkat sebelum ayam berkokok.

Saat SMP, dia harus menempuh jarak lebih jauh lagi ke Cirebon dan harus bersepeda atau naik omprengan. Bahkan tak jarang ia harus numpang menginap dirumah kawannya, karena kemalaman. Hal itu masih dijalani sampai kl 2 SMA.

Karena punya rencana akan kuliah di Yogyakarta, maka Subrata hijrah ke kota itu pada saat kl.2 SMA. Dengan uang yang pas-pasan, usai SMA dia akhirnya mendaftar untuk kuliah di UGM. Orang tuanya hanya bisa memberikan sumbangan semampunya untuk membiayai kuliahnya, selebihnya dia harus mencari sendiri kekurangannya. Untunglah,dia punya jiwa seni saat SD dengan menjadi pemain sandiwara.

Maka, sambil kuliah pun Subrata mencoba mencari uang dengan mengamen di Malioboro, dari rumah kerumah, dari kantor ke kantor dari toko ketoko untuk menyalurkan jiwa seni sekaligus membiayai hidup.

Hidup sederhana itu dijalani Subrata sampai lulus kuliah dari  fakultas ilmu politik, jurusan hubungan internasional UGM dan pulanglah ia kembali ke kampung.

Rencananya ia akan merantau ke Jakarta berbekal dengan ijazah itu. Tapi kekayaan orang tuanya yang hanya buruh tani sudah tak ada lagi. Namun dia tetap berangkat dengan tak ada tempat yang akan dituju.

Sampai di stasiun Gambir, dia kebingungan mesti harus kemana sampai akhirnya menemukan warung di pejambon dekat kantor departemen luar negeri.

Pemilik warung berbaik hati mau menampung sementara ia belum bekerja. Di warung itu, dia bertemu dengan pak Yanto, seorang sopir truk yang mengajak tinggal dirumahnya. Jadilah dia pindah kerumah bilik kecil tanpa nomor itu sambil diam-diam mengirim lamaran kerjanya. Kepada tuan rumah dia tidak mengaku sarjana, hanya bisa baca-tulis saja.

Tak lama kemudian lamaran kerjanya di TVRI mendapat balasan. Namun perlu waktu 9 tahun untuk diterima sebagai pegawai tetap TVRI.

Pada awal bekerja, Subrata menjalani semua pekerjaan mulai dari reporter, menulis berita, juru kamera. Kegigihannya berbuah manis. Ia terpilih 1 dari 27 peserta dari 27 negara yang mengikuti pelatihan di Glasgow, Skotlandia dengan spesialisasi "𝐓𝐞𝐥𝐞𝐯𝐢𝐬𝐢𝐨𝐧 𝐍𝐞𝐰𝐬 𝐏𝐫𝐨𝐝𝐮𝐜𝐭𝐢𝐨𝐧&𝐛𝐫𝐨𝐚𝐝𝐜𝐚𝐬𝐭 𝐒𝐚𝐭𝐭𝐞𝐥𝐢𝐭𝐞 𝐒𝐲𝐬𝐭𝐞𝐦".

Dan karir Subrata di TVRI makin maju mulai dari kepala subdirektorat pemberitaan TVRI, direktur TVRI, staf departemen penerangan, dirut perum percetakan RI dan jabatan di beberapa lembaga lain.

Tahun 2002, Subrata lulus  S3 jurusan hukum bisnis universitas Padjadjaran dan doktor ilmu hukum di universitas yang sama pada 2005.

Subrata mengikuti nasihat orang tuanya yang mengatakan warisan yang berharga adalah ilmu,bukan harta, sehingga dia tetap mengejarnya meski sudah punya jabatan tinggi...[]


Dari buku

ORANG MISKIN(BOLEH) SUKSES SEKOLAH

𝗞𝗜𝗦𝗔𝗛 𝗚𝗨𝗥𝗨 𝗗𝗔𝗡 𝗠𝗨𝗥𝗜𝗗𝗡𝗬𝗔

Saat les berjalan 1jam, tiba-tiba datanglah seorang bapak mengantar anaknya yang menangis. Mereka datang dari laut dengan baju basah karena hujan dan tangan berkerut karena kedinginan.

Bapaknya menjelaskan bahwa anak sudah meronta ingin pulang karena kedinginan dan ingin ikut les. Guru itu tersenyum dan merangkulnya untuk kemudian berbaur dengan kawannya yang lain dan bapaknya pulang.

Saat les berakhir hujan belum reda, tapi mereka harus pulang sambil tersenyum dan mengucap salam.

Namun,anak yang terlambat tadi masih belum beranjak.

"𝑩𝒖,𝒔𝒂𝒚𝒂 𝒊𝒏𝒈𝒊𝒏 𝒎𝒊𝒏𝒕𝒂 𝒎𝒂𝒂𝒇 𝒌𝒆𝒑𝒂𝒅𝒂 𝒂𝒚𝒂𝒉 𝒔𝒂𝒚𝒂", katanya 

𝑲𝒆𝒏𝒂𝒑𝒂 ,𝑵𝒂𝒌?"

"𝑰𝒌𝒖𝒕 𝒎𝒆𝒍𝒂𝒖𝒕 𝒕𝒂𝒅𝒊 𝒂𝒅𝒂𝒍𝒂𝒉 𝒌𝒆𝒊𝒏𝒈𝒊𝒏𝒂𝒏 𝒔𝒂𝒚𝒂, 𝒌𝒂𝒓𝒆𝒏𝒂 𝒔𝒂𝒚𝒂 𝒉𝒂𝒓𝒖𝒔 𝒃𝒂𝒏𝒕𝒖 𝒋𝒖𝒂𝒍 𝒊𝒌𝒂𝒏 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒃𝒆𝒍𝒊 𝒃𝒖𝒌𝒖 𝒕𝒖𝒍𝒊𝒔. 𝑩𝒖𝒌𝒖 𝒕𝒖𝒍𝒊𝒔 𝒔𝒂𝒚𝒂 𝒉𝒂𝒃𝒊𝒔, 𝑩𝒖"

Ibu Guru itu diam. Ia terenyuh. "𝑻𝒂𝒑𝒊 𝒔𝒂𝒚𝒂 𝒎𝒆𝒏𝒚𝒂𝒍𝒂𝒉𝒌𝒂𝒏 𝒃𝒂𝒑𝒂𝒌" anak itu menunduk sedih.

