Jumat, 22 Juli 2022

𝗧𝗘𝗡𝗧𝗔𝗡𝗚 𝗠𝗨𝗛𝗔𝗝𝗜𝗥


Tanpa terasa waktu sudah beranjak ke pukul 21.00. Sejak ba'da Maghrib murid-murid kelas V yang kuajar bersama dengan beberapa anak kelas IV dan VI sudah meramaikan rumah dimana aku tinggal. Beberapa anak ada yang membaca buku, bermain catur, mengerjakan tugas dengan antusias.

Ah.... melihat keseriusan mereka aku ikut merasakan semangat. Apa hal ini terpacu oleh cita-cita yang mereka tuliskan tadi siang?.Khawatir kemalaman pulangnya, aku segera menyuruh mereka pulang

"𝑺𝒂𝒎𝒑𝒂𝒊 𝒋𝒖𝒎𝒑𝒂 𝒃𝒆𝒔𝒐𝒌 𝒅𝒊 𝒔𝒆𝒌𝒐𝒍𝒂𝒉 𝒚𝒂" ucapku.

Satu-persatu mereka meninggalkan rumahku, dan akupun mulai masuk rumah.

"𝑺𝒆𝒏𝒕𝒆𝒓𝒌𝒖 𝒎𝒂𝒕𝒊, 𝒃𝒊𝒔𝒂 𝒌𝒖𝒑𝒊𝒏𝒋𝒂𝒎 𝒑𝒖𝒏𝒚𝒂𝒎𝒖 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒑𝒖𝒍𝒂𝒏𝒈, 𝑩𝒖 𝑮𝒖𝒓𝒖?" Terdengar suara Muhajir mendekat 

Aku memejamkan mata sebentar, berpikir. Rumah Muhajir di dusun sebelah, Rattelemo. Dari dusun sebelah pun, ia harus turun melewati kebun-kebun kakao. Di bawah, ada sungai yang ketika kemarau mengering. Tetapi, musim kali ini sedang susah diduga, bisa saja hujan turun tiba-tiba. Rumahnya di pinggir jalan di seberang sungai. Mendaki sedikit. Tak ada tetangga dekat.

Ini sudah hampir setengah sepuluh malam. Tak ada penerangan di jalan-jalan. Hanya ada lampu-lampu redup dari beberapa rumah.

"𝑺𝒖𝒅𝒂𝒉 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒊𝒏𝒂𝒑 𝒔𝒂𝒋𝒂 𝒅𝒊 𝒔𝒊𝒏𝒊"  tawarku.

Dia menolak, karena dirumah hanya ada Ibu dan adik-adiknya.

"𝑲𝒆𝒎𝒂𝒏𝒂 𝑩𝒂𝒑𝒂𝒌𝒎𝒖?"

"𝑲𝒆 𝑴𝒂𝒎𝒖𝒋𝒖, 𝒌𝒆𝒓𝒋𝒂." jawab Muhajir

Hening hadir di antara kami.

Kembali dia meyakinkan aku tak perlu khawatir, karena dia biasa pulang malam

"𝑺𝒆𝒏𝒅𝒊𝒓𝒊𝒂𝒏?" tanyaku

Hening kembali. Ada rasa tak tega. Aku berpikir, lalu muncul keinginan untuk mengenal kehidupan Muhajir dan keluarganya.

"𝑲𝒂𝒍𝒂𝒖 𝒃𝒆𝒈𝒊𝒕𝒖, 𝒕𝒖𝒏𝒈𝒈𝒖 𝒔𝒆𝒃𝒆𝒏𝒕𝒂𝒓" kataku

Aku bergegas masuk ke kamar, mengambil senter dan jaket. Lalu turun ke bawah berpamitan dengan Mamak (𝐡𝐨𝐬𝐭 𝐟𝐚𝐦). Mamak kelihatan bingung, sibuk meminta salah seorang anaknya mengantarku. Tetapi, mereka sudah tidur semua. Kuyakinkan Mamak bahwa semua baik-baik saja.

Aku segera menghampiri Muhajir yang terlihat kebingungan.

"𝑨𝒚𝒐, 𝒌𝒊𝒕𝒂 𝒃𝒆𝒓𝒂𝒏𝒈𝒌𝒂𝒕,"  ajakku.

"𝑲𝒆𝒎𝒂𝒏𝒂 𝑩𝒖 𝑮𝒖𝒓𝒖?"

"𝑲𝒆 𝒓𝒖𝒎𝒂𝒉𝒎𝒖."

Dia hanya diam, mengikuti langkah-langkah di belakangku. Kadang menyamakan langkahku atau mendahuluinya, menyingkirkan rumput-rumput yang menghalangi jalan kami, menuntunku, menunjukkan arah. Senter tetap dibiarkannya di tanganku. Malam itu mendung, bintang enggan muncul. Tetapi, alam berbaik hati untuk tidak menurunkan hujan. Kulihat jam tangan, sudah pukul 23.00 saat kami tiba di rumah Muhajir. Kami disambut lolongan anjing penjaga kebun milik keluarga Muhajir.