"𝑻𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒂𝒑𝒂-𝒂𝒑𝒂,𝒌𝒂𝒎𝒖 𝒔𝒖𝒅𝒂𝒉 𝒃𝒆𝒏𝒂𝒓 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒂𝒌𝒖𝒊𝒏𝒚𝒂"

"𝑩𝒖, 𝒔𝒂𝒂𝒕 𝒕𝒆𝒎𝒂𝒏-𝒕𝒆𝒎𝒂𝒏 𝒃𝒆𝒓𝒄𝒊𝒕𝒂-𝒄𝒊𝒕𝒂 𝒋𝒂𝒅𝒊 𝒅𝒐𝒌𝒕𝒆𝒓, 𝒕𝒆𝒏𝒕𝒂𝒓𝒂 𝒔𝒂𝒚𝒂 𝒕𝒂𝒌 𝒊𝒏𝒈𝒊𝒏 𝒋𝒂𝒅𝒊 𝒂𝒑𝒂-𝒂𝒑𝒂. 𝑺𝒂𝒚𝒂 𝒉𝒂𝒏𝒚𝒂 𝒊𝒏𝒈𝒊𝒏 𝒋𝒂𝒅𝒊 𝒏𝒆𝒍𝒂𝒚𝒂𝒏, 𝒔𝒆𝒑𝒆𝒓𝒕𝒊 𝒂𝒚𝒂𝒉 𝒔𝒂𝒚𝒂. 𝑨𝒑𝒂 𝒂𝒅𝒂 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒔𝒂𝒍𝒂𝒉, 𝑩𝒖 𝒋𝒊𝒌𝒂 𝒔𝒂𝒚𝒂 𝒎𝒆𝒏𝒋𝒂𝒅𝒊 𝒏𝒆𝒍𝒂𝒚𝒂𝒏?"

Guru itu diam.Percakapan singkat itu membuat guru itu menarik nafas panjang,lalu berkata:

"𝑵𝒂𝒌,𝒋𝒂𝒅𝒊 𝒂𝒑𝒂𝒑𝒖𝒏 𝒏𝒂𝒏𝒕𝒊,𝒔𝒆𝒕𝒊𝒏𝒈𝒈𝒊 𝒂𝒑𝒂𝒑𝒖𝒏 𝒄𝒊𝒕𝒂-𝒄𝒊𝒕𝒂𝒎𝒖, 𝒋𝒂𝒅𝒊𝒍𝒂𝒉 𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒃𝒂𝒊𝒌 𝒅𝒂𝒏 𝒑𝒊𝒏𝒕𝒂𝒓. 𝑲𝒂𝒍𝒂𝒖 𝒋𝒂𝒅𝒊 𝒅𝒐𝒌𝒕𝒆𝒓, 𝒋𝒂𝒅𝒊𝒍𝒂𝒉 𝒅𝒐𝒌𝒕𝒆𝒓 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒃𝒂𝒊𝒌 𝒅𝒂𝒏 𝒑𝒊𝒏𝒕𝒂𝒓, 𝒌𝒂𝒍𝒂𝒖 𝒋𝒂𝒅𝒊 𝒕𝒆𝒏𝒕𝒂𝒓𝒂, 𝒋𝒂𝒅𝒊𝒍𝒂𝒉 𝒕𝒆𝒏𝒕𝒂𝒓𝒂 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒃𝒂𝒊𝒌 𝒅𝒂𝒏 𝒑𝒊𝒏𝒕𝒂𝒓. 𝑫𝒆𝒎𝒊𝒌𝒊𝒂𝒏 𝒑𝒖𝒍𝒂 𝒌𝒂𝒍𝒂𝒖 𝒋𝒂𝒅𝒊 𝒏𝒆𝒍𝒂𝒚𝒂𝒏. 𝑺𝒆𝒌𝒐𝒍𝒂𝒉𝒍𝒂𝒉 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒃𝒂𝒊𝒌 𝒅𝒂𝒏 𝒑𝒊𝒏𝒕𝒂𝒓 𝒎𝒂𝒌𝒂 𝒌𝒆𝒍𝒂𝒌 𝒌𝒂𝒖 𝒋𝒂𝒅𝒊 𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒃𝒂𝒊𝒌 𝒅𝒂𝒏 𝒑𝒊𝒏𝒕𝒂𝒓".

Murid itu diam

"𝑺𝒂𝒚𝒂 𝒕𝒂𝒌 𝒊𝒏𝒈𝒊𝒏 𝒋𝒂𝒖𝒉-𝒋𝒂𝒖𝒉 𝒅𝒂𝒓𝒊 𝒕𝒂𝒏𝒂𝒉 𝒊𝒏𝒊. 𝑨𝒌𝒂𝒏 𝒔𝒂𝒚𝒂 𝒋𝒂𝒅𝒊𝒌𝒂𝒏 𝒅𝒊 𝒔𝒊𝒏𝒊 𝒔𝒆𝒑𝒆𝒓𝒕𝒊 𝒅𝒊𝒔𝒂𝒏𝒂" jawabnya sambil meringis dan tersenyum.

Guru itu hanya bisa mengusap kepalanya dan menyuruh pulang, karena hari sudah gelap. Guru itu menatap kepergian muridnya dengan langkah kaki yang sedikit berirama. Mungkin tanda ia senang.

Sore menjadi gelap.Hari ini sempurna bagi guru itu. Ia banyak belajar dari kegigihan, ketangguhan dan kejujuran muridnya.

Bahwa jadi apapun kita nanti dan sekarang, jadilah orang yang baik dan orang yang pintar...[]

       

 (Dikisahkan oleh Furiyani Nur Amalia, pengajar muda kab.kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara)

       

 Dari buku

INDONESIA MENGAJAR 2



Sabtu, 23 Juli 2022

SIKAP


"𝚂𝚊𝚝𝚞 𝚊𝚙𝚎𝚕 𝚋𝚞𝚜𝚞𝚔, 𝚓𝚒𝚔𝚊 𝚍𝚒𝚝𝚎𝚖𝚙𝚊𝚝𝚔𝚊𝚗 𝚍𝚒 𝚔𝚎𝚛𝚊𝚗𝚓𝚊𝚗𝚐 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚋𝚎𝚛𝚒𝚜𝚒 𝚊𝚙𝚎𝚕-𝚊𝚙𝚎𝚕 𝚋𝚊𝚐𝚞𝚜, 𝚖𝚊𝚔𝚊 𝚝𝚊𝚔 𝚕𝚊𝚖𝚊 𝚔𝚎𝚖𝚞𝚍𝚒𝚊𝚗 𝚜𝚎𝚕𝚞𝚛𝚞𝚑 𝚊𝚙𝚎𝚕 𝚋𝚊𝚐𝚞𝚜 𝚝𝚎𝚛𝚜𝚎𝚋𝚞𝚝 𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚝𝚞𝚛𝚞𝚝 𝚋𝚞𝚜𝚞𝚔"

Awal tahun ajaran baru, seorang kepala sekolah memanggil 3 orang guru yang termasuk guru terbaik.

"𝑨𝒏𝒅𝒂 𝒂𝒅𝒂𝒍𝒂𝒉 𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒑𝒊𝒍𝒊𝒉𝒂𝒏 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒆𝒎𝒑𝒖𝒏𝒚𝒂𝒊 𝒊𝒏𝒕𝒆𝒈𝒓𝒊𝒕𝒂𝒔 𝒕𝒊𝒏𝒈𝒈𝒊. 𝑶𝒍𝒆𝒉 𝒌𝒂𝒓𝒆𝒏𝒂 𝒊𝒕𝒖 , 𝑺𝒂𝒚𝒂 𝒃𝒆𝒓𝒊𝒌𝒂𝒏 𝒌𝒆𝒑𝒂𝒅𝒂 𝑨𝒏𝒅𝒂 𝟗𝟎 𝒔𝒊𝒔𝒘𝒂 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒕𝒊𝒏𝒈𝒌𝒂𝒕 𝒌𝒆𝒄𝒆𝒓𝒅𝒂𝒔𝒂𝒏 𝒅𝒊𝒂𝒕𝒂𝒔 𝒓𝒂𝒕𝒂-𝒓𝒂𝒕𝒂. 𝑺𝒂𝒚𝒂 𝒃𝒆𝒓𝒊𝒌𝒂𝒏 𝒌𝒆𝒘𝒆𝒏𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒌𝒆𝒑𝒂𝒅𝒂 𝑨𝒏𝒅𝒂 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒈𝒆𝒓𝒂𝒌𝒌𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒓𝒆𝒌𝒂 𝒔𝒆𝒉𝒊𝒏𝒈𝒈𝒂 𝒏𝒂𝒏𝒕𝒊 𝒑𝒂𝒅𝒂 𝒂𝒌𝒉𝒊𝒓 𝒕𝒂𝒉𝒖𝒏 𝒑𝒆𝒍𝒂𝒋𝒂𝒓𝒂𝒏 𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒌𝒊𝒕𝒂 𝒅𝒂𝒑𝒂𝒕𝒌𝒂𝒏 𝒎𝒖𝒓𝒊𝒅-𝒎𝒖𝒓𝒊𝒅 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝑰𝑸 𝒅𝒂𝒏 𝒔𝒆𝒎𝒂𝒏𝒈𝒂𝒕 𝒃𝒆𝒍𝒂𝒋𝒂𝒓 𝒕𝒊𝒏𝒈𝒈𝒊 𝒅𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒏𝒄𝒂𝒑𝒂𝒊 𝒑𝒓𝒆𝒔𝒕𝒂𝒔𝒊 𝟐𝟎 𝒉𝒊𝒏𝒈𝒈𝒂 𝟑𝟎% 𝒅𝒂𝒓𝒊 𝒔𝒆𝒃𝒆𝒍𝒖𝒎𝒏𝒚𝒂"

Usai tahun ajaran, kembali kepala sekolah memanggil ketiga guru tersebut.

"𝑺𝒂𝒚𝒂 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒖𝒄𝒂𝒑𝒌𝒂𝒏 𝒕𝒆𝒓𝒊𝒎𝒂𝒌𝒂𝒔𝒊𝒉 𝒂𝒕𝒂𝒔 𝒃𝒊𝒎𝒃𝒊𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒔𝒂𝒖𝒅𝒂𝒓𝒂 𝒔𝒆𝒉𝒊𝒏𝒈𝒈𝒂 𝒔𝒊𝒔𝒘𝒂 𝒌𝒊𝒕𝒂 𝒃𝒆𝒏𝒂𝒓-𝒃𝒆𝒏𝒂𝒓 𝒎𝒆𝒏𝒄𝒂𝒑𝒂𝒊 𝒑𝒆𝒏𝒊𝒏𝒈𝒌𝒂𝒕𝒂𝒏 𝒑𝒓𝒆𝒔𝒕𝒂𝒔𝒊 𝟐𝟎-𝟑𝟎%. 𝑴𝒐𝒉𝒐𝒏 𝒎𝒂𝒂𝒇, 𝒔𝒆𝒃𝒆𝒕𝒖𝒍𝒏𝒚𝒂 𝒌𝒆 𝟗𝟎 𝒔𝒊𝒔𝒘𝒂 𝒕𝒂𝒅𝒊 𝒔𝒆𝒃𝒆𝒏𝒂𝒓𝒏𝒚𝒂 𝒂𝒅𝒂𝒍𝒂𝒉 𝒔𝒊𝒔𝒘𝒂 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒃𝒊𝒂𝒔𝒂 𝒔𝒂𝒋𝒂, 𝒃𝒖𝒌𝒂𝒏 𝒔𝒊𝒔𝒘𝒂 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒊𝒔𝒕𝒊𝒎𝒆𝒘𝒂"

Mendengar keterangan kepala sekolah tadi, ketiga guru tadi merasa senang dan bangga, karena telah berhasil merubah siswa yang 'biasa-biasa' menjadi siswa yang 'luar biasa'.