Muhajir mengajakku untuk naik ke rumahnya. Dia membuka pintu pelan-pelan, enggan membangunkan seisi rumah yang tengah dibuai mimpi. Sebuah rumah panggung sederhana terpencil di kawasan perkebunan. Hanya ada dua ruangan di rumah yang berukuran 5x 4 meter itu. Satu untuk menyimpan bantal atau barang apa saja, satu lagi untuk ruang serbaguna. Tak ada perabot meja, kursi. Hanya ada dua almari, satu untuk menyimpan pakaian, satu lagi untuk menyimpan peralatan dapur. Aku menunduk melewati pintu, mematung melihat badan-badan yang terlelap damai memenuhi ruangan di depanku. Ada empat orang di sana dan ruangan sudah keliatan sesak. Dengan diterangi cahaya lampu minyak tanah, aku menjadi cemas, apakah ruang Muhajir untuk tidur akan kuambil. Lalu Muhajir menuntunku memasuki ruangan di atas kepala-kepala itu rebah. Menatakan bantal dan membuka kelambu untukku. Memintaku untuk tidur, lalu undur menyusul keluarganya yang lain yang telah lelap. Aku bingung. Tak ada kata-kata yang sanggup keluar. Aku tak bisa memejamkan mata. Pikiranku melayang-layang. Seberapa besar mereka harus kompromi dengan keadaan. Aku merenung. Lalu pelita dimatikan. Gelap.

Entah kapan aku terlelap, ketika bangun, rumah telah gaduh. Kudengar seorang perempuan sedang mengomel, disahuti suara anak laki-laki. Rupanya itu adalah percakapan antara Muhajir dan Mamaknya. Mamaknya memprotes kenapa semalam dia tidak dibangunkan untuk menjamu Ibu Guru. Disini profesi guru memang sangat dihormati. Aku menjadi malu dan tidak enak hati, mendengar percakapan mereka.

Aku keluar dan menjumpai Mamak Muhajir yang berulang kali meminta maaf karena tidak menjamu dengan baik. Aku menjadi tidak enak hati, ini toh salahku yang bertamu malam-malam tanpa memberi tahu. Aku malah menyusahkan dan menimbulkan kesungkanan. Anak-anak pamit keluar, bersiap-siap mandi untuk ke sekolah. Aku pun ingin segera berpamitan jikalau tak ditahan karena harus pulang dulu mengganti baju.


Hari masih gelap, matahari pun masih lelap. Tetapi, di rumah ini, orang-orang telah sibuk ke sana ke mari. Mamak Muhajir menyorongkan secangkir minuman hangat sambil berkali kali meminta maaf dengan keadaan rumahnya yang seadanya.

Selesai anak-anak berkemas, aku pun berpamitan untuk pulang. Muhajir meminta izin agar adiknya yang belum genap lima tahun bisa ikut ke sekolah karena Mamaknya harus mengambil pisang dan membersihkan kebun. Di sepanjang perjalanan, sesekali bocah Kelas V itu harus menggendong adiknya yang kelelahan berjalan. Tidak hanya Muhajir yang harus membawa adiknya ke sekolah, beberapa murid  seringkali membawa adik mereka ke sekolah. Tentu saja ini sangat mengganggu apalagi ketika adik merengek-rengek minta ini-itu saat kakak mereka tengah sibuk belajar. Tetapi, di sekolah ini kita harus menjadi sering berkompromi apalagi saat musim panen kakao.

Orangtua mereka sibuk mengurus kebun, mencari makan untuk bertahan hidup. Sebagian, anak-anak diminta untuk ikut ke kebun membantu. Sebagian dibiarkan ke sekolah, tetapi mengajak adiknya yang masih kecil-kecil.


Pada perjalanan menuju sekolah, ada pemandangan janggal di kiri-kanan jalan yang kami lewati hari itu. Rumah panggung Muhajir, masjid desa dan 

sekolah dan beberapa rumah sederhana yang lain. Muhajir berlari-lari dengan tas yang robek dan seragam yang lusuh. Sesekali tertawa menggendong adiknya. Sesekali kesal menurunkan adiknya. Orang-orang tua bersarung yang sedang asyik mengobrol sambil menjemur kakao. Motor-motor yang berseliweran. Orang-orang yang berlalu lalang tanpa alas kaki membawa parang. Pegawai-pegawai negeri yang datang ke sekolah dan kantor dengan sepatu dan seragam rapi.


Pikiran saya berloncatan ke kota tempat saya berasal di mana jalan-jalan layang bertebaran, gedung-gedung tinggi menjulang. Lalu kembali ke desa di mana saya tinggal sekarang. Jalan hanya ada satu, itupun rusak terbengkalai. Timpang. Ya, ketimpangan yang terlampau jauh.

Pikiran saya lompat lagi ke pertanyaan Muhajir, rumah Muhajir, kehidupannya yang menurut saya serba susah lalu kehidupan saya di kota yang serba mudah. Takdir? Ah saya rasa ini bukan takdir.[]


(Dikisahkan oleh Atika Asterina Saraswati, Pengajar Muda di Majene, Sulawesi barat dalam buku "Mengabdi di Negeri Pelangi")



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ADA YANG LEBIH HEBAT

 “𝑺𝒆𝒃𝒂𝒊𝒌-𝒃𝒂𝒊𝒌 𝒎𝒂𝒏𝒖𝒔𝒊𝒂 𝒂𝒅𝒂𝒍𝒂𝒉 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒑𝒂𝒍𝒊𝒏𝒈 𝒃𝒆𝒓𝒎𝒂𝒏𝒇𝒂𝒂𝒕 𝒃𝒂𝒈𝒊 𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒍𝒂𝒊𝒏.”  (Hadits Riway...