Lalu kepala sekolah berkata "𝑨𝒅𝒂𝒑𝒖𝒏 𝒑𝒆𝒎𝒊𝒍𝒊𝒉𝒂𝒏 𝒕𝒆𝒓𝒉𝒂𝒅𝒂𝒑 𝑺𝒂𝒖𝒅𝒂𝒓𝒂 𝒔𝒆𝒃𝒂𝒈𝒂𝒊 𝒈𝒖𝒓𝒖 𝒕𝒆𝒓𝒃𝒂𝒊𝒌 𝒑𝒖𝒏 𝒔𝒆𝒃𝒆𝒏𝒂𝒓𝒏𝒚𝒂 𝒅𝒊𝒍𝒂𝒌𝒖𝒌𝒂𝒏 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒂𝒄𝒂𝒌, 𝒃𝒖𝒌𝒂𝒏 𝒌𝒂𝒓𝒆𝒏𝒂 𝒑𝒓𝒆𝒔𝒕𝒂𝒔𝒊 𝒅𝒂𝒏 𝒊𝒏𝒕𝒆𝒈𝒓𝒊𝒕𝒂𝒔 𝒔𝒂𝒖𝒅𝒂𝒓𝒂"

Para guru itupun terkejut, mengingat mereka mampu melakukan suatu perubahan besar, padahal mereka adalah 'biasa-biasa' saja.

Rupanya ,yang mampu membuat mereka melakukan hal itu adalah sikap dan cara pandang dalam memperlakukan orang lain...[]

"𝐏𝐞𝐦𝐢𝐦𝐩𝐢𝐧 𝐬𝐞𝐣𝐚𝐭𝐢 𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐦𝐞𝐦𝐩𝐞𝐫𝐥𝐢𝐡𝐚𝐭𝐤𝐚𝐧 𝐩𝐞𝐫𝐛𝐞𝐝𝐚𝐚𝐧 𝐤𝐡𝐮𝐬𝐮𝐬 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐨𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐥𝐚𝐢𝐧. 𝐁𝐮𝐤𝐚𝐧 𝐦𝐞𝐧𝐲𝐚𝐧𝐠𝐤𝐮𝐭 𝐩𝐞𝐧𝐝𝐢𝐝𝐢𝐤𝐚𝐧, 𝐠𝐞𝐥𝐚𝐫, 𝐤𝐞𝐤𝐚𝐲𝐚𝐚𝐧 𝐚𝐭𝐚𝐮 𝐣𝐚𝐛𝐚𝐭𝐚𝐧, 𝐦𝐞𝐥𝐚𝐢𝐧𝐤𝐚𝐧 𝐤𝐚𝐫𝐞𝐧𝐚 𝐬𝐢𝐤𝐚𝐩𝐧𝐲𝐚"

(Denis Waitley)


Disederhanakan dari buku

"Setengah pecah setengah utuh"



Jumat, 22 Juli 2022

𝙈𝙀𝙈𝘽𝙀𝙇𝙄 𝙆𝙀𝘽𝘼𝙃𝘼𝙂𝙄𝘼𝘼𝙉 𝘿𝙀𝙉𝙂𝘼𝙉 𝙎𝙀𝘿𝙀𝙆𝘼𝙃


 حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَعَامُ الِاثْنَيْنِ كَافِي الثَّلَاثَةِ وَطَعَامُ الثَّلَاثَةِ كَافِي الْأَرْبَعَةِ

𝐓𝐞𝐥𝐚𝐡 𝐦𝐞𝐧𝐜𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐤𝐞𝐩𝐚𝐝𝐚 𝐤𝐚𝐦𝐢 𝐘𝐚𝐡𝐲𝐚 𝐛𝐢𝐧 𝐘𝐚𝐡𝐲𝐚 𝐝𝐢𝐚 𝐛𝐞𝐫𝐤𝐚𝐭𝐚; 𝐀𝐤𝐮 𝐦𝐞𝐦𝐛𝐚𝐜𝐚 𝐇𝐚𝐝𝐢𝐭𝐬 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐌𝐚𝐥𝐢𝐤 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐀𝐛𝐮 𝐀𝐳 𝐙𝐢𝐧𝐚𝐝 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐀𝐥 𝐀'𝐫𝐚𝐣 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐀𝐛𝐮 𝐇𝐮𝐫𝐚𝐢𝐫𝐚𝐡 𝐝𝐢𝐚 𝐛𝐞𝐫𝐤𝐚𝐭𝐚; 𝐑𝐚𝐬𝐮𝐥𝐮𝐥𝐥𝐚𝐡 𝐬𝐡𝐚𝐥𝐥𝐚𝐥𝐥𝐚𝐡𝐮 '𝐚𝐥𝐚𝐢𝐡𝐢 𝐰𝐚𝐬𝐚𝐥𝐥𝐚𝐦 𝐛𝐞𝐫𝐬𝐚𝐛𝐝𝐚: "𝐌𝐚𝐤𝐚𝐧𝐚𝐧 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐝𝐮𝐚 𝐨𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐜𝐮𝐤𝐮𝐩 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐝𝐢𝐦𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐭𝐢𝐠𝐚 𝐨𝐫𝐚𝐧𝐠, 𝐝𝐚𝐧 𝐦𝐚𝐤𝐚𝐧𝐚𝐧 𝐭𝐢𝐠𝐚 𝐨𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐜𝐮𝐤𝐮𝐩 𝐝𝐢𝐦𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐞𝐦𝐩𝐚𝐭 𝐨𝐫𝐚𝐧𝐠."


"𝗨𝗮𝗻𝗴 𝗱𝗮𝗽𝗮𝘁 𝗺𝗲𝗺𝗯𝗲𝗹𝗶 𝗸𝗲𝗯𝗮𝗵𝗮𝗴𝗶𝗮𝗮𝗻❟ 𝘁𝗲𝘁𝗮𝗽𝗶 𝗵𝗮𝗻𝘆𝗮 𝗷𝗶𝗸𝗮 𝗔𝗻𝗱𝗮 𝗺𝗲𝗻𝗴𝗲𝗹𝘂𝗮𝗿𝗸𝗮𝗻𝗻𝘆𝗮 𝘂𝗻𝘁𝘂𝗸 𝗼𝗿𝗮𝗻𝗴 𝗹𝗮𝗶𝗻"

Demikian laporan dari sebuah penelitian sebuah tim di University of British Columbia dan Harvard Bussiness School.

Dari  eksperimen terhadap lebih dari 630 orang Amerika serikat menunjukkan bahwa mereka secara mencolok lebih bahagia saat mengeluarkan uang untuk orang lain -- sekalipun mereka berpikir bahwa menghabiskan uang untuk diri sendiri akan membuat mereka bahagia.

"𝑲𝒂𝒎𝒊 𝒊𝒏𝒈𝒊𝒏 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒖𝒋𝒊 𝒕𝒆𝒐𝒓𝒊 𝒌𝒂𝒎𝒊, 𝒃𝒂𝒉𝒘𝒂 𝒄𝒂𝒓𝒂 𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈-𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒆𝒎𝒃𝒆𝒍𝒂𝒏𝒋𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒖𝒂𝒏𝒈 𝒔𝒆𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌𝒏𝒚𝒂 𝒔𝒂𝒎𝒂 𝒑𝒆𝒏𝒕𝒊𝒏𝒈𝒏𝒚𝒂 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒃𝒆𝒓𝒂𝒑𝒂 𝒃𝒂𝒏𝒚𝒂𝒌 𝒖𝒂𝒏𝒈 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒆𝒓𝒆𝒌𝒂 𝒑𝒆𝒓𝒐𝒍𝒆𝒉", kata Elizabeth Dunn, seorang psikolog di University of British Columbia.

Mereka bertanya kepada 600 relawan untuk menilai kebahagiaan umum mereka, melaporkan detail pendapatan tahunan mereka dan pengeluaran rutin bulanan.

"𝑻𝒆𝒓𝒏𝒚𝒂𝒕𝒂 𝒅𝒂𝒓𝒊 𝒃𝒆𝒓𝒂𝒑𝒂 𝒃𝒂𝒏𝒚𝒂𝒌 𝒑𝒆𝒏𝒅𝒂𝒑𝒂𝒕𝒂𝒏 𝒔𝒆𝒕𝒊𝒂𝒑 𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈, 𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈-𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒆𝒍𝒖𝒂𝒓𝒌𝒂𝒏 𝒖𝒂𝒏𝒈 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒌𝒆𝒑𝒆𝒏𝒕𝒊𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒍𝒂𝒊𝒏 𝒎𝒊𝒏𝒊𝒎𝒂𝒍 𝟓 𝒅𝒐𝒍𝒍𝒂𝒓 𝒑𝒆𝒓𝒉𝒂𝒓𝒊 𝒎𝒆𝒍𝒂𝒑𝒐𝒓𝒌𝒂𝒏 𝒌𝒆𝒃𝒂𝒉𝒂𝒈𝒊𝒂𝒂𝒏 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒍𝒆𝒃𝒊𝒉 𝒃𝒆𝒔𝒂𝒓, 𝒔𝒆𝒎𝒆𝒏𝒕𝒂𝒓𝒂 𝒎𝒆𝒓𝒆𝒌𝒂 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒉𝒂𝒃𝒊𝒔𝒌𝒂𝒏 𝒍𝒆𝒃𝒊𝒉 𝒃𝒂𝒏𝒚𝒂𝒌 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒅𝒊𝒓𝒊 𝒔𝒆𝒏𝒅𝒊𝒓𝒊 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒎𝒆𝒓𝒂𝒔𝒂 𝒍𝒆𝒃𝒊𝒉 𝒃𝒂𝒉𝒂𝒈𝒊𝒂", kata Dunn.

Tim Dunn juga meneliti 16 karyawan disebuah perusahaan di Boston sebelum dan sesudah mereka menerima pembagian bonus laba tahunan antara US $ 3.000 - 8.000. "Karyawan yang berencana untuk menyisihkan lebih banyak dari bonus mereka untuk kegiatan sosial mengalami kebahagiaan yang lebih besar setelah menerima bonus, dan cara dimana mereka mengeluarkan bonus merupakan prediksi yang lebih penting bagi kebahagiaan mereka daripada ukuran bonus itu sendiri" begitu hasil laporan tertulisnya.

"𝑨𝒌𝒉𝒊𝒓𝒏𝒚𝒂 𝒅𝒊𝒍𝒂𝒑𝒐𝒓𝒌𝒂𝒏 𝒃𝒂𝒉𝒘𝒂 𝒑𝒂𝒓𝒂 𝒑𝒆𝒔𝒆𝒓𝒕𝒂 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒔𝒆𝒄𝒂𝒓𝒂 𝒂𝒄𝒂𝒌 𝒅𝒊𝒕𝒖𝒈𝒂𝒔𝒌𝒂𝒏 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒉𝒂𝒃𝒊𝒔𝒌𝒂𝒏 𝒖𝒂𝒏𝒈 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒍𝒂𝒊𝒏 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒂𝒍𝒂𝒎𝒊 𝒌𝒆𝒃𝒂𝒉𝒂𝒈𝒊𝒂𝒂𝒏 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒍𝒆𝒃𝒊𝒉 𝒃𝒆𝒔𝒂𝒓 𝒅𝒂𝒓𝒊𝒑𝒂𝒅𝒂 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒅𝒊𝒕𝒖𝒈𝒂𝒔𝒌𝒂𝒏 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒉𝒂𝒃𝒊𝒔𝒌𝒂𝒏 𝒖𝒂𝒏𝒈 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒅𝒊𝒓𝒊 𝒎𝒆𝒓𝒆𝒌𝒂 𝒔𝒆𝒏𝒅𝒊𝒓𝒊"  kata mereka.

"𝑻𝒆𝒎𝒖𝒂𝒏 𝒊𝒏𝒊 𝒎𝒆𝒏𝒖𝒏𝒋𝒖𝒌𝒌𝒂𝒏 𝒃𝒂𝒉𝒘𝒂 𝒑𝒆𝒓𝒖𝒃𝒂𝒉𝒂𝒏 𝒅𝒂𝒍𝒂𝒎 𝒂𝒍𝒐𝒌𝒂𝒔𝒊 𝒃𝒆𝒍𝒂𝒏𝒋𝒂 𝒔𝒆𝒌𝒖𝒓𝒂𝒏𝒈-𝒌𝒖𝒓𝒂𝒏𝒈𝒏𝒚𝒂 𝟓 𝒅𝒐𝒍𝒍𝒂𝒓 - 𝒎𝒖𝒏𝒈𝒌𝒊𝒏 𝒄𝒖𝒌𝒖𝒑 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒉𝒂𝒔𝒊𝒍𝒌𝒂𝒏 𝒑𝒆𝒓𝒐𝒍𝒆𝒉𝒂𝒏 𝒌𝒆𝒃𝒂𝒉𝒂𝒈𝒊𝒂𝒂𝒏 𝒑𝒂𝒅𝒂 𝒉𝒂𝒓𝒊 𝒕𝒆𝒓𝒕𝒆𝒏𝒕𝒖" kata Dunn. Hal ini dapat juga menjelaskan mengapa kita tidak bahagia meskipun secara finansial lebih kaya.[]


Dari buku

MANISNYA KOPI ASIN

𝗧𝗘𝗡𝗧𝗔𝗡𝗚 𝗠𝗨𝗛𝗔𝗝𝗜𝗥


Tanpa terasa waktu sudah beranjak ke pukul 21.00. Sejak ba'da Maghrib murid-murid kelas V yang kuajar bersama dengan beberapa anak kelas IV dan VI sudah meramaikan rumah dimana aku tinggal. Beberapa anak ada yang membaca buku, bermain catur, mengerjakan tugas dengan antusias.

Ah.... melihat keseriusan mereka aku ikut merasakan semangat. Apa hal ini terpacu oleh cita-cita yang mereka tuliskan tadi siang?.Khawatir kemalaman pulangnya, aku segera menyuruh mereka pulang

"𝑺𝒂𝒎𝒑𝒂𝒊 𝒋𝒖𝒎𝒑𝒂 𝒃𝒆𝒔𝒐𝒌 𝒅𝒊 𝒔𝒆𝒌𝒐𝒍𝒂𝒉 𝒚𝒂" ucapku.

Satu-persatu mereka meninggalkan rumahku, dan akupun mulai masuk rumah.

"𝑺𝒆𝒏𝒕𝒆𝒓𝒌𝒖 𝒎𝒂𝒕𝒊, 𝒃𝒊𝒔𝒂 𝒌𝒖𝒑𝒊𝒏𝒋𝒂𝒎 𝒑𝒖𝒏𝒚𝒂𝒎𝒖 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒑𝒖𝒍𝒂𝒏𝒈, 𝑩𝒖 𝑮𝒖𝒓𝒖?" Terdengar suara Muhajir mendekat 

Aku memejamkan mata sebentar, berpikir. Rumah Muhajir di dusun sebelah, Rattelemo. Dari dusun sebelah pun, ia harus turun melewati kebun-kebun kakao. Di bawah, ada sungai yang ketika kemarau mengering. Tetapi, musim kali ini sedang susah diduga, bisa saja hujan turun tiba-tiba. Rumahnya di pinggir jalan di seberang sungai. Mendaki sedikit. Tak ada tetangga dekat.

Ini sudah hampir setengah sepuluh malam. Tak ada penerangan di jalan-jalan. Hanya ada lampu-lampu redup dari beberapa rumah.

"𝑺𝒖𝒅𝒂𝒉 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒊𝒏𝒂𝒑 𝒔𝒂𝒋𝒂 𝒅𝒊 𝒔𝒊𝒏𝒊"  tawarku.

Dia menolak, karena dirumah hanya ada Ibu dan adik-adiknya.

"𝑲𝒆𝒎𝒂𝒏𝒂 𝑩𝒂𝒑𝒂𝒌𝒎𝒖?"

"𝑲𝒆 𝑴𝒂𝒎𝒖𝒋𝒖, 𝒌𝒆𝒓𝒋𝒂." jawab Muhajir

Hening hadir di antara kami.

Kembali dia meyakinkan aku tak perlu khawatir, karena dia biasa pulang malam

"𝑺𝒆𝒏𝒅𝒊𝒓𝒊𝒂𝒏?" tanyaku

Hening kembali. Ada rasa tak tega. Aku berpikir, lalu muncul keinginan untuk mengenal kehidupan Muhajir dan keluarganya.

"𝑲𝒂𝒍𝒂𝒖 𝒃𝒆𝒈𝒊𝒕𝒖, 𝒕𝒖𝒏𝒈𝒈𝒖 𝒔𝒆𝒃𝒆𝒏𝒕𝒂𝒓" kataku

Aku bergegas masuk ke kamar, mengambil senter dan jaket. Lalu turun ke bawah berpamitan dengan Mamak (𝐡𝐨𝐬𝐭 𝐟𝐚𝐦). Mamak kelihatan bingung, sibuk meminta salah seorang anaknya mengantarku. Tetapi, mereka sudah tidur semua. Kuyakinkan Mamak bahwa semua baik-baik saja.

Aku segera menghampiri Muhajir yang terlihat kebingungan.

"𝑨𝒚𝒐, 𝒌𝒊𝒕𝒂 𝒃𝒆𝒓𝒂𝒏𝒈𝒌𝒂𝒕,"  ajakku.

"𝑲𝒆𝒎𝒂𝒏𝒂 𝑩𝒖 𝑮𝒖𝒓𝒖?"

"𝑲𝒆 𝒓𝒖𝒎𝒂𝒉𝒎𝒖."

Dia hanya diam, mengikuti langkah-langkah di belakangku. Kadang menyamakan langkahku atau mendahuluinya, menyingkirkan rumput-rumput yang menghalangi jalan kami, menuntunku, menunjukkan arah. Senter tetap dibiarkannya di tanganku. Malam itu mendung, bintang enggan muncul. Tetapi, alam berbaik hati untuk tidak menurunkan hujan. Kulihat jam tangan, sudah pukul 23.00 saat kami tiba di rumah Muhajir. Kami disambut lolongan anjing penjaga kebun milik keluarga Muhajir.

Muhajir mengajakku untuk naik ke rumahnya. Dia membuka pintu pelan-pelan, enggan membangunkan seisi rumah yang tengah dibuai mimpi. Sebuah rumah panggung sederhana terpencil di kawasan perkebunan. Hanya ada dua ruangan di rumah yang berukuran 5x 4 meter itu. Satu untuk menyimpan bantal atau barang apa saja, satu lagi untuk ruang serbaguna. Tak ada perabot meja, kursi. Hanya ada dua almari, satu untuk menyimpan pakaian, satu lagi untuk menyimpan peralatan dapur. Aku menunduk melewati pintu, mematung melihat badan-badan yang terlelap damai memenuhi ruangan di depanku. Ada empat orang di sana dan ruangan sudah keliatan sesak. Dengan diterangi cahaya lampu minyak tanah, aku menjadi cemas, apakah ruang Muhajir untuk tidur akan kuambil. Lalu Muhajir menuntunku memasuki ruangan di atas kepala-kepala itu rebah. Menatakan bantal dan membuka kelambu untukku. Memintaku untuk tidur, lalu undur menyusul keluarganya yang lain yang telah lelap. Aku bingung. Tak ada kata-kata yang sanggup keluar. Aku tak bisa memejamkan mata. Pikiranku melayang-layang. Seberapa besar mereka harus kompromi dengan keadaan. Aku merenung. Lalu pelita dimatikan. Gelap.

Entah kapan aku terlelap, ketika bangun, rumah telah gaduh. Kudengar seorang perempuan sedang mengomel, disahuti suara anak laki-laki. Rupanya itu adalah percakapan antara Muhajir dan Mamaknya. Mamaknya memprotes kenapa semalam dia tidak dibangunkan untuk menjamu Ibu Guru. Disini profesi guru memang sangat dihormati. Aku menjadi malu dan tidak enak hati, mendengar percakapan mereka.

Aku keluar dan menjumpai Mamak Muhajir yang berulang kali meminta maaf karena tidak menjamu dengan baik. Aku menjadi tidak enak hati, ini toh salahku yang bertamu malam-malam tanpa memberi tahu. Aku malah menyusahkan dan menimbulkan kesungkanan. Anak-anak pamit keluar, bersiap-siap mandi untuk ke sekolah. Aku pun ingin segera berpamitan jikalau tak ditahan karena harus pulang dulu mengganti baju.


Hari masih gelap, matahari pun masih lelap. Tetapi, di rumah ini, orang-orang telah sibuk ke sana ke mari. Mamak Muhajir menyorongkan secangkir minuman hangat sambil berkali kali meminta maaf dengan keadaan rumahnya yang seadanya.

Selesai anak-anak berkemas, aku pun berpamitan untuk pulang. Muhajir meminta izin agar adiknya yang belum genap lima tahun bisa ikut ke sekolah karena Mamaknya harus mengambil pisang dan membersihkan kebun. Di sepanjang perjalanan, sesekali bocah Kelas V itu harus menggendong adiknya yang kelelahan berjalan. Tidak hanya Muhajir yang harus membawa adiknya ke sekolah, beberapa murid  seringkali membawa adik mereka ke sekolah. Tentu saja ini sangat mengganggu apalagi ketika adik merengek-rengek minta ini-itu saat kakak mereka tengah sibuk belajar. Tetapi, di sekolah ini kita harus menjadi sering berkompromi apalagi saat musim panen kakao.

Orangtua mereka sibuk mengurus kebun, mencari makan untuk bertahan hidup. Sebagian, anak-anak diminta untuk ikut ke kebun membantu. Sebagian dibiarkan ke sekolah, tetapi mengajak adiknya yang masih kecil-kecil.


Pada perjalanan menuju sekolah, ada pemandangan janggal di kiri-kanan jalan yang kami lewati hari itu. Rumah panggung Muhajir, masjid desa dan 

sekolah dan beberapa rumah sederhana yang lain. Muhajir berlari-lari dengan tas yang robek dan seragam yang lusuh. Sesekali tertawa menggendong adiknya. Sesekali kesal menurunkan adiknya. Orang-orang tua bersarung yang sedang asyik mengobrol sambil menjemur kakao. Motor-motor yang berseliweran. Orang-orang yang berlalu lalang tanpa alas kaki membawa parang. Pegawai-pegawai negeri yang datang ke sekolah dan kantor dengan sepatu dan seragam rapi.


Pikiran saya berloncatan ke kota tempat saya berasal di mana jalan-jalan layang bertebaran, gedung-gedung tinggi menjulang. Lalu kembali ke desa di mana saya tinggal sekarang. Jalan hanya ada satu, itupun rusak terbengkalai. Timpang. Ya, ketimpangan yang terlampau jauh.

Pikiran saya lompat lagi ke pertanyaan Muhajir, rumah Muhajir, kehidupannya yang menurut saya serba susah lalu kehidupan saya di kota yang serba mudah. Takdir? Ah saya rasa ini bukan takdir.[]


(Dikisahkan oleh Atika Asterina Saraswati, Pengajar Muda di Majene, Sulawesi barat dalam buku "Mengabdi di Negeri Pelangi")



Sabtu, 16 Juli 2022

ᗩᑎTᗩᖇᗩ ᑕIᑎTᗩ ᗪᗩᑎ ᗷEᖇᗷᗩGI


"𝘊𝘪𝘯𝘵𝘢 𝘣𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘫𝘢𝘳 𝘬𝘪𝘵𝘢 𝘭𝘦𝘮𝘢𝘩, 𝘵𝘦𝘵𝘢𝘱𝘪 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘢𝘯𝘨𝘬𝘪𝘵𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘬𝘶𝘢𝘵𝘢𝘯. 𝘊𝘪𝘯𝘵𝘢 𝘣𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘫𝘢𝘳 𝘬𝘪𝘵𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘩𝘪𝘯𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘪𝘳𝘪, 𝘵𝘦𝘵𝘢𝘱𝘪 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘩𝘦𝘮𝘣𝘶𝘴𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘨𝘢𝘨𝘢𝘩𝘢𝘯. 𝘊𝘪𝘯𝘵𝘢 𝘣𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘭𝘦𝘮𝘢𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘮𝘢𝘯𝘨𝘢𝘵, 𝘵𝘦𝘵𝘢𝘱𝘪 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘢𝘯𝘨𝘬𝘪𝘵𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘮𝘢𝘯𝘨𝘢𝘵."

(Buya Hamka)


Gadis cilik itu bernama Siti Marhamah. Dalam usia yang 7 tahun ia sudah bergolek menunggu habisnya quota usia. 𝑨𝒏𝒆𝒎𝒊𝒂 𝑨𝒑𝒍𝒂𝒔𝒕𝒊𝒌, suatu penyakit kelainan darah, telah membuatnya akrab dengan jarum suntik dan infus yang menghujam tubuhnya. Dan akibatnya penampilan gadis itu makin menyeramkan: mata membelalak, rambut jarang dan wajah yang pucat. Mengetahui anaknya tak punya harapan hidup, bapaknya menghilang dengan bajaj nya. Ibunya meninggal diseruduk angkutan umum dalam perjalanan menuju apotek untuk menebus obatnya. Kini tinggal dua orang kakaknya yang menemani usai mengamen di perempatan Salemba.

Di usianya yang masih hijau, ia telah belajar bahwa setiap detik dalam kehidupan begitu berharga. la tidak pernah menangis meski suster berulangkali menghujamkan jarum-jarum tajam di sekujur tubuhnya. Ia malah acapkali bertanya,

"𝑺𝒖𝒔𝒕𝒆𝒓 𝒊𝒕𝒖 𝒐𝒃𝒂𝒕 𝒂𝒑𝒂, 𝒌𝒐𝒌 𝒘𝒂𝒓𝒏𝒂𝒏𝒚𝒂 𝒍𝒖𝒄𝒖 𝒚𝒂?","𝑺𝒖𝒔𝒕𝒆𝒓 𝒌𝒐𝒌 𝒃𝒊𝒔𝒂 𝒚𝒂 𝒄𝒂𝒊𝒓𝒂𝒏 𝒊𝒕𝒖 𝒅𝒊𝒎𝒂𝒔𝒖𝒌𝒌𝒂𝒏 𝒍𝒆𝒘𝒂𝒕 𝒕𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏𝒌𝒖?" atau "𝑺𝒖𝒔𝒕𝒆𝒓 𝒄𝒂𝒑𝒆𝒌 𝒚𝒂? 𝑴𝒂𝒂𝒇 𝒂𝒌𝒖 𝒎𝒆𝒓𝒆𝒑𝒐𝒕𝒌𝒂𝒏." Siti Marhamah tidak menangis meskipun lengannya terasa sangat pedih.


Para susterlah yang kerap bersimbah air mata. Silih berganti mereka datang sekadar untuk menemani Siti bermain atau mendongengkan sebuah cerita.


Siti mengetahui bahwa usianya tidak akan panjang dan hidupnya tidak lama lagi akan berakhir. Sering para suster mengintip Siti yang terpekur dan tersenyum sendiri, tampak sekali ia rindu untuk bebas dari himpitan rasa sakit.


Lalu datanglah wanita cantik paruh baya itu. Seorang ibu bernama Anne Situmorang yang dengan lembut merawat dan bertukar cerita dengan Siti. Ia rela duduk berjam-jam hanya untuk membelai dahi Siti, atau sekadar menggenggam lengannya yang menggigil dalam serangan kesakitan. Anne bukanlah kerabat Siti, bahkan Siti pun tak mengenalnya, namun ia selalu datang setiap hari, membelai dan mendampingi seolah Siti adalah anaknya sendiri.


la pernah bertanya, apakah yang Siti paling inginkan saat ini? Lalu dengan kalimat lirih yang terpatah-patah, Siti membisikkan bahwa ia ingin memiliki sebuah boneka Barbie berjilbab yang pernah dilihatnya di majalah "Ummi" milik Suster Rahmi. Keesokan harinya, Anne datang dengan membawa sebuah kardus berukuran sedang terbungkus kertas kado bergambar beruang yang bagus. Dibukanya kardus itu perlahan di sisi Siti, isinya boneka Barbie berjilbab! Empat hari kemudian Siti meninggal dalam tidurnya, di bibirnya terulas senyum bahagia, sambil mendekap erat boneka Barbie itu di dadanya. Ia menutup mata dengan memeluk sepenggal kebahagiaan satu-satunya yang bisa ia rasakan sepanjang usianya di dunia!.


Anne Situmorang bisa merasakan itu.Dalam hati,ia bersyukur dan berterima kasih kepada Allah Swt.yang telah mengembalikan makna hidupnya. Ya, apa yang dilakukan Anne Situmorang adalah wasiat anak bungsunya, Mariam Situmorang yang telah pergi untuk selamanya. 𝑳𝒆𝒖𝒌𝒆𝒎𝒊𝒂 (kanker darah putih) telah merenggut kehidupan dan sisa umurnya yang belum genap sembilan tahun. Pesan terakhir kepada sang Ibu adalah agar bersedia mengabulkan permintaan terakhir dari anak-anak lain yang bernasib seperti dirinya. Sebuah permintaan terakhir yang tak dapat ditolak Anne, karena malamnya malaikat maut datang menjemput Mariam.


Dalam dukanya, suatu malam, ia bermimpi Mariam mendatanginya dan kembali mengingatkan, "𝑩𝒖𝒏𝒅𝒂, 𝒂𝒏𝒂𝒌-𝒂𝒏𝒂𝒌 𝒊𝒏𝒈𝒂𝒕 𝒚𝒂!"

Anne ingat, ia harus mengabulkan permintaan anak-anak yang tengah menghadapi akhir hidupnya.Dengan berat ia berjalan dengan gontai keluar dari keputusasaan. Namun Allah-lah Dzat Pembolak-balik hati, Mahabesar Allah dengan segala kehendak dan iradah-Nya, sejak pertama kali Anne bertatap muka dengan seorang anak yang senasib dengan Mariam, seolah sejak hari itu ia kembali memiliki Mariam. Kini, ia justru memiliki jauh lebih banyak "Mariam" di dalam hatinya. Hati Anne kini hangat kembali dan perlahan-lahan rasa cinta datang lagi, menyapa, tumbuh, bertunas, bersemi, dan putik ranumnya kembali harum. Kebekuan jiwanya cair dalam hangatnya kebahagiaan. Mencintai tidak sekadar memiliki, tetapi juga hadir pada saat kita harus berbagi.[]


Dari buku

"OVERALL LOVE" Mengembara di Dalam Dunia Cinta

ADA YANG LEBIH HEBAT

 “𝑺𝒆𝒃𝒂𝒊𝒌-𝒃𝒂𝒊𝒌 𝒎𝒂𝒏𝒖𝒔𝒊𝒂 𝒂𝒅𝒂𝒍𝒂𝒉 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒑𝒂𝒍𝒊𝒏𝒈 𝒃𝒆𝒓𝒎𝒂𝒏𝒇𝒂𝒂𝒕 𝒃𝒂𝒈𝒊 𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒍𝒂𝒊𝒏.”  (Hadits Riway...